3. Skinship 스킨쉽

2.2K 222 10
                                    

Junghwan selesai mandi. Dia hendak membangunkan Doyoung, tapi kakaknya itu sudah tidak ada di kamarnya. Junghwan mencari di seluruh penjuru rumah tapi sepertinya kakaknya itu sudah berangkat.

Seketika Junghwan khawatir bahwa kakaknya marah soal semalam. Masalahnya dia baru hendak meminta maaf dan kakaknya sudah tidak di rumah. Jadi dengan tergesah-gesah Junghwan menelepon Doyoung, tapi sama sekali tidak tersambung.

Junghwan bersiap-siap ke sekolah, dia akan memikirkan cara meminta maaf nanti. Saat ini tugasnya adalah menjadi murid yang baik. Kalaupun kakaknya memang marah, Junghwan yakin itu juga tidak akan lama.

.
.
.

"Kenapa melamun?" Tegur teman sebangku Junghwan.

"Oh, Jeongwoo? Sudah datang?" Ucap Junghwan.

Jeongwoo menaruh tasnya lalu duduk. "Kau ini, aku bertanya malah bertanya balik. Kenapa melamun?" Tanya Jeongwoo sekali lagi.

"Hmm, sedang memikirkan cara untuk meminta maaf." Ucap Junghwan.

Jeongwoo langsung mendekatkan diri. "Meminta maaf? Pada pacarmu? Kau punya pacar? Kenapa tidak pernah cerita padaku?" Tanya Jeongwoo semangat.

"Pacar apanya. Aku ingin meminta maaf pada hyeong-ku. Aku membentaknya semalam." Ucap Junghwan malas.

"Traktir saja dia makan. Lagipula aku tidak yakin hyeong-mu itu bisa marah. Dia selalu tersenyum dan suaranya lembut, aku tidak punya bayangan tentang dia marah." Ucap Jeongwoo.

Meski tidak terlalu membantu, Junghwan pikir tidak ada salahnya mencoba saran Jeongwoo. Toh, tidak akan rugi mencoba.

.
.
.

Doyoung membungkuk pada atasannya yang berlalu menggunakan mobilnya. Hari ini lumayan melelahkan karena dia berangkat kerja pagi buta.

Doyoung melangkahkan kakinya, hendak pulang ke rumah. "Oh, Junghwan?" Ucap Doyoung begitu melihat Junghwan ada di hadapannya. "Sedang apa di sini?" Tanya Doyoung.

Junghwan mendekati Doyoung sambil menggaruk kepala belakangnya. "Menjemput hyeong." Ucapnya.

"Haha, ada apa? Kenapa sampai repot-repot?" Ucap Doyoung sambil tertawa kecil.

"Aku minta maaf soal semalam. Aku tidak bermaksud—"

"Hyeong tahu. Tidak perlu di pikirkan. Ayo pulang." Ucap Doyoung.

Junghwan menahan tangan Doyoung. "Kita makan di luar malam ini. Aku yang traktir." Ucap Junghwan.

Doyoung memeluk Junghwan. "Kau jangan cepat dewasa! Sejak kapan kau tumbuh sebanyak ini, kau bahkan sudah lebih besar dari aku. Dan sekarang kau sudah bisa mentraktirku?"

Junghwan melonggarkan pelukannya. "Jika aku tidak dewasa, aku akan terus menjadi beban." Ucap Junghwan.

Doyoung menyubit perut Junghwan. "Bagaimana bisa kau menjadi beban! Aku yang memintamu hadir, jadi aku yang bertanggung jawab atas dirimu." Ucap Doyoung.

Junghwan mengulurkan tangannya. "Baiklah, tuan Kim Doyoung, dihanding berdebat mari makan malam." Ucap Junghwan.

Doyoung tersenyum lalu meraih tangan Junghwan. Mereka pergi untuk makan malam mewah yang Junghwan siapkan. Sedikit menguras tabungan, tapi demi 'kakak' kesayangan Junghwan rela melakukan segalanya.

.
.
.

Dinginnya kota seoul tidak membuat Junghwan dan Doyoung mempercepat langkah mereka. Mereka berjalan santai sambil menikmati pemandangan orang-orang sibuk yang seolah di kejar waktu, ada yang bercajalan cepat, berlari kecil bahkan berlari kencang.

Junghwan meraih tangan Doyoung lalu memasukkannya ke saku almamater yang ia kenakan. "Cukup dingin sekarang," ucapnya sambil tersenyum pada kakaknya itu.

Doyoung tersenyum. "Mau berlari?" Tanyanya.

Junghwan mengangguk dan detik itu juga mereka berlari sambil tertawa. Doyoung sedikit bersyukur, berkat kejadian kemarin dirinya dan Junghwan menghabiskan waktu bersama. Meski tidak marah sama sekli, dia tetap bersyukur. Sekali lagi, sudah sangat jarang mereka melakukan sesuatu bersama, jadwal sekolah dan jadwal kerja yang padat selalu menjadi penghalang.

Mereka buru-buru memasuki rumah begitu sampai. Udara malam semakin dingin dan mereka kedinginan karen tidak memakai jaket. Hanya almamater dan jas yang menjadi pelindung.

"Mau makan ramen?" Tanya Doyoung.

Mereka baru saja makan, tapi sepertinya ramen pada cuaca ini adalah pilihan yang sulit untuk di tolak. Maka saat itu juga Junghwan mengangguk. Detik itu juga mereka memasak dan memakan ramen bersama, sambil bercerita tentang hari yang mereka alami hari itu. Mereka sudah banyak cerita di restoran tadi, tapi tetap saja itu tidak cukup. Ada banyak hal yang mereka inhin tanyakan satu sama lain.

.
.
.

Doyoung terbangun oleh alarm Junghwan. Sekarang masih pagi buta dan ini adalah akhir pekan, tapi alarm itu malah berbunyi. Sementara Doyoung terganggu, sang pemilik alarm justru masih asik tertidur dengan tangan yang melingkar pada pinggang Doyoung. Mereka semalam memutuskan tidur bersama, karena terlalu asik bercerita dan itu berlanjut sampai mereka tidur.

Doyoung mematikan alarm itu lalu berusaha tertidur lagi, tapi sudah tidak bisa karena dirinya terlanjur bangun. Hanya saja Doyoung terlalu malas meninggalkan kasur, kehangatan dari pelukan Junghwan di tengah kedinginan kota seoul membuat kasur terasa seribu kali lipat lebih nyaman.

Doyoung meraba tangan Junghwan yang melingkar di pinggangnya. Doyoung berpikir sejenak, pantas saja sangat hangat, ukuran tangan Junghwan hampir dua kali lipat ukurang tangan Doyoung. Doyoung merubah posisinya menjadi terlentang lalu mengangkat tangan Junghwan dan menempelkan jarinya. Doyoung membulatkan mata. Dia benar-benar tidak sadar adik kecilnya telah tumbuh sebanyak itu. Tangan Junghwan sudah lebih besar dari tangan Doyoung.

Lalu tiba-tiba tangan Junghwan menggenggam tangan Doyoung. Doyoung yang kaget langsung menengok ke arah Junghwan. Junghwan sudah terbangun dan sedang tersenyum ke arah Doyoung.

"Kau sudah bangun?" Tanya Doyoung.

Junghwan tidak menjawab. Dia langsung mencium pipi Doyoung lalu membenamkan kepalanya di ceruk leher Doyoung. Setelah itu dia kembali memeluk Doyoung masih sambil menggenggam tangan Doyoung. Doyoung tidak bisa berbuat apa-apa, bergerak-pun susah, jadi dia memutuskan untuk kembali tidur, menyusul Junghwan yang sudah nyaman dengan posisinya.

.
.
.

Junghwan meraba kasurnya. Tapi dia tidak bisa menemukan Doyoung, jadi mau tidak mau dia membuka matanya perlahan. Junghwan menengok kiri dan kanan. Benar! Doyoung sudah tidak ada. Junghwan langsung meraih ponselnya. Sudah pukul sebelas siang, dia langsung turun dari kasurnya dan keluar, mencari kakaknya.

Junghwan meneguk ludah kasar. Matanya membulat, melihat Doyoung sedang memasak. Tapi bukan itu poinnya, Junghwan meneguk ludah karena Doyoung sedang memakai celana pendek dan baju yang ketat. Pinggulnya tercetak jelas. Meski kurus, bokong Doyoung terlihat berisi. Belum lagi rambut basahnya yang membuat Junghwan semakin berpikiran liar.

Junghwan mendekati Doyoung dan langsung memeluknya dari belakang. Doyoung sepertinya baru selesai mandi, wangi sabun di tubuhnya masih sangat terasa. Junghwan lalu mengecup pipi Doyoung, nyaris mengenai bibirnya.

Doyoung menghindar lalu menatap Junghwan.

"Kenapa?" Tanya Junghwan. "Hyeong merasa terganggu?" Lanjutnya.

Doyoung mengerutkan dahi. "Sejak kapan jadi suka kontak fisik?" Tanya Doyoung lalu menyipitkan mata. "Biasanya selalu menghindar jika hyeong ingin mencium."

Junghwan menaikkan bahu. "Entahlah." Jawabnya sambil mengeratkan pelukannya, lalu menumpuhkan dagunya pada pundak Doyoung. "Sedang masak apa?" Tanyanya.

"Jjamppong, kau pergilah mandi, hyeong akan menyelesaikan ini." Ucap Doyoung.

Junghwan mengecup pipi Doyoung sekali lagi, lalu melaksanakan apa yang Doyoung perintahkan.

.
.
.

Bersambung

My Beloved Brother || HwanBby/HwanYoung vers.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang