Act 4: Burned Dream, Broken Promise

32 10 6
                                    

Kenangan datang bergulung-gulung, membanjiri benak Aria dengan berbagai gejolak emosi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kenangan datang bergulung-gulung, membanjiri benak Aria dengan berbagai gejolak emosi. Kala itu, Litany Chang adalah satu-satunya anak yang belum memahami pola relasi pertemanan di kelas 1A Sekolah Dasar Angel Creek. Ia kesepian, meski karena alasan yang sama sekali berbeda. Orang tuanya bercerai saat ia masih balita, dan untuk beberapa waktu, tidak ada yang benar-benar menginginkannya. Litany berpindah-pindah dari satu rumah kerabat ke kerabat lain hingga kakeknya memutuskan untuk merawatnya.

Ia laksana matahari yang hadir menyinari hari-hari Aria. Mulanya Aria menghindar, tetapi Litany selalu bersikeras menemaninya. Belakangan, di kelas seni musik, Aria tahu sebabnya. Litany mencintai musik sebesar ia mencintai kehidupan. Mata gadis kecil itu bersinar-sinar setiap kali pelajaran menyanyi tiba. Perlahan-lahan, Aria kecil pun mulai berani keluar dari cangkangnya. Ketika keduanya menginjak kelas tiga SD, mereka sudah jadi langganan perwakilan sekolah dalam lomba-lomba menyanyi.

"Hei, Aria, kau sungguh hebat." Suatu hari Litany berujar. Kala itu, mereka kelas lima. Aria hanya berdua saja dengannya di tangga sebuah gedung serbaguna, tak lama setelah sebuah lomba. Itu adalah pertama kalinya Aria mengalahkan sahabatnya itu dalam kompetisi.

"Maaf," sahut Aria lirih. "Aku tahu kau yang harusnya menang. Penampilanmu bagus, apalagi lagu yang kaupilih paling susah. Sedangkan aku, lagi-lagi aku memilih lagu yang sudah aku kuasai."

"Hei, yang penting SD Angel Creek menerima piala, kan? Santai saja, Aria!" Litany tertawa. "Kau tahu, waktu aku pertama kali pindah ke sini, kukira tidak ada yang bakalan mau berteman denganku. Habisnya, aku tidak punya orang tua, dan aku tidak kenal siapa-siapa. Makanya, aku bersyukur punya teman yang hobinya sama denganku. Kalau sahabatku menang, aku juga ikut senang."

"Um, kau juga sahabatku yang paling baik, Litany! Makanya, aku ingin jadi sepertimu," jawab Aria sambil tertunduk. "Aku iri melihatmu yang selalu penuh semangat dan mencoba hal-hal baru. Memangnya kau tidak pernah takut gagal? Memangnya kau tidak pernah takut akan ditinggalkan kalau tidak bisa memenuhi harapan orang-orang?"

"Dulu." Ekspresi Litany berubah sedih. "Aku tidak mengerti alasan Papa dan Mama meninggalkanku. Kukira itu gara-gara aku anak yang nakal, atau karena aku anak perempuan. Tapi, Kakek bilang kalau bukan aku yang salah. Kadang-kadang orang meninggalkanmu karena berbagai alasan, dan belum tentu kau yang salah. Kakek juga melarangku membenci Papa dan Mama. Kata Kakek, nanti kalau aku sudah besar, aku akan mengerti alasan mereka. Meski demikian, kadang aku harap mereka bisa datang menonton lomba-lomba yang kuikuti, seperti orang tua anak-anak lain."

Litany menarik napas panjang dan menyandarkan punggung pada pegangan tangga. Sesaat, gadis itu merenung. Tiba-tiba, ia menoleh dan menatap Aria lekat-lekat. Disertai senyuman lebar, ia acungkan jari kelingking kanannya. Aria kecil tentu tahu apa artinya. Bagi gadis-gadis sepuluh tahun, tautan jari kelingking adalah simbol perjanjian paling serius.

"Aria, ayo berjanji untuk tetap bersama," pinta Litany. "Sampai kapan pun, ayo menyanyi bersama-sama. Setelah lulus nanti, mari berjuang bersama supaya kita bisa masuk Akademi Musik Virtuoso. Kau mau, kan?"

Noctivagant [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang