Sinar bulan purnama mengiringi langkah-langkah Aria Winter menyusuri jalanan Wiltonshire. Hak sepatu bot kulit cokelatnya berdetak-detak beradu jalan berlapis bebatuan kelabu. Angin malam tanpa ampun menusuk kulit. Sebagian besar penduduk Wiltonshire memilih tinggal dekat perapian mereka di dalam rumah, atau membungkus diri tebal-tebal dengan wol dan jaket bulu angsa, tetapi tidak dengan Aria.
Lebih tepatnya, ia telah lama mati rasa. Ia tidak peduli meski dingin menghajar tubuh semampainya yang hanya terbungkus sehelai blus krem lengan panjang dan celana panjang kain. Lagipula, peduli apa kalau ia terserang radang paru-paru? Ia tak lagi punya alasan untuk hidup lama. Sebab, hal yang jadi jangkar terakhirnya untuk bertahan di dunia, baru saja hancur berantakan oleh berita yang baru saja ia terima.
Pagi itu Aria memulai hari seperti biasa. Mandi dan berpakaian, sarapan seadanya, lalu berangkat ke Teater Millford. Agenda hari ini, latihan untuk pertunjukan yang diadaptasi dari kisah Marie Antoinette, ratu Prancis terakhir. Aria hapal kisah itu. Terlalu hapal untuk ukuran non-warga negara Prancis, mungkin. Sebuah kisah yang diawali dengan gemerlap dan kemewahan, lalu diakhiri dengan nestapa seiring runtuhnya suatu era.
Dalam beberapa hal, meski Aria tak cukup tinggi hati untuk menyamakan diri dengan sang ratu, Aria yakin ia memahami kisah itu lebih dari orang-orang lain di teater. Hidupnya hampa, meski pernah ada suatu masa di mana ia dipuja sebagai aktris musikal muda paling berbakat di negaranya. Itu dulu, sebelum serangkaian keputusan buruk mengantarkan wanita berambut cokelat tersebut dalam kekecewaan. Hanya, bukan ujung pisau guillotine yang mengakhiri kisah Aria, tetapi sepatah kalimat yang diucapkan direktur teater tadi pagi.
"Nona Winter, maaf atas kabar yang mendadak ini. Seperti yang telah sering kukatakan sebelumnya, aku sungguh berharap kau dapat meningkatkan kinerjamu selama sebulan terakhir ini. Kali ini, teater tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Penonton sudah banyak menyampaikan keluhan. Dengan sangat menyesal, aku terpaksa mengabarkan bahwa teater tidak bisa melanjutkan kerja sama denganmu, Nona Winter."
"Tidak bisakah kau memberiku satu kali kesempatan lagi, Tuan Waltz? Sebulan saja, sampai pementasan drama ini selesai. Aku ... memerankan Marie Antoinette adalah salah satu impianku sejak remaja."
"Kau? Pemeran utama? Sedang kau bahkan tak bisa menjaga tempo nyanyianmu sendiri? Jangan mimpi!" tukas sang direktur. "Aku tahu kau pernah jadi yang terbaik, Nona Winter, tetapi masa-masa itu sudah berlalu. Kurasa ini saatnya bagimu untuk pergi dan menemukan jalan hidupmu di bidang lain. Aku turut menyesal, Nona Winter, tetapi tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Kau masih sangat muda, jadi aku yakin kau akan segera menemukan apa yang kausenangi di luar sana."
Aria tertawa getir. Rasa pahit alkohol masih tertinggal di ujung lidahnya. Dalam hati, wanita itu merutuki nasib. Kisahnya benar-benar sudah berakhir. Usahanya mengembalikan kemampuan bernyanyi dan beraktingnya sudah gagal. Sejujurnya, Aria bahkan tak yakin apakah bakat itu memang ia miliki. Barangkali dahulu ia hanya beruntung, dan sekarang aktris-aktris lain yang benar-benar berbakat sudah menggeser posisinya. Tentang apa yang akan ia lakukan sekarang, Aria tak tahu. Ia hanya tahu panggung pertunjukan, dan tanpa itu ia merasa hilang.
Malam bertambah larut. Ponsel Aria bergetar dalam saku celana. Terdapat sepuluh panggilan tak terjawab dari Sonata, kekasihnya. Aria yakin, pastilah berita pemecatan dirinya sudah sampai ke telinga pria itu. Ia tak menjawab panggilan. Malam ini, ia tidak ingin melihat Sonata mengasihaninya. Lelaki itu punya banyak masalah yang lebih penting untuk dipikirkan, daripada seorang wanita yang bahkan tak tahu cara memperbaiki diri sendiri. Di zaman sekarang, pekerjaan sebagai komposer dan penulis lagu tidaklah mudah. Lebih baik waktu Sonata digunakan untuk menyelesaikan salah satu proyeknya yang menggunung, supaya ia tidak bernasib sama seperti Aria.
"Maaf, Sonata. Tolong jangan membenciku setelah ini," gumam Aria sembari mematikan ponsel. Ia genggam gawai itu erat-erat, hingga kedua telapak tangannya berkeringat. Sonata pasti akan menangisi Aria kelak karena pergi tanpa pamit. Walau demikian, Aria tak mau keberadaannya menghambat karier Sonata. Pria itu layak mendapatkan wanita yang lebih baik, yang tak menimpakan seluruh masalah pribadinya ke pundak pria itu.
"Happy birthday to you. Happy birthday to you ...."
Sayup-sayup, nyanyian lagu ulang tahun sampai ke telinga Aria. Di sebuah restoran, seorang wanita berulang tahun. Lilinnya berangka dua puluh empat, sama dengan usia Aria sekarang. Tiba-tiba saja air mata menggenang di pelupuk mata wanita itu tanpa bisa ditahan lagi. Ia mempercepat langkah, mengabaikan tatapan heran para pejalan kaki. Benar, usianya memang baru dua puluh empat. Masih muda, kata orang-orang. Kawan seusianya ada yang mengambil studi pascasarjana, ada yang mulai bekerja, ada pula yang baru menikah.
Usia dua puluhan harusnya jadi permulaan, bukan akhir. Lagi-lagi dalam hal ini Aria merasa jadi orang yang gagal.
"Sial, aku memang bodoh ...." Aria bersedekap. Tubuhnya gemetar, jari-jari tangannya sedingin es. Udara malam mulai menelusup ke balik pakaiannya. Wanita itu menutup muka dengan topi newsboy-nya, lalu mempercepat langkah. Bila ia menunda keputusannya lebih lama lagi, mungkin ia akan keburu berubah pikiran. Ia tinggalkan jalan utama yang ramai dan gemerlap.
Kakinya membawanya ke area kota tua yang sunyi. Sayup-sayup, suara aliran air terdengar. Wiltonshire memang didirikan di sekitar sebuah sungai. Sungai Fairne, namanya. Di malam hari itu, bisa Aria lihat airnya gemerlapan diterpa pantulan sinar bulan dan lampu-lampu jalan. Sudah tidak ada perahu turis yang lewat. Aria berhenti tepat di atas sebuah jembatan lengkung dari batu bergaya renaisans. Kepalanya melongok ke sungai. Ia yakin airnya pasti dingin sekali.
Tidak apa-apa, batin Aria selagi menjejakkan kaki ke rongga-rongga di pagar jembatan. Lama gadis itu hanya berdiri di sana dengan kepala tertelungkup ke pinggiran pagar, sambil menghirup udara malam dalam-dalam. Ia biarkan angin membuai rambut panjangnya. Mungkin, ketika ia mati kelak, ia akan merindukan suasana ini. Setelah ia merasa cukup, barulah Aria memanjat, hingga ia kini berdiri di tepi luar pagar jembatan itu.
Aria menarik napas dalam-dalam. Percik air menciprati tungkainya. Malam itu, seperti malam-malam yang lain, tidak ada yang lewat di sana. Di tempat tinggalnya, tepat diatas meja ruang makan, ia telah tinggalkan catatan supaya siapa pun yang masuk ke sana tahu harus diapakan barang-barang pribadinya. Kehilangannya mungkin takkan diberitakan sampai pemilik apartemen yang ia sewa curiga, atau sampai Sonata berkunjung ke apartemen itu. Ia tatap langit penuh bintang untuk terakhir kalinya. Kemudian, dengan satu lompatan, ia terjunkan diri ke dalam gelapnya Sungai Fairne.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noctivagant [Terbit]
Fantasy[TERBIT DI POLAROID PUBLISHER] Peringatan: mengandung pembahasan tentang perundungan, depresi, dan bunuh diri. Stay safe, and take care of yourself! ♡ Aria Winter selalu dibelenggu kesepian. Setan-setan dalam pikirannya telah merenggut relasinya den...