14. champage problem

290 42 5
                                    

"you've done the best

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"you've done the best." pemuda dengan kemeja abu-abu yang dipadu jas putih panjang itu bergerak mendekat, memberikan secangkir kopi hangat kepada sang sahabat.

renjun menerimanya, kedua tanganya menggenggam erat cangkir kopi tersebut sembari menunduk dalam.
"I don't think it's the best decision," ia menggeleng, bibir tipisnya digigit pelan.

"so, you regret it?" pria itu menggeleng lagi penuh keraguan. ia tidak yakin dengan semua pilihan hidupnya sekarang. semuanya pilihanya merupakan jalan berduri yang sama-sama memiliki akhir yang tragis. 

memilih sama artinya dengan bunuh diri. tetapi jika tidak memilih, renjun yakin kedepanya akan semakin sulit ia lewati.

ia menghela napas berat, sebelah tanganya mengusap kasar permukaan wajahnya frustasi. "jeno is my life. I love him, I've been with him longer than I've known jisung, tetapi jisung adalah hidupku saat ini--aku bersumpah akan terus memikul tanggung jawab atas segala kebahagiaan dan rasa sakitnya hingga dia cukup dewasa untuk bisa bertahan diatas kekuatanya sendiri."

"keduanya sama-sama berharga untukku," si rubah menggertakan gigi dalamnya, benda padat berbahan keramik ditanganya ia remas kuat.

"I hate this city. I hate the people here. kenapa mereka jahat sekali? kenapa mereka tidak bisa menghargai jalan hidup yang kupilih untuk hidupku sendiri? aku.. aku juga manusia, kenapa mereka--" kemudian ia berusaha menyalahkan orang lain atas perasaan putus asa-nya sendiri.

jaemin mengangguk, tangan dokter muda itu bergerak untuk menepuk pelan bahu sahabat karibnya, menenangkan. mengulum sebentar bibirnya yang kering sebelum memanggil nama renjun agar mulai mendengarkan kalimatnya.

"kau tahu aku selalu ada disampingmu, kan? kau tahu kalau aku selalu mendukung segala keputusanmu dan kau bisa percaya kepadaku." renjun mengangguk pelan, "jadi apa yang akan aku katakan kali ini, bukan karena aku ingin menyudutkanmu. tetapi karena--barangkali orang-orang itu memang sudah menghargaimu, renjun. mereka sudah sangat menghargaimu sebagai manusia, sebagai seseorang yang memiliki perbedaan. hanya saja, mereka tidak bisa menghargai lagi perilakumu."

"you understand what I mean?" na jaemin yang tidak mendapatkan respon berarti dari renjun mulai menjelaskan secara sukarela.

"mereka menghargaimu sebagai manusia, sebagai seseorang yang memiliki perbedaan. mereka semua menghargai dan mendukungmu, mereka tidak lagi menyebutmu sebagai seseorang dengan gangguan jiwa, tidak lagi mendiskriminasikan secara terang-terangan--tetapi barangkali mereka tidak bisa menghargai perilakumu, perilakumu yang memutuskan untuk menikah dengan sesama jenis yang dimana itu sangat berlawanan dengan norma yang ada."

"semua hal di dunia ini diciptakan secara berlawanan. hitam dengan putih, kanan dengan kiri, laki-laki dengan perempuan. dan kau saat ini seperti sedang melawan hukum alam."

"I know. I know you love him. but I believe we have some power over who we love and it isn't something just happens to a person, right? just say it's like--love doesn't have to have. you can love him as long as you can, but maybe not this way."

mata eboni teduh milik renjun memerah, siap untuk menumpahkan cairan bening yang memupuk dikelopaknya. secangkir kopi yang masih utuh dalam genggamanya ia letakan diatas meja, "did you just say i shouldn't marry him?"

jaemin tidak menjawab, membuat renjun semakin frustasi sampai akhirnya berteriak. ia tidak peduli lagi jika seluruh karyawan ditempat kerja jaemin akan mendatanginya atau menyebutnya gila. renjun memang sudah gila. ia dibuat gila atas kehidupan yang selalu mempermainkanya.

pria itu memukul kepalanya sendiri keras-keras, berteriak panjang hingga tenggorokanya perih, beberapa kali memukul tembok didekatnya. renjun melakukan segala sesuatu yang bisa menyakiti dirinya sendiri sebagai pelampiasan atas perasaan rancu yang memenuhi hatinya. meskipun dalam hatinya ia ingin sekali mati setelah melihat sebuah benda tajam pada etalase meja jaemin--tetapi renjun tidak mungkin melakukanya. ia tidak bisa mati. renjun tidak boleh mati karena ia masih memiliki tanggung jawab besar didunia ini.

dokter na jaemin ditempatnya tergerak untuk menenangkan pria manis itu, namun ia juga tidak mengerti apa yang harus ia lakukan disaat ia sendiri begitu memahami perasaan renjun kali ini. ia bimbang, jaemin tidak bisa melakukan apapun pada amukan renjun selain mengambil sebuah suntikan bening dilaci mejanya dan mulai memberikan suntikan tersebut kepada sang sahabat sebelum ia menyakiti dirinya lebih dalam.

obat penenang tersebut bereaksi cepat. renjun ditempatnya mulai melemas menatap langit-langit kantor jaemin dengan tatapan nanar.

"I wanna die. I don't wanna live anymore." jaemin menggeleng dengan mata yang berkaca.

"jaga jisung untukku, jae. aku mohon,"

sayup-sayup suara bedside monitor yang teratur menginvasi pendengaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

sayup-sayup suara bedside monitor yang teratur menginvasi pendengaran.

kelopak mata yang redup itu mengedip lembut. kepalanya pening, ruangan serba putih dan bau obat-obatan yang familiar membuat renjun langsung mengerti mengenai keberadaanya. terlebih ketika ia mengingat peristiwa terakhir yang membuatnya berada dalam ruangan menyesakkan ini.

tanpa ia sadari, pemandangan matanya memburam ketika kepalanya menoleh ke samping dan menatap figur sang anak yang sama-sama berbaring diranjang yang berbeda. tubuhnya pucat, tulang pipinya tirus--hatinya tersayat begitu dalam, membuat renjun segera mengusap air matanya kasar dan mengalihkan pandanganya pada langit-langit rumah sakit sembari mengatur napasnya yang mulai tersendat akibat menangis.

"hey, renjun.. are you okay?" suara familiar itu ikut mendekat, renjun sebelumnya sama sekali tidak sadar bahwa ada orang lain dikamarnya.

jeno datang dengan khawatir, mata sembabnya seolah menanyakan bagaimana keadaanya dan apa yang ia bisa lakukan untuk suaminya. renjun bersumpah melihatnya menangis lagi, untuk kesekian kali.

apa rumahnya sudah benar-benar hancur kali ini? apakah ia tidak bisa memulainya kembali?

dengan sisa tenaganya tangan renjun terulur untuk menggapai tangan jeno, menggenggamnya erat. "jeno, aku mencintaimu."

pria di depanya mengangguk dengan cepat. "aku tahu, aku tahu. aku juga mencintaimu."

"tapi--" renjun mulai menatap sang anak disebelahnya, "jika aku harus memilih kalian berdua--"

"--tidak renjun, jisung bukan pilihan. dia memang seharusnya menjadi prioritasmu. kita sudah membawanya pada titik ini--jadi jika memang harus pergi, itu seharusnya adalah aku." pria bulan sabit itu tersenyum lembut, sebelah tanganya terulur untuk mengusap kepala sang suami.

jeno berkorban untuknya. bukan menyerah, ketahuilah jeno tidak sepengecut itu. pria itu hanya mencoba mencari jalan keluar terbaiknya tanpa membuat renjun merasa bersalah. 

ia juga menyadari bahwa jisung merupakan korban atas kesalahan yang mereka berdua lakukan. padahal ia tidak mengerti apa-apa, jisung bahkan tidak pernah meminta untuk berada dalam posisi ini. justru renjun dan jeno yang membawanya sampai pada titik ini dan menyesalinya.

jaemin sudah menceritakan semuanya kepada jeno termasuk bagaimana jaemin memberinya saran yang sama seperti ia memberikan hal tersebut kepada renjun. jeno mengaku kalah dan mengalah sekarang. ia akan menyerah dengan lapang dada untuk membiarkan semuanya berjalan dengan semestinya.

sebuah kesalahan, harus diperbaiki.

the cather in the ryeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang