Perbedaan

14 2 2
                                    

HAPPY READING!!
Ditunggu Vote dan Komentarnya! 😘

"Aku kangen sama kamu, Van."

Tiba-tiba kepala remaja laki-laki itu bergerak.

Deg!

Ara reflek mengurungkan niat merasa malu sendiri dengan tindakan bodoh yang ia lakukan. Entah apa yang membuat gadis itu merasa takut dan segera memalingkan wajah memandang langit dari jendela. Ia terpaksa menahan degupan jantung yang kembali berpacu lantaran tak sengaja mencium aroma parfum khas Revan yang menguar.

Sementara itu Revan menggeliat menegakkan kepala memandang Ara yang telah siuman dengan tatapan yang sulit diartikan. Cowok itu beringsut bangkit dari posisinya dan berdiri tegap.

"Kenapa Lo nggak bangunin gue kalau udah sadar?"

Ara susah payah menelan salivanya yang tiba-tiba terasa tercekat. Berharap Revan menanyakan bagaimana kabar dan kondisinya meski terdengar hanya sebagai formalitas, justru suara dingin dan tajam yang ia dengar darinya.

"Jawab gue, Ra," tegas Revan masih dengan suara dingin dan datar.

Ara menolehkan wajah meski takut-takut. Tidak sengaja tatapan mata keduanya bertemu membuat Ara reflek mengalihkan pandangan. Diam-diam gadis itu menggigit bibir bawahnya.

"Ak-aku nggak mau ganggu kamu," jawab Ara lirih.

Revan menghela napas berat, "Kapan gue merasa keganggu sama Lo?"

Ara tertegun dan lidahnya mendadak kelu.

Revan merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel dari sana. "Gue mau cabut. Sepertinya gue udah nggak diperluin lagi di sini."

Revan memakai kembali jaketnya yang masih basah dan balik badan hendak melenggang pergi.

"Kamu mau kemana?"

Ara membekap mulutnya yang sudah spontan bertanya. Dalam hati ia benar-benar merutuki dirinya sendiri merasa bodoh sekaligus bersalah.

"Urusan gue. Ada Lala sama Widya yang bakal nemenin Lo di sini," jawab Revan dingin masih terus berjalan.

"Mama?" tanya Ara ragu-ragu.

Langkah Revan berhenti di ambang pintu. Ia memutar badan dan menghela nafas berat.

"Gue sama yang lain nggak nelfon Tante Farah. Jadi Lo tenang aja."

Usai mengatakan itu tubuh Revan sempurna menghilang di balik pintu ruangan yang kembali tertutup. Ara menatap nanar kepergian punggung Revan yang telah menjauh. Kepalanya mendadak serasa berputar saat memikirkan hubungan persahabatan mereka yang terus merenggang tanpa ada penyelesaian.

Selang beberapa menit dari kepergian Revan, ruangan sepi dan serba putih itu dihebohkan dengan kedatangan Lala dan Widya yang menerobos masuk seperti yang dikatakan Revan sebelumnya. Kedua gadis itu langsung berhambur memeluk sahabatnya yang terbaring lemah di ranjang pesakitan.

Saking antusiasnya, Widya yang masih memeluk erat Ara membuat gadis itu sesak napas.

"Ehh, sorry Ar. Gue kelewat seneng bisa lihat keadaan Lo sekarang," ucap Widya menyengir dan menyeka ujung matanya yang entah sejak kapan sudah berair.

"Maafin gue, Ar. Gue tadi nggak berani buat nolongin Lo dari mereka. Gue emang nggak becus buat jadi sahabat Lo," sesal Lala duduk di samping ranjang dan menundukkan wajah.

Ara menggeleng dan tersenyum. Tangannya menggenggam jemari Lala erat. "Kamu jangan bilang kayak gitu, La. Makasih banyak udah mau nolongin aku."

Lala mengusap pipinya yang sudah basah. Perasaannya benar-benar campur aduk dengan ingatannya beberapa jam yang lalu di sekolah.

S E L A R A STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang