Lucunya kehidupan mahasiswa semester akhir, kebanyakan punya lingkaran mata hitam seperti panda. Setiap hari selalu ke kampus membawa banyak berkas dan memenuhi koridor akademik bak sedang di stasiun. Setiap bertemu satu dengan lainnya, selalu mejadi ajang adu keluh kesah prosesnya masing-masing. Terkadang, mahasiswa yang kebetulan juga anak dari salah satu dosen menjadi bahan gunjingan. Hanya karena jalannya lebih mulus dari yang lain, bukan berarti juga ia tak berjuang. Mungkin dirinya terlalu menonjol dengan menyandang status sebagai anak dosen, padahal banyak juga mahasiswa lain yang melewati prosesnya dengan lebih lancar lagi, namun tak pernah menjadi buah bibir.
Benar kata orang, masa kuliah adalah masanya individualis. Apalagi di semester-semester akhir, tak ada lagi waktu untuk menunggu teman. Memikirkan nilai sendiri dalam persaingan memperoleh gelar, jika kau tak mampu melewati tantangan, maka kau akan terus tertinggal. Beberapa bahkan dihadapkan dalam pilihan antara lulus tidak dengan pujian atau tetap membayar uang kuliah untuk semester depan demi mengulang mata kuliah yang nilainya kurang bagus. Skripsi dianggap sudah lebih dari permata yang paling berharga bagi mahasiswa semester akhir, bahkan ada yang rela kehilangan motor dibandingkan dengan kehilangan laptopnya yang berisikan skripsi. Mungkin jika laptopnya yang hilang, ia bisa saja menangis darah. Kira-kira begitulah pentingnya benda yang bahkan hanya menjadi penghias rak-rak di perpustakaan kampus. Namun, dibalik buku bersampul tebal dengan ukuran kertas 21cm x 30cm itu, ada begitu banyak perjuangan serta air mata dari setiap kata yang tertulis disana.
Ponsel Libra bergetar, ada pesan masuk dari sebuah kontak yang bertuliskan nama 'Pak Rio Dosen Pembimbing'. Pesan itu singkat namun mampu untuk memacu jantung yang berisikan untuk menemuinya sekarang juga di ruang dosen. Tanpa menunggu lama lagi, Libra langsung mengendarai vespa putihnya dengan gesit menuju ke kampus yang berjarak sekitar 7-10 menit dari rumahnya. Sesampainya disana, ia segera berlari menuju ruang dosen yang bersebelahan langsung dengan akademik. Ia lega karena seorang lelaki paruh baya yang berusia hampir setengah abad dengan setelan kemeja dan celana kain masih duduk tepat ditempatnya. Rambut hitamnya bercampur dengan sedikit warna putih dari uban dengan kacamata bingkai persegi panjang, khas bapak-bapak. Ia terlihat sangat sibuk dengan beberapa kali membolak-balikkan lembaran kertas yang ada di mejanya. Libra menghela nafas dan menyapanya, namun tak ada tanggapan. "Nasib nasib" Gumam Libra.
"Maaf, Pak. Saya mau berkonsultasi terkait proposal saya, Pak" Seketika tangan lelaki itu berhenti pada sebuah halaman dan matanya tertuju kepada Libra.
"Iya, simpan saja dulu disitu ya, nanti saya koreksi" Jawabnya sembari menggerakkan sedikit kepalanya mengarah ke sudut kanan meja sebagai isyarat untuk menyuruh Libra meninggalkan proposalnya dan kemudian kembali dengan lembaran kertas yang dikerjakannya. Libra meletakkan proposalnya di atas meja tersebut dan mengucapkan terima kasih serta memberi salam kemudian berlalu pergi.
Perasaannya campur aduk karena entah berapa bulan lagi ia harus menunggu untuk Pak Rio selesai mengoreksi proposalnya. Namun, ia hanya bisa menerima nasibnya sebagai anak bimbingan dosen super sibuk itu. Libra berjalan kembali menuju motornya yang bahkan ia parkirkan tak beraturan karena terburu-buru. Ia duduk di atas motornya dan merogoh tasnya untuk meraih ponselnya. Beberapa pesan masuk di WhatsApp, salah satunya ternyata dari Raga yang mengabari bahwa dirinya sudah di bus dan akan berangkat untuk pulang.
"Hati-hati dijalan" Balas Libra pada pesannya namun sudah ceklis satu yang menandakan Raga sudah di dalam perjalanan. Libra segera menyadari dirinya tersenyum sesaat setelah menerima pesan dari Raga tadi. Ia merasa dirinya mulai tertarik kepada Raga, karena sejak kehadiran Raga, berangsur-angsur ingatannya tentang mantan pacarnya mulai pudar.
"Enggak Libra, ga bisa! Lo jangan mudah baper gini, kalian baru kenal semalam!" Namun, Libra berusaha meyakinkan kembali dirinya untuk lebih protektif terhadap hatinya. Setelah kehancuran yang ia dapatkan kemarin, membuat ia cukup sulit untuk menyatukan tiap kepingan. Ia tak mau hatinya yang sudah susah payah ia satukan kembali, akan rusak lagi. "Paling udah disana dia ga nge-chat lagi, pasti udah punya pacar" Berusaha memikirkan kemungkinan terburuk adalah cara terbaik untuk menghindari patah hati sebelum jatuh terlalu dalam, pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raga Satria Ku
RomanceKetika sebuah kepercayaan dihancurkan oleh orang yang berperan sebagai tokoh utama dalam kisahnya. Libra, untuk pertama kalinya merasakan patah hati di hidupnya. Ia selalu percaya akan ada pelangi setelah badai. Namun, saat datangnya pelangi, tanpa...