Memories

15 2 0
                                    

HAPPY READING!!

Di dalam ruangan serba putih dan luas, gadis cantik yang masih memakai jilbab di kepalanya itu perlahan membuka kelopak mata. Kedua netranya menyipit mencoba beradaptasi dengan nuansa ruangan yang serba terang hingga pandangannya telah sempurna.

Dahinya mengernyit saat merasakan ada sesuatu yang menempel di punggung tangan. Sejak kapan selang infus ini menancap?

Matanya melihat-lihat sekeliling. Semuanya tampak asing. Hingga gerakan dua bola matanya berhenti tepat pada sebuah pemandangan tepat di samping ranjangnya.

Seorang remaja laki-laki tengah meletakkan kepalanya di sebelah ranjang Ara tempat gadis itu berbaring. Cowok itu menggunakan lipatan kedua tangan berototnya sebagai bantalan.

"Revan?" batin Ara heran.

Jantung Ara tiba-tiba seperti terpacu merasa desiran aneh itu muncul. Bibir mungilnya yang tipis dan ranum itu perlahan tersenyum. Diam-diam ia memperhatikan Revan yang tertidur pulas di sampingnya.

Termasuk sebuah kesempatan langka bagi siapapun khususnya murid perempuan di sekolah yang beruntung dapat memperhatikan Revan secara jelas dari jarak begitu dekat. Rupanya keberuntungan itu berbaik hati memihak pada Ara.

Tidak ada yang membantah kalau Revan termasuk salah satu murid yang cukup populer di SMA Nusa. Dari segi ketampanan, Revan sudah lebih dari cukup pantas disandingkan beberapa model fashion kelas atas. Pasalnya Revan memiliki darah keturunan campuran Korea-Amerika dari Kakeknya. Ditambah lagi Ayahnya yang juga blasteran Jerman menambah Revan semakin rupawan.

Ketampanan Revan turut didukung dengan tubuh atletis hasil latihannya secara rutin. Dengan postur tinggi tegap dan sorot mata coklat gelapnya yang tajam menambahnya terkesan maskulin.

Otaknya yang pintar dan cerdas juga menjadi poin plus kebanggaan. Sebab itulah yang menjadikan murid-murid sekolah menganggap dia sebagai rival Farel, senior XII IPA 1. Terlepas dari itu Revan hanya menganggap angin lalu. Ia sama sekali tidak peduli dan tidak ingin berurusan dengan seniornya yang dinilai arogan dan angkuh itu.

Ara masih tersenyum sendu menatap wajah Revan yang kini terlihat teduh. Ingatannya kembali hadir merangkai bongkahan puzzle memory yang sempat tercecer sejak beberapa tahun yang lalu.

Sepuluh tahun yang lalu, saat keduanya berumur enam tahun menjadi momen pertama antara Ara dan Revan tidak sengaja bertemu. Saat itu keluarga kecil Revan yang baru saja pindah dari Jerman memutuskan tinggal di kompleks perumahan yang sama dengan Ara lantaran mengikuti Ayahnya yang pindah tugas. Entah karena takdir atau apa, rumah dua anak kecil itu ternyata hanya terpaut jalan kecil perumahan, alias saling berhadapan.

Revan kecil yang super aktif dan lincah itu suka rela mendekati Ara yang masih malu-malu bersembunyi mengintip di balik pagar rumah. Awalnya Ara tidak mengerti perkataan Revan lantaran Revan masih terbawa memakai bahasa Jerman bercampur Inggris membuat gadis kecil itu semakin menjauh karena takut.

Tapi bukanlah Revan yang langsung menyerah. Ia yang masih kecil justru tertantang dan pemasaran. Setiap pulang sekolah ia selalu memanggil Ara dari jalan, atau mengintip dan menyapa dari jendela yang kebetulan juga saling berhadapan dengan jendela kamar Ara, dan segala usaha kecil yang terus dilakukan.

Sayangnya, usaha Revan saat itu belum cukup untuk menarik minat Ara agar mau berteman dengannya.

Suatu hari, Tante Lita yang tak lain adalah Mamanya Revan mengajak keluarga Ara makan malam bersama di rumahnya. Tepat saat makan malam yang nikmat itu selesai, Revan langsung menarik jilbab Ara.

"Come on! I'll show you the stars up there in the sky!"

Ara mengernyit dan menepis tangan Revan karena lagi-lagi tidak mengerti maksud dari anak laki-laki di depannya. Tanpa sadar pipi Revan menggembung setelah ditolak Ara mentah-mentah.

S E L A R A STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang