Hari berganti hari, tahun berganti tahun. Tanpa terasa, tiga tahun sudah berlalu sememjak Aria pertama kali terjun ke dunia teater musikal. Ia mencintai dunia itu. Gadis itu bahkan tidak menyadarinya, tetapi hanya di Teater Aurora ia benar-benar menampakkan jati dirinya. Di sana, ia tak perlu takut candaannya akan dianggap garing. Ia tak perlu takut penampilannya akan dianggap buruk, atau prestasinya dianggap kurang mentereng. Bagi anak-anak, ia kakak perempuan yang menyenangkan dan pandai bernyanyi. Bagi remaja sebayanya, ia gadis yang kalem dan pekerja keras, tetapi tidak membosankan.
Di tempat itu pula, ia pertama kali berjumpa Sonata.
Awal perjumpaan mereka biasa saja. Kala itu, tahun ajaran baru baru saja dimulai. Suatu malam di hari Jumat, saat Aria sedang membereskan panggung sehabis latihan, kepala seorang remaja lelaki menyembul dari balik pintu. Tubuhnya jangkung, kulitnya sedikit cokelat. Ia mengenakan sebuah jaket hoodie biru tua di atas seragam Akademi Musik Virtuoso. Sebuah ransel hitam tergantung di punggungnya, sedang kedua tangannya memeluk sebuah map plastik bening berisi kertas. Air bertetesan dari tepi map, jaket, dan ranselnya. Jejak-jejak berlumpur dari sepatunya tercetak di lantai.
Remaja itu terdiam sejenak begitu melihat Aria. Air terus menetes, menciptakan genangan-genangan kecil berbentuk bulat di lantai yang baru dibersihkan. Sambil merapikan rambut belah tengahnya yang berantakan, remaja itu berucap, "Apa kau melihat Tuan Crescendo? Aku datang mengantarkan pesanannya ...."
"Ah, jangan masuk!" Aria memekik. Matanya melebar melihat genangan air yang makin melebar. "Tunggu di situ, akan aku panggilkan. Jangan bergerak, oke?"
Cepat-cepat gadis itu berlari ke belakang panggung, lalu melongok ke kantor teater. Lima menit kemudian, Aria muncul lagi sambil membawa Tuan Crescendo. Sesuai perintah Aria, remaja tak dikenal itu masih berdiri diam di tempat. Segumpal tisu basah kini teronggok di samping kakinya, sedang genangan-genangan air sudah berkurang. Secara mengejutkan, wajah Tuan Crescendo langsung dipenuhi semangat begitu melihat remaja lelaki itu. Segera ia hampiri si remaja dengan tangan terentang lebar, lalu ia ambil map plastik itu.
"Oh, akhirnya selesai juga! Terima kasih, Sonata. Aku yakin lagu-lagu kali ini tidak kalah istimewa." Tuan Crescendo langsung membuka ritsleting map dan memeriksa kertas-kertas di dalamnya. Sekarang, baru Aria bisa melihat jelas isi kertas-kertas itu. Seluruhnya partitur musik, hasil tulisan tangan. Penggal-penggal lirik lagu tertulis di bawah not-notnya.
Jadi nama orang itu Sonata? Lebih cocok jadi nama perempuan, pikir Aria. Terlebih, remaja itu tidak terlihat seperti seseorang yang telaten duduk berjam-jam di depan meja sambil melamunkan nada-nada lagu, sambil sesekali mencoba bunyi melodi yang baru ia karang pada alat musik favoritnya. Bahkan, andai Sonata tidak mengenakan seragam sekolah, Aria tidak akan menyangka bahwa ia seorang musisi. Ia tampak seperti remaja aktif yang suka berpetualang, yang mungkin mendengarkan musik-musik indie pop sambil berlibur di pantai atau gunung, tetapi tidak pernah membuat lagu sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noctivagant [Terbit]
خيال (فانتازيا)[TERBIT DI POLAROID PUBLISHER] Peringatan: mengandung pembahasan tentang perundungan, depresi, dan bunuh diri. Stay safe, and take care of yourself! ♡ Aria Winter selalu dibelenggu kesepian. Setan-setan dalam pikirannya telah merenggut relasinya den...