[TERBIT DI POLAROID PUBLISHER]
Peringatan: mengandung pembahasan tentang perundungan, depresi, dan bunuh diri. Stay safe, and take care of yourself! ♡
Aria Winter selalu dibelenggu kesepian. Setan-setan dalam pikirannya telah merenggut relasinya den...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aria dan Nocturne menyusuri jalan-jalan pinggiran Kota Ervington yang ramai. Meski masih terletak di kota yang sama dengan rumah masa kecil Aria, Akademi Musik Virtuoso memang terletak di area kota tua, menempati bekas mansion milik seorang earl yang meninggal tanpa memiliki anak. Hanya ada toko-toko kecil yang kuno di sana, dijaga orang-orang yang sama tuanya. Udara beraroma roti, masakan rumahan, dan rumput yang baru dipotong. Perpaduan langkah kaki di trotoar berbatu dan dering bel sepeda menghasilkan irama yang enak didengar.
Di ujung jalan, berdiri sebuah gedung pertunjukan. Ukurannya tidak besar, hanya kira-kira dua ratus meter persegi. Arsitekturnya khas zaman Victoria akhir. Namun, gedung itu terawat dengan baik. Seluruh dindingnya dari bata merah, masih terlihat kokoh meski sedikit berlumut. Poster pengumuman jadwal pertunjukan tergantung pada pilar kembar beranda depannya. Pintu depannya berdaun dua, terbuat dari kayu yang kokoh. Sore itu, pintu itu sedikit terbuka. Dari dalam, kedengaran suara anak-anak dan remaja yang sedang berlatih peran. Diam-diam Aria mendekat, lalu mengintip mereka.
"Peter Pan," ucap Aria sambil tersenyum tipis. "Pertunjukan teater pertama yang kutonton waktu masih kecil dulu. Ah, itu salah satu dari sedikit momen yang kurindukan dari masa kecilku."
Mereka menyelinap masuk, lalu duduk di kursi penonton yang kosong sembari memperhatikan para pemain. Anak-anak lelaki berlompatan dan berteriak-teriak ribut waktu memeragakan adegan pertarungan melawan para bajak laut. Waktu pemimpin teater muncul dan menyuruh mereka istirahat, mereka masih asyik bergulat dan tertawa-tawa. Baru setelah seorang gadis remaja bergaun biru langit keluar membawa dua kotak pizza, anak-anak itu berhenti.
"Kerja bagus, kawan-kawan! Sekarang, mari kita isi tenaga kita!" Gadis itu berseru. Badannya padat berisi, tetapi atletis. Rambut merahnya sangat ikal, hampir-hampir keriting. Iris matanya hijau jernih, kulitnya putih dengan bintik-bintik cokelat di pipi. Gerak-geriknya gesit dan luwes, bagai sedang menari di atas panggung. Anak-anak usia sekolah dasar itu langsung menyerbu kotak pizza. Sang pemimpin teater, seorang pria gemuk berwajah ramah berambut dan berjenggot putih bak Sinterklas, menepuk-nepuk pundak gadis itu sambil menyuruh anak-anak berbaris.
"March Hamilton, teman sekelasmu. Tadi aku melihatnya di bangku barisan belakang. Kau sering diam-diam menontonnya berlatih, bukan?" Tiba-tiba Nocturne berkomentar. Spontan wajah Aria memerah seperti maling tertangkap basah. Walau tidak ada yang bisa mendengar mereka, tetap saja rasanya memalukan bila seseorang tahu-tahu menyerukan kebiasaannya mengintip!
"Seandainya kau bukan makhluk gaib, aku pasti sudah melaporkanmu ke polisi atas dugaan penguntitan," sahut Aria tajam. "Yah, beruntunglah dirimu karena tempat ini sangat cantik. Aku tidak pernah bisa marah-marah di sini."
"Sudah kubilang aku tahu segalanya tentangmu, termasuk sifatmu yang keras kepala dan merepotkan itu. Daripada berdebat, lebih baik kaupikirkan apa yang terjadi setelah ini. Semua ini ada kaitannya dengan masalahmu yang belum selesai, tahu," balas Nocturne dengan nada bosan. Pria itu duduk dengan kaki bersilang, sebelah tangannya menopang dagu. Nyata benar bahwa ia tidak terkesan oleh akting—ralat—permainan anak-anak di panggung.