Part 8 |

2.4K 236 1
                                    

Setelah kepergian keluarga mertuanya mansion semakin sepi. Hanya seliweran orang-orang yang bekerja, seperti maid atau bodyguard yang berdiri tegak di beberapa tempat.

"Pa,"

Elliot sekilas melihat raut protes anak-anaknya yang masih di tempat. Mengabaikan panggilan Ezra lebih baik mengerjakan dokumen perusahaan yang selalu ada tiap saat.

"Tunggu 1 Minggu baru kalian boleh protes." Ucap Elliot tanpa melihat mereka.

Edgar melempar pisau lipat yang selalu dia simpan di saku ke arah Papanya. Kesal karena tidak tepat sasaran.

"Tch,"

Elliot menatap datar pelaku, "Ed, perhatikan tempatmu. Ada Uzi."

Memalingkan wajah tidak peduli suasana mencekam yang disebabkan Elliot. Padahal Edgar sudah merencanakan untuk bermain bersama keluarga itu di ruang tersembunyi bawah tanah. Tangannya sudah gatal membalas mulut mereka yang tidak tahu diri menggunakan alat bermainnya yang sudah karatan karena darah kering. Sial.

"Lebih baik kalian pergi." Usir Elliot. "Evans kamu meninggalkan kelas pagimu. Ezra pergi ke sekolah atau homeschooling. Edgar kembali ke kantor sebentar lagi ada rapat dengan mitra dari Jepang."

Anak-anak Elliot mendengus jengkel. Bagaimana papa tahu jadwal mereka. Sial. Lebih baik nurut daripada mendapatkan hukuman kejam dari pria yang sedang fokus bersama dokumen busuk itu.

Elliot menghela napas lelah melihat kelakuan anaknya. Mereka harus menyembunyikan identitas gelap di depan Uzi. Jangan sampai si kecil tahu pekerjaan tambahan keluarganya. Dan tidak mungkin pula dia memberikan Uzi uang haram hasil dari pekerjaan tersebut.

***

Uzi melepas nasal cannula membuang asal tidak peduli jatuh dimana. Arah mata tertuju pada sosok Esther yang tertidur duduk samping ranjang. Menatap dingin penuh kekosongan dalam matanya. Tidak berniat membangunkan tapi karena gerakan kecil Uzi membuat Esther yang sensitif membuka mata.

"Uzi, kamu-"

Ucapan Esther berhenti bersama tangannya yang ditepis pelan oleh Uzi.

"Siapa kamu?" Tanya Esther.

Uzi tersenyum dingin. "Zizi."

"Dimana adikku?"

"Sembunyi."

Esther pijit pelan pelipis di kedua sisi merasa pusing oleh keadaan sekarang.

"Bunda, mana?"

"Panti."

"Pulang."

Esther menggeleng. "Rumahmu disini."

"Tidak. Ini neraka." Mengernyit tidak setuju.

"Kita akan segera pindah." Ucap Esther memberitahu.

"Pergi. Aku ingin tidur." Zizi menarik selimut hingga pundak.

Suara dengkuran halus terdengar tidak lama kemudian. Cepat sekali dia tidur, batin Esther heran.

Di ambil nasal cannula di lantai lalu dibuang ke tempat sampah kecil di sudut ruang. Memeriksa pernapasan Uzi yang sudah membaik hingga tidak perlu pakai selang oksigen. Pengecekan dasar di lakukan di awali detak jantung, suhu tubuh, dan tensi darah.

Merasa semua tidak ada yang perlu dikhawatirkan Esther membereskan peralatan medis ke dalam p3k dan menaruh di meja kecil samping tempat tidur.

"Uzi kembalilah." Mengusap pelan dahi si kecil takut membangunkan.

***

Langit sudah gelap dan sekarang pukul 9 malam. Sedangkan Uzi sampai sekarang belum bangun dari tidurnya. Para lelaki jangkuk berdiri di depan pintu kamar Elliot khawatir karena perut Uzi belum terisi apapun dari pagi. Hanya roti crossiant itu pun hanya beberapa gigitan tidak sampai habis.

Above the CloudsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang