[ 9 ] mulai dari awal

705 126 5
                                    

Sebuah keberuntungan yang baik karena Haruto sudah sadarkan diri, meskipun dokter tidak menyatakan dia baik-baik saja. Setidaknya selama berminggu-minggu berlalu ia dapat melalui masa-masa koma pada hidupnya. Haruto pasti bisa bertahan, dia anak yang kuat. Dan tidak akan pergi begitu saja tanpa mengatakan kalimat apapun.

Dengan gerakan lesu, Haruto selalu membuang tatapannya ke arah lain saat kedua orangtuanya berada di sana. Ia benar-benar tidak bisa memaafkan apa saja yang telah terjadi, keduanya sudah meninggalkan mereka. Sialnya lagi kini kembali dengan pernyataan mereka menyesalinya. Penyesalan semacam itu tidak mengubah segalanya. Jujur Haruto tidak membutuhkannya sama sekali, itu tidak berguna baginya.

Omong kosong macam apa itu? Haruto bahkan muak untuk mengetahuinya sekarang. Dia tidak berkeinginan untuk mendengarkannya, tapi sayang sekali. Dia sudah mendengarkan itu berkali-kali.

"Makan dulu, Ruto. Ibu suapin ya," ucap ibu dengan penuh perhatian. "Maafin ibu untuk segala hal yang sudah terjadi."

"Gak mau, kak Mashi suapin Adek ya?" ketus Haruto yang menatap ke arah Mashiho.

Ibu tersenyum tipis, dan memberikan semangkuk bubur pada Mashiho. Penolakan secara terang-terangan itu pastinya menyakitkan, tapi ia yakin Haruto memang pantas memperlakukannya seperti ini.  Sebab bagaimanapun ia sudah mengabaikannya beberapa bulan yang lalu. Dan wajar saja jika Haruto terluka, bahkan tega memperlakukannya dengan buruk pula.

Si bungsu yang mestinya diberikan kasih sayang, namun dia sudah merasakan sakitnya kehidupan. Kini juga harus di tambah dengan penyakitnnya sendiri. Dunia milik Haruto tidak adil, dia sebenarnya tidak terlalu mampu untuk menjalaninya.

"Ibu sama ayah kenapa di sini? Aku kepenginnya kalian pergi aja. Aku udah terbiasa tanpa hadirnya kalian berdua, lagian kalian punya kebahagiaan masing-masing," kata Haruto lirih dia tahu akan apa yang sudah terjadi. Kedatangan orangtuanya bukan perihal yang membahagiakan untuknya.

"Dek jangan katakan apapun dan pikirkan hal-hal baiknya aja ya. Mungkin ini tidak bagus tapi sepertinya hanya itu yang bisa membantumu. Kau harus sembuh, kalo kau memikirkan banyak hal kakak enggak mau kau kenapa-kenapa," sahut Yoshi, memeluk tubuh Haruto dan membuat sang adik terdiam.

Kemudian setelah perkataan itu terjabarkan, ibu melangkah untuk pergi. Jadi rasa sakitnya seperti ini ketika tidak mendapatkan pengakuan, bahwa dia tidak berarti sama sekali. Dia terlalu mengabaikannya, dan sekarang giliran anaknya yang mengabaikannya balik.

Melihat sang ibu yang belalu untuk pergi, Yoshi segera mengejarnya. Dia menarik pergelangan tangan ibunya dengan lembut, serta membuatnya saling bertatapan. Yoshi tetap berkeinginan memperbaiki keadaan, setidaknya ada perubahan yang masih bisa di lakukannya.

"Ibu, Haruto--"

"Seharusnya dari dulu ibu tahu sesakit ini ketika di abaikan. Maafkan ibu nak karena sudah memberikan kalian luka," ucap ibunya yang tetap tersenyum meskipun air matanya menetes.

Yoshi cepat-cepat menghapus air mata ibu nya sambil menggeleng pelan. Mau bagaimana pun sosok itu adalah wanita tanpa sayapnya. Dia melupakan yang telah terjadi agar keadaan tetap baik-baik saja. Padahal dia hanya sedang berbohong agar tak tampak menderita. Yoshi berkeinginan semuanya bisa membaik, walau tidak bisa sepenuhnya.

"Haruto hanya perlu di pertahankan. Ibu aku memang masih ingin terus menyalahkanmu atas kematian Asahi. Tapi aku berharap itu hanya mimpi buruk, nyatanya aku harus menghadapinya dalam kenyataan yang ada."

Sang ibu kembali merasa bersalah, lagian sejak kapan dia bisa melupakan kesalahannya sendiri? Karena dirinya lah Asahi pergi untuk selama-lamanya. Kemana perginya masa terindah itu? Kemungkinan masih ada kesempatan. Dan tidak baik jika di abaikan lagi.

Pulang[✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang