2. Effort 노력

2K 231 12
                                    

Doyoung terbangun. Kepalanya terasa berputar dan berat. Beruntung kantor diliburkan hari itu, karena dia baru bangun ketika jam sudah menunjuk angka sebelas. Doyoung melangkahkan kaki ke dapur. Tenggorokannya terasa kering. Tapi air di nakasnya tidak terisi.

Doyoung meneguk habis air yang dia ambil di dapur. Haus di tenggorokannya akhirnya hilang. Setelah meminum air, perutnya tiba-tiba berbunyi. Setelah itu dia mengecek meja makan, barangkali Junghwan sudah memasak sesuatu. Dan benar, Junghwan memasak sesuatu, lengkap dengan catatan kecil untuk Doyoung.

'Aku membuatkan hyeong sup penghilang pengar. Aku tidak tahu hyeong akan bangun jam berapa, jadi hangatkan saja jika ini sudah dingin.'

Setelah membaca surat itu Doyoung tersenyum. Sisi bayi Junghwan benar-benar menghilang perlahan tapi pasti. Sungguh, waktu terasa begitu cepat. Doyoung menghangatkan sup itu lalu memakannya, setelahnya dia kembali tidur. Jarang-jarang dia bisa beristirahat.

.
.
.

Doyoung sedang memasak begitu Junghwan pulang. Junghwan yang mencium bau masakan Doyoung langsung menuju ke dapur.

"Oh, kau sudah pulang." Ucap Doyoung begitu dipeluk dari belakang.

Junghwan mengangguk sebagai jawaban. Doyoung terlalu fokus memasak sampai tidak sadar Junghwan memasuki rumah. Doyoung benar-benar tidak mendengar apapun.

"Pasti melelahkan. Pergilah mandi dan makan setelahnya, hyeong akan segera menyelesaikan ini." Ucap Doyoung.

Junghwan mencium pipi Doyoung, lalu melepas pelukannya dan pergi mandi sesuai dengan perintah. Setelahnya mereka makan berdua, setelah sekian lama.

"Wow, aku benar-benar merindukan masakanmu." Ucap Junghwan sambil memakan makanannya.

Doyoung tersenyum. "Ini benar-benar sudah lama. Hyeong bahkan tidak ingat kapan terakhir kali kita makan bersama." Ucap Doyoung. "Makanlah." Lanjutnya, setelah memberikan Junghwan potongan daging.

Setelah selesai makan, mereka berbincang-bincang. Membahas masalah sekolah Junghwan dan masalah kantor Doyoung. Mereka ingin menikmati waktu berbincang bersama, karena kesempatan ini sangat jarang, bahkan hampir mustahil untuk mereka.

Doyoung menyodorkan uang. "Belilah makanan enak bersama temanmu." Ucapnya.

Junghwan mendorong uang itu kembali. "Tidak perlu, bukan tanggung jawabku untuk membelikan makanan untuk temanku." Ucapnya.

Doyoung mendorong uang itu kembali. "Ya sudah, untuk dirimu sendiri saja." Ucap Doyoung.

Junghwan juga mendorong uang itu lagi. "Sudah ku bilang tidak perlu, aku bisa mendapat uang jajanku sendiri. Kau cukup biayai rumah ini dan sekolahku. Uang jajan biar aku sendiri yang cari!" Ucapnya.

Junghwan sudah lelah melihat hyeong-nya bekerja. Dia bekerja dan putus sekolah pada kelas satu SMA untuk membiayai Junghwan. Itu membuat Junghwan merasa bersalah, dia ingin membantu kakaknya tapi tidak bisa, makanya yang bisa dia lakukan hanyalah belajar dengan baik, setidaknya dengan belajar dengan baik, dia punya harapan untuk membanggakan kakaknya.

Meskipun tidak banyak, Junghwan bisa menghasilkan uang jajan sendiri. Dengan menjual catatan dan prediksi soal ujian miliknya. Junghwan anak yang cerdas, jadi prediksinya sembilan puluh lima persen benar, jadi peminatnya lumayan. Meski hanya itu yang bisa dia lakukan, dia berharap setidaknya beban kakaknya dalam memberinya uang jajan berkurang dan itu bisa membuat kakaknya bisa sedikit bernapas.

Jika Doyoung menganggap Junghwan cepat dewasa, pada faktanya Doyoung jauh lebih cepat dewasa. Ini semua bermula saat Doyoung berulang tahun ke tujuh belas. Harapannya untuk memiliki adik akhirnya terkabul. Ayah dan ibunya mengadopsi Junghwan yang saat itu berusia sepuluh tahun. Tapi, semua angan-angan tentang memiliki keluarga bahagia sirna, karena tidak lama setelah itu keluarganya bangkrut, ibunya meninggalkan mereka, lalu ayahnya jatuh sakit hingga meninggal dunia. Saat itu mereka di rawat oleh adik dari ayah Doyoung, tapi mereka di usir begitu adik dari ayahnya berhasil mencairkan asuransi ayah Doyoung.

