"Ibu, Ampun... Ampun, sakit." Suaranya terdengar bersautan dengan bunyi rotan yang menyentuh lapisan epidermis tak berbalut sehelai benang pun.
"I..ibu.., Sen-ja mohon..." Bahkan ketika kedua mata yang menyiratkan luka itu berembun, rotan yang menyakiti tubuhnya tak kunjung berhenti.
"Diem!!" Mala menyentak.
"Kamu itu udah buta sekarang tambah tuli ya."
" Sudah di bilang jangan dekati keluarga saya! Apa kurang jelas, iya? kurang jelas apa yang sudah saya ucapkan? Kamu tidak paham juga rupanya."
"M...aaf," cicit pemuda itu penuh sesal.
"Maaf? Kamu pikir maaf kamu berguna? Gara-gara kamu saya harus menanggung malu."
"Gara - gara kamu, Papa saya meninggal!"
"Kamu itu aib, senja! Aib."
" Mau sampai kapan kamu akan membuat ibu malu? Ibu malu punya anak cacat seperti kamu." Mala, berdecak kesal, pikirannya terus membayangkan bagaimana suara-suara yang terus menerus mengolok-olok dirinya , menyudutkan keluarganya. Hanya karena seorang anak cacat yang tiba-tiba muncul, merusak ketenangan yang selama ini ia coba pertahankan.
"Ibu malu punya kamu, Ibu gak mau punya anak cacat. Ibu gak sudi!."
Tubuh Senja terhuyung kebelakang karena kedua pundaknya di hentak kasar oleh sang Ibu, Senja diam, tak lagi merasakan kesakitan pada tubuhnya yang kini terlihat memar dengan garis - garis memanjang berwarna merah. Luka nya berpindah, kini berpusat pada relung hatinya yang kembali patah.
Telinga bocah itu memerah, Dalam diam, Ia mendengar dengan seksama bagaimana ketika suara tangis wanita yang saat ini berdiri tepat di depan tubuhnya, dan bagaimana lantunan berupa makian yang terdengar bagaikan nyanyian kelabu di ruang hampa nan sunyi. Ini terlalu sepi, tak ada secuil bising yang dapat mengalihkan, setidaknya sedikit membuat kebisingan agar ia tak terlalu jelas mendengar suara Ibunya yang menusuk, seolah menghujami hatinya dengan sebilah pedang bermata dua.
Berdarah, retak tak terselamatkan.
"Kenapa kamu harus kembali, sudah bagus kamu dengan kakekmu."
"Kalo bisa, harusnya kamu saja yang mati, jangan Papa."
"Harusnya kamu nggak perlu datang dan merusak keluarga saya! Merusak ketenangan saya!".
Mala masih dengan emosinya yang tak kunjung reda. Tatapan tajamnya menusuk, menatap darah dagingnya jijik, sungguh tidak pernah terbayangkan olehnya bagaimana bisa dulu ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang cacat?
Harusnya dulu ia bunuh saja anak sialan ini.
"Diam disini dan jangan pernah coba-coba untuk keluar! Atau Ibu akan benar-benar membuangmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
SANJANA || Leejeno
Fanfiction"Bukankah lebih baik kalo kamu pergi saja?" "apa yang kamu harapkan dari hidupmu yang tidak berwarna itu?" "aku akan lebih senang jika kamu pergi." " pergilah.... dan jangan pernah kembali."