Bel istirahat telah berbunyi, suasana kantin di sekolah pun selalu ramai oleh para murid guna mengisi perutnya yang sudah keroncongan.
Sudah hal biasa bagi Aleandra, gadis cerdas itu biasa pergi ke perpustakaan di waktu istirahat. Menurutnya, perpustakaan adalah tempat terbaik untuk bermeditasi.
" Halo! Al." Sapa Rissa—selaku ketua kelasnya.
Gadis itu tersenyum,"Halo—"
Dugh!
"Ahk—"
"Aleandra..kau tak apa?."
"Kutu buku, apa kau tak apa?."
"Apa dia membuat masalah lagi?."
. . .
"Hati-hati saat berjalan di tangga,"
"Biarkan luka mu terbuka agar cepat kering." Tutur James—Selaku petugas UKS sambil menempelkan perban pada siku Aleandra yang sedikit mengeluarkan darah.
Aleandra tetap tidak merespon, pikirannya masih berputar beberapa ratus detik yang lalu, tentang dirinya dan Olivia melakukan kontak mata.
Aleandra merasa ada yang berbeda dengan gadis itu.
James melihat riak wajah kosong itu, begitu pucat dan lesu. Seolah-olah tubuh tanpa jiwa.
Tangan pria itu tergerak memegang pundak Aleandra, membuat pandangan mereka bertemu.
Memang, James sangat dewasa daripada teman-temannya yang lain, Pria itu begitu perhatian dan ulet. Pantas saja Ilsa sangat menggilai James.
Jarang sekali ia terlihat marah, berbeda dengan Gabriel yang emosinya meledak-ledak kapanpun, dimanapun.
"Bertahanlah, Hanya tinggal enam bulan lagi,"
"Dan kau akan bebas, Al." Lanjutnya sembari mengulas senyum, menyalurkan sedikit semangat agar gadis itu tidak mengikuti jejak kedua temannya— mati konyol.
"Bagaimana jika aku tak tahan?," Jeda Aleandra sejenak. Pandangan gadis itu menunduk,
menyembunyikan air matanya yang hampir menetes, dadanya begitu sesak menahan emosi yang meluap-luap di dadanya.Entahlah, ia merasa rapuh jika seseorang mengasihaninya. Selama ini ia tak pernah bergantung kepada siapapun, ia selalu mengandalkan dirinya sendiri.
Toh, dirinya juga tidak mau menjadi seseorang yang paling menyedihkan di dunia ini.
"Seperti Sierra dan Elaine?." Lirih Aleandra dengan suara parau, riak wajahnya bahkan tak mempunyai semangat untuk hidup. Bagai mayat hidup dengan sejuta kesengsaraan.
"Mereka lemah, Mereka membiarkan Orang-orang itu mempengaruhinya, Al." Ucap James meyakinkan, berharap wajah pucat itu memiliki sedikit rona emosi untuk mengekspresikan perasaan nya.
"Kau—"
"Bukan mereka yang lemah," kilah Aleandra. Kelopak matanya terkulai—menandakan dirinya sudah lelah.
Lalu ia mendongak. Memejamkan sejenak matanya, menangkis air mata yang telah membuat pandanganya memburam, sudut bibir pucatnya mencibir.
"Tapi aku, kau, dan kita semua." Manik Hazel nya mengunci pandangan James, seolah-olah menuntut pria itu masuk kedalamnya.
Semakin larut James dalam manik Hazel itu, Sampai ia tak sadar tengah memeluk Aleandra disertai tangisannya, membuat pundak gadis itu basah karena air matanya.
. . .
Hari ini Aleandra membolos sekolah untuk satu hari, Masa bodoh jika dia di hukum. Toh, dia juga lelah menjadi siswa teladan. Hari-hari nya selalu disibukkan dengan tumpukan buku yang membosankan.
Sial! Gara-gara Nathan, ia lupa kalau sekarang adalah jadwal kunjungan ayahnya. Untungnya, ia sudah menulis ulang di sticky notes yang ia tempelkan di jurnal pribadinya.
.
"Lama tak berjumpa Al." Terlihat pria tua menggunakan baju biru bertuliskan tahanan. Pandangannya sayu, lingkar hitam dibawah matanya tercetak jelas di mata Aleandra.
Gadis itu menatap Ayahnya sendu, mengingat masa hidup ayahnya yang terhitung beberapa jam lagi.
"Hm." Aleandra mengangguk, matanya berkilau tak kuasa membendung tangisanya yang akan pecah. Ah, seharusnya ia tak mengunjungi ayahnya untuk terakhir kali.
"Sudah makan?." Sudut bibir pria itu bergetar, melihat putrinya yang semakin kurus. Wajahnya pun pucat , bibir nya kering. Membuat hati pria itu terkoyak, ia merasa gagal menghidupi putri kecilnya yang ia timang-timang sedari kecil.
Aleandra menggeleng,"Aku tidak lapar." Sudut matanya melirik seorang petugas keamanan yang masih mengawasi kegiatan mereka berdua.
Hening sejenak, ruangan itu begitu sunyi.
Tak ada yang berbicara, Hanya dua pasang mata yang saling menatap."Maaf, Jam kunjungan sudah habis, Narapidana ini akan kami bawa ke pusat untuk eksekusi." Sebuah suara petugas menginstruksi mereka berdua agar menyelesaikan urusannya.
Serasa tak ada yang dibicarakan, pria tua itu berdiri, "Ayah!." Teriakan Aleandra membuat pergerakan pria itu terhenti.
Gadis itu memeluk Ayahnya erat, ini adalah hadiah terakhir sebelum ayahnya tiada.
. . .
Kini Laskar dan Elois, beserta pengikutnya berjalan menuju lokasi tempat Giordano dan dirinya bertemu.
Dari kejauhan sudah ada dua puluh orang memakai pakaian dengan setelan jas hitam berjaga di mulut pertambangan milik Keluarga Ludovic, melihat itu, Elois meneguk ludahnya dengan susah payah. Apa jadinya jika dia salah dalam berbicara, maka kepalanya akan terputus dari badannya.
"Periksa orang-orang ingusan itu!." Teriak Gabriel dari kejauhan, sambil menyesap Rokoknya yang menyala.
Lima orang pria yang berjaga di mulut pertambangan itu mulai meraba-raba tubuh Orang-orang Destorm, untuk berjaga-jaga mereka membawa senapan di dalamnya.
"Oh. Ashley, periksa wanita cantik itu." Titah Gabriel yang diangguki oleh Ashley— Rekan kerjanya yang bertugas mengawasi pertambangan milik keluarga Ludovic.
"Aman!." Teriak Xavier, lalu menyuruh mereka masuk.
"Oh, tuan Domenico? Silahkan duduk." Ucap Giordano ramah disertai senyuman diwajahnya.
"Anda lama sekali," kini matanya mengarah ke Elois, menyesap pelan rokoknya, lalu membuang nya ke sembarang arah.
"Apa dia wanita simpananmu?." Tanya Giordano yang mengarah kepada Elois,
"Saya Asisten Tuan Domenico Tuan."
Giordano mengangguk paham, Luke mulai menuangkan segelas bir pada mereka.
"Terimakasih." Ucap Elois pada Luke.
"Bukanya ini hari yang cerah Luke? ," Sindir Giordano saat melihat wajah Muram Laskar.
"Iya tuan."
"Kembalikan Hak club-ku." Desis Laskar menatap tajam Giordano yang kini menampakkan senyum Liciknya.
"Tidak Tuan, Ini sudah masuk dalam perjanjian." Gio mengibaskan tangannya di udara, lalu menyalakan Rokoknya dengan pematik Api.
"Perjanjian? Itu sudah terlewat batas! Apa tiga club yang kuberikan kepadamu Masih Kurang?!" Ucap Laskar dengan nada sedikit meninggi.
"Aku hanya ingin memperluas bisnis Kita." Balas Giordano santai,"Lagipula Putrimu sudah mendatangani Hak tersebut, jadi klub itu sepenuhnya menjadi milikku." Kata Gio membuat Laskar terhenyak, Tidak mungkin Putrinya berbuat seperti itu.
"Anda pasti—" Sanggah Elois.
"Ssst! Nona, Anda tak berhak ikut Campur," ucap Gio sambil meletakkan jari telunjuknya di bibirnya.
"Luke!."
"Ini Tuan." Dengan cekatan, Luke menyerahkan sebuah Dokumen yang sudah ditandatangani oleh Olivia sendiri, Dinyatakan bahwa Klub itu sudah berada di tangan Keluarga Ludovic sepenuhnya.
.
° ° ° °
KAMU SEDANG MEMBACA
MIDNIGHT
Teen FictionThe midnight. adalah sebuah organisasi gelap yang beroperasi saat tengah malam. menjarah,membunuh, dan bermain dengan wanita malam sudah tak biasa bagi mereka,karena itu sudah menjadi kebiasaan. Suatu hari, sang istri pemimpin gengster tersebut mela...