Sejak saat itu Doyoung tidak percaya orang dewasa. Dia berjalan dengan kakinya sendiri dengan menggendong Junghwan, dalam artian Doyoung berusaha sendiri untuk menghidupi dirinya dan Junghwan. Doyoung putus sekolah, lalu bekerja di banyak tempat, dia menjadi asisten rumah tangga hingga menjadi pegawai perpustakaan, semua pekerjaan Doyoung lalukan, biasanya Doyoung dan Junghwan bermalam di tempat kerja Doyoung, hingga pada akhirnya Doyoung bisa menyewa rumah. Dan berkat kegigihan serta keberuntungan, Doyoung berhasil menjadi pegawai di salah satu kantor meskipun dia tidak lulus SMA.

Perjuangan panjang ini juga yang membuat Doyoung terkadang bermimpi buruk. Bayangkan saja harus melalui semua itu di usia yang sangat muda. Jika bukan karena Junghwan, mungkin pada saat itu Doyoung sudah mengakhiri hidupnya.

Sekali lagi, Doyoung mendorong uang itu. "Kau pasti sudah punya pacar. Belikan dia sesuatu." Ucap Doyoung sambil tersenyum lebar.

Junghwan menghela napas. "Aku tidak punya dan aku tidak mau punya pacar." Ucap Junghwan sambil mendorong uang itu lagi.

"Hei, tidak perlu malu pada hyeong. Usia sepertimu pasti sedang di mabuk asmara." Ucap Doyoung sambil mengambil kembali uang itu, percuma, Junghwan pasti tidak mau mengambilnya. "Jika tidak ingin membelikan dia sesuatu, ajak dia kemari, kenalkan dia pada-ku." Ucap Doyoung menggoda Junghwan.

"Sudah ku katakan, aku tidak punya pacar." Ucap Junghwan.

"Adikku ini sangat tampan, mana mungkin tidak punya pacar. Pasti pacarmu cantik-kan? Atau hyeong harus mengatakan cantik-cantik? Pacarmu lebih dari satu-kan?" Ucap Doyoung.

Geprak

Junghwan memukul meja makan. "Sudah ku katakan aku tidak punya pacar!" Ucap Junghwan lalu berjalan ke kamarnya.

Gedubrak

Junghwan membanting pintu kamarnya.

Doyoung kaget. Dia hanya menggoda adiknya. Lagi pula tidak ada yang salah dari ucapannya. Adiknya memamg tampan, sangat tampan bahkan, belum lagi badannya berotot dan dia juga tinggi. Pasti banyak wanita yang ingin dikencani oleh Junghwan. Pada usia segitu juga sudah sangat wajar memiliki kekasih. Doyoung tidak keberatan, tapi sepertinya Junghwan yang keberatan.

Di sisi lain, Junghwan bersandar pada pintu. Dia menjambak rambutnya sendiri. Dia menyesal karena emosinya keluar begitu saja. Tapi dia juga kesal karena Doyoung terus mengusiknya dengan kata 'pacar'. Junghwan tidak mau pacar, dia hanya mau Doyoung dan dia benci fakta bahwa Doyoung adalah kakaknya.

.
.
.

Junghwan membuka pintu kamarnya. Dia langsung melihat Doyoung sedang mencuci piring. Perasaaannya sudah jauh lebih tenang, tapi sekarang dia merasa sangat bersalah. Tidak seharusnya dia memukul meja dan membanting pintu. Dia merasa kakaknya itu pasti sangat marah padanya.

Junghwan berjalan mendekati Doyoung lalu memeluknya dari belakang. "Maafkan aku hyeong. Aku kelepasan tadi." Ucapnya lalu mengecup leher Doyoung.

Doyoung tidak menjawab. Tapi Junghwan tidak peduli, sekarang dia sedang mabuk aroma tubuh Doyoung. Tanpa kendali tangannya menyusup ke dalam baju Doyoung.

"Junghwan apa yang kau—"

Dalam sekali gerakan Junghwan membalik tubuh Doyoung. Dia lalu mencium bibir Doyoung. Doyoung mendorong tubuh Junghwan.

"Apa yang kau—"

"Aku mencintaimu." Ucap Junghwan lalu menerjang Doyoung dengan ciuman lagi.

Satu tangan Junghwan berhasil menahan kedua tangan Doyoung. Satu tangannya lagi ia gunakan untuk meraba tubuh Doyoung sambil menciumnya.

Drttt drtt

Suara dering ponsel. Junghwan menengok ke sampingnya. Junghwan menyipitkan mata.

Alarm?

Junghwan membuka mata. Sial! Semuanya hanya mimpi. Junghwan meraih ponselnya untuk mematikan alarm, lalu mengusap wajahnya. Junghwan membuka selimutnya. Bajingan! Celananya basah. Junghwan menghela napas, lalu segera mengambil handuknya dan menuju ke kamar mandi.

Benar!

Dia mimpi basah.

.
.
.

Bersambung

My Beloved Brother || HwanBby/HwanYoung vers.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang