Part 2

534 101 3
                                    

.
.
.

"Dokja," panggilmu ketus. Ia membalasmu dengan enggan dan pelan, cukup serius karena tengah fokus membaca web novel kesukaannya, "Hm, kenapa?"

"Kenapa kamu selalu mendekati pemuda populer itu, dari kemarin, huh?"

Kamu?

Tidak biasanya kau memakai bahasa yang formal kepadanya. Hal ini mau tak mau membuat Dokja harus menoleh, mengecek keberadaanmu. Wajahmu masam, dipenuhi dengan kerutan. Dokja menahan tawa, lantas ia mengelus kepalamu layaknya anak kecil, "Bukan aku yang mendekatinya, tapi dia yang mendekatiku, tahu. Apa kau cemburu?"

Wajahmu memerah, kesal karena digoda.

Melihat reaksimu yang menggemaskan, Dokja menyeringai penuh kemenangan. Akhirnya, ia punya bahan balas dendam setelah berminggu-minggu selalu dijahili bersama Sangah. Dokja mempertahankan seringai tersebut, mendekatimu tanpa tahu malu.

"Heh, lihat siapa yang cemburu? Tenang saja, aku tidak akan merebut kesempatanmu untuk menjadi kekasihnya Yoo Joonghyuk, kok," goda Dokja.

Tak mampu lagi emosi kau tahan, sontak saja kau menendang kaki Dokja. Meninggalkannya dalam rasa sakit dan berjalan keluar dari ruang kelas. Harus kau akui kalau tingkahmu ini berlebihan. Tapi, tipe yang protektif terhadap sahabat sendiri telah menjadi kebiasaanmu.

Hal ini juga berlaku pada Sangah dan Sooyoung di kelas sebelah. Walau terkadang, kelakuan Sooyoung membuatmu angkat tangan padanya.

Menerima sesuatu yang baru adalah hal yang sulit untukmu. Terlalu fokus dengan pikiranmu, tak sadar pun kau menubruk punggung kekar seseorang. Kau mengeluh kesakitan, mengelus batang hidungmu, lantas menengadah. Sosok yang paling tak ingin kau temui saat ini, Yoo Joonghyuk.

"Grr."

"Pertama kalinya kita bertemu hari ini, tapi kau sudah menggeram saja layaknya anak anjing," sindir Joonghyuk dengan enteng. Kau mendengkus pelan, namun tak sempat membalas karena perhatianmu telah tersita duluan oleh bekal yang dipegang pemuda di hadapanmu itu.

Telunjukmu menunjuk pada tempat bekal berwarna abu-abu itu. Wajahmu terheran-heran dan membuatmu bertanya, "Kau bawa bekal sendiri? Tidak beli sesuatu di kantin, gitu?"

"Tidak. Lagipula, aku tidak tahu kalau makanan di kantin sehat atau tidak. Lebih aman jika aku memasaknya sendiri."

"Oh."

Tungguー

ーmemasaknya sendiri, katamu?

Irismu membulat, tak percaya. Mulutmu ikut menganga, lantas kau menutupnya cepat dengan telapak tanganmu. Kau mengangkat suara, tanpa ragu mengeluarkan isi pikiranmu saat ini, "Kau bisa memasak?"

"Kau terlihat seperti baru saja kehilangan satu nyawa, tahu," tukas Joonghyuk cukup terganggu dengan kejujuranmu saat ini. Ia menghela napas, lalu melirikmu dengan serius. Lantas, ia kembali mengangkat suaranya, "mau ikut memakannya? Kebetulan, aku bawa dua bekal."

Kebetulan?

Irismu menajam, menatap penuh selidik pemuda itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bagaimana bisa membawa dua bekal disebut dengan kebetulan? Ditambah, Joonghyuk sendiri lah yang memasaknya. Apakah memang hanya kebetulan atau sudah direncanakan sebelumnya?

Kau pun berkacak pinggang, bertutur dengan enggan, "Lucu sekali, kebetulan katanya. Kau tidak merencanakan sesuatu untuk mendekati Dokja, kan? Yah apa pun itu, aku akan mengikutimu kali ini saja karena kau duluan yang telah mengajakku."

Mendengar jawaban tersebut, Joonghyuk mengulas senyum tipis yang tak kau lihat. Ia tersenyum miring, rencananya berjalan sempurna karena kau telah memakan umpan yang ia berikan. Lagipula, Joonghyuk juga cukup penasaran, kenapa kau terlihat sangat membencinya? Padahal, ia tak melakukan apa pun kepadamu.

Jika saja, kau bukan teman baik Kim Dokja, mungkin ia sudah mengurungmu di dalam sangkar agar tidak berkicau seperti burung yang terbang bebas dan ribut seenaknya.

Kalian berdua berjalan menuju halaman sekolah, duduk di anak tangga dengan dinaungi pohon yang rindang. Irismu menatap jauh ke arah langit, lalu lekas saja kau menoleh dan mengernyitkan dahi ketika Joonghyuk memberikan salah satu bekalnya.

"Hmph, akan kuledek kau jika rasa bekal ini tidak enak," komentarmu tanpa rasa sopan sama sekali padanya. Jari-jemarimu pun membuka penutup bekal tersebut dan mendapati sebuah makanan yang terlihat sangat nikmat. Kau melotot padanya, "apa kau yakin jika kau yang memasak ini, huh?"

Joonghyuk mengendikkan bahu, ikut membuka bekalnya dan mulai melahapnya dalam diam.

"Hei, jawab aku!" serumu kesal, seolah perempatan imaginer mulai memenuhi dahimu.

Pemuda berambut hitam yang duduk di sampingmu itu menaikkan sebelah alisnya. Lalu, melontarkan pertanyaan, "Tentu saja, aku yang memasaknya. Siapa lagi, kalau bukan aku? Oh, dan apa kau yakin tidak mau memakannya? Kalau tidak mau, ya ... kuberikan saja pada Kim Dokja."

Hap!

Dengan gesit, kau pun melahap makanan tersebut. Awalnya, wajahmu nampak cemberut. Namun, perlahan makin bersinar karena rasa masakan Joonghyuk yang terasa seperti buatan chef berkelas. Kau mengerjap, lalu bertanya padanya dengan raut tak percaya, "Ini ... benar-benar masakanmu? Kok, enak sekali?"

Joonghyuk merasa senang karena dipuji. Tapi, ia tidak membiarkan siapa pun untuk tahu, gengsi tentu saja.

"Oh, itu. Aku punya adik perempuan dan dia suka sekali makan," jawabnya enteng.

Mendengar jawaban yang diberikan oleh Joonghyuk, kau pun kembali memakan bekal tersebut dalam diam. Berandai-andai, sosok populer sepertinya benar-benar seperti karakter yang keluar dari novel. Tampan, keren, atletik, jago masak, bahkan mempunyai adik perempuan.

Dilihat dari mana pun, ia adalah sosok pria idaman, bukan?

"Seperti sejenis dengan Sangah ...," gumammu pelan. Sorot matamu terlihat sedih, hal ini disadari oleh Joonghyuk yang memperhatikanmu dalam keheningan.

Kau merasa tidak pantas bersama Dokja, jika dibandingkan dengan mereka yang populer. Kau bisa apa? Kau hanyalah seorang murid biasa. Lucu sekali, berpikiran seperti ini, padahal status Dokja pun hanya biasa-biasa saja.

Setelah makanan tersebut habis, kau pun tersentak kaget karena mengingat sesuatu. Dengan penuh tatapan amarah dan dendamーpadahal Joonghyuk baru saja memberikan makanan gratisーkau melemparkan pertanyaan kepada pemuda tersebut.

"Kau tidak memasukkan racun atau obat di dalamnya, kan?! Atau, kau tidak menyuruku untuk membayar makanan tersebut, kan?"

Joonghyuk mendengkus kasar, lalu memberikan respon, "Tidak, tenang saja. Aku bukan pria yang sangat brengsek dan akan melakukan hal seperti itu pada gadis lemah sepertimu. Apa wajahku sejahat itu di matamu?"

"Ya."

Hening melanda sejenak, membuat Joonghyuk harus berdehem dan membereskan bekalnya guna memecah suasana. Ia pun bangkit, lalu mengulas senyum sangat tipis, hingga kau pun tak tahu kalau itu dapat disebut senyuman atau ia tengah menahan ledekan. Joonghyuk pamit, "Kalau begitu, nantikan lagi masakanku selanjutnya, ya, [Name]."

Ia pergi, meninggalkanmu yang tengah berproses. Wajahmu merah merona, lantas memukul dahan pohon sekuat tenaga seraya berteriak, "Siapa yang bilang kalau aku akan memakan masakanmu lagi, huh?! Yoo Joonghyuk!"

Suaramu bergema di halaman, membuat sang pelaku hanya tertawa dalam hati, puas. Sedikit lagi, pemuda populer itu hampir saja membocorkan tawanya jikalau ia tidak sedang berada di sekolah.

Sedangkan kau menggerutu, tengah terlibat konflik batin sendiri. Mengakui bahwa makanan tersebut enak tapi tidak ingin membeberkannya.

.
.
.

Popular ⇢Yoo Joonghyuk × Reader [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang