BAB 1 [YOR]

577 60 2
                                    

[AU] WASTED NIGHTS

Imajinasi seorang perempuan berlangsung sangat cepat; sekelebat kekaguman berubah menjadi cinta, dari cinta sekejap tiba dalam ikatan perkawinan

—Jane Austen

๑۩۞۩๑

Toko kelontong yang tak pernah sepi, diisi oleh penghuni 128 Park Avenue. Setelah mengantar anak-anak mereka untuk menunggu bus sekolah, mereka segera pergi berbelanja seraya membicarakan sesuatu seperti; kau tahu tidak, dr. Forger penghuni yang baru menempati unit kosong itu? Dia sangat tampan! Jika temanku si penggemar lelaki tampan ada di sini, sudah pasti menyebut si Forger itu tampan juga.

Aku berjumpa dengannya pertama kali saat di lift, dia tampak sebagai intelijen daripada dokter kejiwaan di rumah sakit besar, karena topi Panama yang dipakainya cukup mencolok bagiku. Walaupun begitu, tidak ada salahnya jika memang itu ciri khas berpakaiannya seperti konglomerat zaman dahulu, atau tuan tanah. "Haha, Tuan Tanah, cocok sekali memang."

"Maaf, antrean cukup panjang, saya harap Anda tidak melamun."

"Oh, iya, ini uangnya."

Sial. Saat berbelanja pun aku harus memikirkannya.

Daripada memikirkan Loid Forger, pentingnya untuk mengisi lemari es dan membuat persediaan sampai nantinya mendapatkan pekerjaan baru di kota kelahiran—uang semakin menipis, tapi banyak yang harus aku beli agar tidak kelaparan karena kehabisan stok makanan. Sudah banyak yang aku datangi selama dua minggu pindah ke sini, tapi tak ada yang mau menerima wanita berusia 30 tahun dengan minim pengalaman. Kebanyakan dari mereka bertanya, mengapa aku tiba-tiba keluar, atau mengapa aku harus pergi dari Balai Kota yang begitu memiliki banyak tunjangan.

"Punya atasan berengsek adalah masalah utamanya"

Saat mengingat kebencianku karena pemecatan mendadak itu, orang yang paling dibicarakan sekomplek ada di sampingku. Sepertinya baru pulang. Mungkin sehabis berjaga malam. Bagi seorang dokter, pulang pagi adalah makanan mereka, tidak cukup terkejut saat mereka baru pulang jam segini atau pergi malam-malam sekali karena panggilan darurat.

Pintu lift terbuka, dan kami bergantian masuk ke dalam tabung sialan yang ternyata masih juga belum diperbaiki, hingga kami terjebak di sana sampai beberapa menit. Aku hanya menghela napas, karena apa yang terjadi sudah terlalu sering. Kami tinggal menunggu seseorang mengeluarkan kami dari sini—dan itu butuh waktu yang lumayan lama.

"Apa kau tidak takut?"

Tentu saja, aku tidak bisa menghindari pertanyaan itu, dengan suaranya yang seksi, siapa pun tidak ingin mengabaikannya.

"Takut? Gelap? Tidak!" dr. Forger melepas topi Panama tersebut dan sepertinya mencoba menghiburku dengan memberikan permen. "Tidak. Aku tidak takut. Ini sudah biasa."

"Aku hanya ingin berbagi permen."

Dilihat dari kegelapan pun, pria ini benar-benar tampan seperti yang dirumorkan. Rambut disisir rapi, wajahnya pucat tanpa luka, dan daya tarik yang paling menonjol adalah kedua matanya yang biru. Dia punya senyuman yang membuat gadis-gadis luluh dan rela bersujud. Jika berlama-lama di sini bersamanya, aku rasa aku juga bisa saja kehilangan akal—aku tidak tahu apakah pria itu akan setuju-setuju saja bercinta di sini saat sepertinya aku cukup gila dengan menarik rokku ke atas.

"Apa kau tinggal sendirian di Lt. 4?"

Mengapa dia bertanya? Apa dia mau mampir ke rumahku? Apakah dia akan mengajakku makan malam? Seks? "Ya, karena adikku berada di Hungaria."

"Apa kau tidak berniat menikah dalam waktu dekat?" mataku menyipit selagi menjauh karena pertanyaan itu cukup mencurigakan. "Haha, aku hanya bercanda—mencoba mencairkan suasana."

Kau tak bermaksud melamarku, 'kan?

"Tenang saja, aku tidak bermaksud melamarmu," pria itu tersenyum seolah-olah apa yang aku katakan dalam hati dapat dia dengar. "Aku bukan cenayang, tenang saja."

"Kau—" sebelum dapat mencaci, ketampanan yang dipancarkan dari senyumannya seakan tidak mengizinkanku untuk melakukannya. Dia tidak boleh dicela dengan ucapan-ucapan kotor menjijikkan. Hatiku benar-benar sakit, dia terlalu sempurna, aku sudah kalah. "Berhenti berbicara tidak masuk akal, Tuan."

"Loid Forger."

"Apa?"

"Itu namaku. Panggil saja Loid."

Saat itu, entah mengapa aku bisa-bisanya kesal. Jari telunjukku begitu saja menekan tombol darurat sebanyak mungkin sampai ada pemberitahuan jika aku tidak boleh melakukannya terlalu sering.

Sekitar hampir lima belas menit kami terjebak di sana, kemudian lift kembali beroperasi seperti sediakala. Aku lelah mendengar permintaan maaf dari mereka, tetapi sulit untuk pergi dari gedung ini, karena satu-satunya tempat tinggalku ada di sini. Unit di mana penuh dengan kenangan bersama orangtuaku dan Yuri.

Berhari-hari berlalu sejak pertemuan mengejutkan di lift, aku jadi penasaran apa yang dilakukan oleh Loid Forger selain bekerja. Pria itu sering kali membawa tas golf karena aku pikir dia menyukai olahraga itu, dan kadang-kadang tidak sengaja mengintipnya dari jendela dapur. Ia selalu membawa banyak barang, pakaiannya tak pernah berubah dengan topi Panama yang seolah tak pernah ganti.

"Dia keluar dari mobil sekarang," dia berjalan, kemudian mendongak tepat ke arahku, yang mungkin saja aku sudah ketahuan mengintip pria itu dari unitku. "Apa dia sadar ketika aku mengawasi? Apakah itu termasuk kriminal? Atau, aku gadis mesum?"

Berselang beberapa saat, seseorang mengetuk pintu. Aku melihatnya dari interkom dan Loid Forger sekarang ada di depan rumahku.

"Apa yang membuatmu ada di depan sana, Forger?"

"Halo, Yor. Aku hanya membawa sedikit bingkisan untukmu karena kita bertetangga."

"Tidak perlu," jawabku, tapi Loid tak segera pergi. Dia masih ada di depan sana dan menunggu aku membukakan pintu—sepertinya begitu. "Pergilah, aku tidak ingin apa pun darimu, Tuan."

"Kalau menemani aku minum?"

"Apa maksudmu?"

"Karena kita berdua satu-satunya penghuni yang masih melajang. Jadi tidak salah aku mengajakmu minum, tentunya aku tidak ingin mengajak istri orang untuk ke pub."

"Satu unit di bawah kita ada gadis yang masih melajang juga."

"Oh, dia baru lulus SMA, aku kurang tertarik mengajaknya pergi minum, meskipun keluarga itu baik, tapi mereka pasti tidak suka anak gadisnya pergi dengan pria berumur sepertiku."

Orang tidak akan pernah peduli padamu selama kau tampan. Usia hanya tentang angka, jika stamina dan wajahmu yang kelihatan muda mendukung, kau tentu saja bisa mendapatkan gadis belia sekalipun. "Haha, maaf, aku tidak bisa membuka pintu—" walau aku ingin. "Pergilah. Sampai jumpa!"

Sangat beruntung ketika Camilla tidak tahu tentang ini; pria setampan Loid Forger mengajak minum. Selain itu, saat aku menyia-nyiakan kesempatan tersebut, Camilla sudah pasti akan mengumpat sebanyak yang dia bisa, karena melihatku masih menjadi gadis jual mahal.

Namun aku pikir si Loid Forger akan menyerah, dengan menolaknya berkali-kali, tetapi pria itu masih datang untuk menghubungiku seperti teroris yang mengancam.

๑۩۞۩๑

BERSAMBUNG

WASTED NIGHTS [LOID X YOR]Where stories live. Discover now