Masa Lalu

347 15 0
                                    


7 July 2015

Entah Perasaan marah, sedih, atau bahagia yang sedang aku rasakan saat ini, pada perayaan acara ulang tahunku yang ke 17 appaku, marco manoban membawa kekasihnya ke rumahku untuk ikut merayakan bersama semua tamu undangan. Orangtuaku belum melakukan perceraian sah tetapi sudah memilih tinggal di tempat yang berbeda.

Eommaku tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut karna sudah sangat jelas eomma mengtahui bagaimana sifat appaku.

Acara puncak pun dimulai semua keluarga berkumpul untuk menyaksikan peniupan lilin, dan tidak lupa aku berdoa

"Tuhan, jika aku boleh meminta maka satukanlah orangtuaku kembali" gumamku dalam hati

Saat akan meniup lilin berangka 17 itu,

Wushhhh.....

Angin lebih dulu meniupnya, perasaanku sangat gelisah apakah maksud dari angin tadi.

Apakah doaku lebih cepat terkabul atau sebaliknya karna sibuk, tanpa sadar bulir air mata menetes di pipiku dan segera kuusap.
.
.
.
Hari berganti hari, aku menjalani hariku seprlerti biasa. Menuju sekolah dengan gaya cool membuatku cukup banyak idaman para wanita.

Hingga suatu hari, saat aku baru saja memarkirkan motorku di lapangan dan menyusuri lorong sekolahku, aku melihat seorang murid wanita yang sepertinya sedang kesusahan membawa beberapa tumpuk nuku ke ruang guru. Aku segera menghampirinya dan menawarkan bantuan.

"Apa aku boleh membantumu?" Ucapku dengan wajah yang tidak menunjukan ekspresi.

Karna lama tidak mendapatkan jawaban dari wanita yang menatapku ini aku memiringkan kepalaku dan mendekatkan sedikit pandanganku ke arahnya. Mataku terkunci ketika melihat dasi yang melingkar di kerah bajunya berisi 3 garis yang artinya dia adalah seniorku saat ini.

Kutegakkan badanku kembali dan sedikit mengerutkan dahiku

"Noona, apa kau baik-baik saja?" Tanyaku karena seniorku ini menutup matanya rapat-rapat.

Setelah mendengar pertanyaanku, wanita ini membuka perlahan matanya.

"N...Ne....." jawabnya gugup.

"Kajja noona aku bantu membawa bukunya" aku mengambil buku dari tangannya dan segera berjalan disampingnya.

"Kenalkan namaku Liam, kalau noona?" Liam

"Arrayo... semua siswa disini mengenalmu bahkan ada yang meidolakanmu" mengakhiri ucapanya dengan senyuman kecil.

Aku yang mendengar ucapannya pun hanya menunduk malu, karena faktanya aku tidak berfikir bahwa aku adalah orang yang terkenal di sekolah ini karena banyak siswa lain yang lebih tampan dan berprestasi dibandingkan aku  sambil menoleh kearahnya dan melihat senyum kecilnya hatiku menghangat.

Setelah membantunya mengantar buku aku menghentikannya saat akan menaiki tangga

"Kalau begitu aku mau tau nama noona, rasanya tidak adil jika noona sudah tau namaku tapi aku tidak tau nama noona"

"Namaku irene, kau bisa memanggilku bae atau irene"

"Bukankah bae itu adalah panggilan sayang?" Karna aku sudah merasa sedikit akrab dengannya aku mencoba melemparkan candaan padanya.

"Ternyata, kau tidak seperti apa yang dilihat orang-orang ya liam, hahaha" tawanya terdengar indah di telingaku

"Bae adalah margaku, sampai jumpa lagi liam" dia bergegas menuju kelasnya.

"Aishh... aku belum meminta nomor ponselnya". gumamku sendiri dan melanjutkan perjalananku ke kelas.

Sepasanga tangan melingkar di pinggangku dari belakang, aku yang terkejut langsung menghempas tangan itu, dan itu adalah sahabatku.

Kasih Tak Usai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang