Part 11 |

2.1K 226 3
                                    

"Ini rumah kita pa?" Tanya Uzi terkesima saat gerbang tinggi menjulang terbuka lebar.

"Besar banget." Uzi bergumam pelan memerhatikan sekitar dari dalam mobil.

Setiap ekspresi yang di tampilkan si kecil tidak terlewatkan oleh Elliot. Sudut bibirnya secara halus tertarik membuat senyum kecil. Seketika rasa sesal muncul di relung hati. Bertanya dan mengandai-andai pada masa lalu yang sudah terjadi.

Uzi mengernyitkan dahi merasakan sakit di kepala dan dadanya sesak. Menggeleng samar saat Stevan mencoba menerobos keluar. Elliot yang di sampingnya pun heran oleh tingkah bungsunya yang mendadak duduk diam seperti menahan sakit. Dilepas tangan kecil Uzi yang mencengkram kuat pergelangan tangannya. Ruam merah nampak jelas di kulit putih pucat Uzi.

"Sayang, Uzi dengar papa nak,"

Elliot semakin panik tidak dengar balasan si kecil. Lewat tatapan Elliot menyuruh supir untuk melaju cepat.

"Uzi dengar suara papa sayang," menangkup kepala Uzi yang menunduk.

Ketika mobil berhenti dan supir berbalik ke belakang ingin memberitahu di buat terkejut tiba-tiba tuan kecilnya menerkam dan mencekik leher tuan majikannya.

"Tuan besar!" Seru pak supir.

"Ke-luar.. biar aku yang urus." Perintah Elliot tanpa bantahan.

"Tapi-" tatapan tajam di berikan membuat supir tersebut diam dan keluar dari mobil.

Seringai sinis Stevan terlihat mengerikan. Tatapannya tidak teralihkan dari sosok dibawahnya.

"Nah sekarang hanya kita berdua."

"Kamu ingin bunuh papa?"

Binar senang dengan senyum lebar Stevan menjawab, "Ya!"

"Tanpa pindah tempat pun harusnya kalian enyah tidak menampakkan diri di hadapanku lagi. Tetap benci dan pandang aku sebagai pembunuh istrimu tuan." Desis Stevan tajam.

Elliot menatap sendu anaknya. Miris rasanya di benci oleh anak sendiri. Dia ingin memperbaiki dan membuat kenangan indah hingga kenangan buruk menumpuk paling bawah berakhir terlupakan. Hal itu terasa sangat sulit dilakukan.

Stevan sedikit goyah saat bertatap dengan Elliot yang dimana cekikan di leher pria paruh baya itu semakin erat membuat beliau semakin kesulitan napas.

Tangan besar Elliot menuntun satu tangan anaknya ke leher. "Tangan kecil mu... Ti-tidak cukup... Untuk mencekik papa sayang."

Mata kucing si kecil sempat terkejut dengan apa yang dilakukan pria tua dibawahnya. Tapi sedetik kemudian seringai di bibir muncul. "Haha, terimakasih pa~pa~. Mohon bimbingannya agar papa cepat bertemu mama di akhirat." Ujar Stevan penuh cemoohan.

Sedikit lagi...

Raut wajah senang Stevan terhentikan saat dadanya terasa nyeri. Berdecih kesal membiarkan si penyakitan mengambil alih.

"Sial!"

Setelah umpatan keluar dari bibir ranum si kecil tatapan dan raut wajah kaget penuh kejut terlihat jelas dari bawah Elliot berbaring. Tangan kecil Uzi masih di leher papanya yang diam-diam bernapas lega. Dia tidak jadi bertemu sang istri di akhirat. Mau bicara apa nanti saat bertemu ketika istrinya bertanya tentang bungsunya.

"Ah!" Uzi menjauhkan tangannya yang bergetar hebat. Bergerak menjauh seraya menggeleng kepala tidak percaya apa yang sudah dia lakukan pada papa.

Elliot mencoba mendekati sang anak yang sudah histeris menjambak rambut sendiri. Dia tahu apa yang Uzi rasakan saat ini. Di peluk tubuh si kecil di iringi kata-kata penenang pun tidak cukup membuatnya berhenti.

"Tidak apa-apa, sayang. Tenang ya kesayangan papa. Berhenti nyalahin diri sendiri, adek nggak salah. Papa nggak apa. Tenang ya sayang."

"Papa!" Seruan Ezra dari luar di abaikan.

Di bukanya pintu mobil semakin terdengar jelas teriakan adiknya di pelukan papa. Ezra baru saja sampai dikagetkan dengan supir yang membawa papa dan adiknya terlihat cemas. Memberitahu bahwa tiba-tiba adiknya berubah dan ingin membunuh Elliot, papanya.

Ditarik kerah baju Uzi dari belakang menyeret menjauh dari mobil lalu di dorong hingga menyebabkan luka di telapak tangan si kecil.

"Pembunuh! Sekarang lo mau bunuh papa setelah mama gitu hah?!" Uzi menunduk tidak berani menjawab. "Nyesel bawa lo balik jadi bagian keluarga Cartwright." Sambung Ezra penuh amarah.

"Ezra!" Teriak Elliot dari belakang.

Mencengkram kuat bahu remaja yang masih di liputi amarah itu. Mencoba menyadarkan Anaknya dari apa yang sudah di ucapkan. Di tatap tajam obsidian cokelat yang sama seperti mendiang istrinya.

"Jaga ucapanmu Ezra."

Elliot yang membelakangi Uzi tidak tahu apa yang sedang anak itu lakukan sekarang. Sampai suara teriakan Dzaki, pengawal pribadi yang Elliot tugaskan menjaga bungsunya. Si kecil sedang menghukum dirinya dengan cara menampar berkali-kali pipinya hingga terlihat ruam merah di pipi dan tangan.

"Maaf... Maaf... Maaf..." Gumam Uzi dengan tangan terus bergerak menampar pipi.

Segara pria paruh baya itu memegang kedua tangan kecil yang sudah memerah. Tatapan kosong yang entah lihat kemana. Membuat Elliot iba dan tidak kuat melihat keadaan Uzi yang hancur, baik fisik maupun psikisnya.

"Adek lihat papa, nak."

"Ada baiknya tuan pulangkan saya ke panti asuhan." Senyum dingin terpatri di wajah Uzi.

Mata Elliot membulat mendengar ucapan datar tanpa niat serta tatapan kosong seolah sudah tidak punya gairah untuk hidup. Setelah itu, Uzi tidak sadarkan diri serta napas kian melemah.

Ezra diam berdiri mematung dengan kepala menoleh kebelakang melihat adiknya yang tidak sadarkan diri di pelukan papa. Apa yang sudah dia ucapkan? Hatinya tidak tenang. Dia takut Uzi tidak mau melihat dirinya lagi. Dia takut dengan luka yang sudah dia buat pada adiknya membuat hubungan mereka renggang.

"Pa-"

Suara lirihan remaja tinggi itu di abaikan Elliot yang melangkah lebar masuk ke dalam mansion. Tanpa menoleh ke arah Ezra sosok pria paruh baya yang menggendong adiknya melewati remaja itu sekaan entitasnya tidak ada.

"Maaf."

***

Langit malam begitu indah dengan cahaya bintang yang berpendar dari kejauhan. Namun, Mansion Cartwright begitu sunyi dan dingin. Mereka makan malam dengan tenang tanpa adanya percakapan walaupun biasanya seperti ini tapi yang membedakan adalah aura mereka yang tidak untuk di dekati.

Para maid dan pekerja lainnya pun memilih menyingkir menjauh daripada menjadi bahan pelampiasan mereka yang tidak tanggung-tanggung menyiksa manusia yang menurutnya mengganggu dan membuat suasana hati mereka semakin buruk. Mereka berdoa dan berharap agar tuan kecil segera membaik hingga membuat suasana mansion kembali hangat seperti kemarin di mansion sebelumnya.

"Ezra, selesai makan papa tunggu diruang kerja." Setelah itu, Elliot bangkit berlalu dari ruang makan.

"Za," pemuda itu mendongak ketika dipanggil oleh kakak keduanya.

"Kemarin Kakak bilang untuk ubah sikap burukmu kan? Kak Esther ngerti kamu kepalang emosi tapi tahan sedikit aja bisakan? Kamu udah langgar amanah dari bunda Azami." Esther ikutan bangkit dan berlalu ke kamar papa dimana Uzi berada.

"Maaf,"

"Bilang di hadapan Uzi." Ujar Evans dingin.

Ezra meremat kuat sendok ditangannya. Tinggal dia seorang diruang makan yang luas nan lega. Kedua kakaknya pergi ke kamar masing-masing tidak memperdulikan entitasnya. Apalagi Edgar tidak mengucapkan apapun hanya diam namun tatapan menusuk Ezra dapatkan.

Cairan bening mengalir keluar dari sudut mata. Menangis dalam keheningan menusuk relung hatinya. Dia tidak bermaksud berucap seperti tadi.  Ezra menyesal dan malu ingin bertemu adik kecilnya.

Above the CloudsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang