Kafe itu penuh dengan orang dari berbagai rentang usia; anak-anak, remaja, dewasa, hingga lansia. Kulihat seisi ruangan. Aku mencari-cari di mana teman-temanku berada.
"Permisi, Pak. Apakah bapak sudah membuat reservasi?" ucap seorang wanita yang mendatangiku.
"Iya, saya di sini untuk acara reuni," balasku.
"Untuk acara reuni ya. Apakah untuk acara reuni SMA Parahyangan?" tanyanya lagi.
"Iya benar."
"Baik pak, saya antar ke mejanya ya, Pak."
Aku mengikuti langkah kaki wanita itu. Aku berjalan melewati banyak meja dan menaiki tangga menuju lantai atas kafe tersebut.
Akhirnya, aku melihat orang yang kukenali.
"Jaya!" teriak Malik, ketua kelasku saat SMA.
"Jaya! Widih!" sahut temanku yang lain. Itu Hans, temanku yang paling aktif organisasi sewaktu SMA.
Kemudian, aku bersalam-salaman dan menyapa teman-temanku yang lain.
"Halo-halo," ucapku. Lalu, aku duduk di sebelah Feris.
"Jaya, apa kabarnya?" tanya Feris sambil bersalaman denganku.
"Baik, kalau enggak baik pasti datangnya ke rumah sakit, bukan ke sini," ucapku yang diikuti oleh suara tawa Feris.
"Anak sama istri sehat?" tanyanya lagi.
"Sehat."
"Kalau cucu?"
"Menyusul," ucapku dan lagi-lagi diikuti suara tawanya.
"Ini belum pada datang semua?" tanyaku.
"Iya belum. Masih ada lima orang lagi yang belum datang."
"Lho bukannya harusnya dua belas lagi yang datang?" tanyaku karena mengetahui hanya ada sepuluh orang yang baru datang.
"Iya, tujuhnya lagi dadakan gak bisa," ucapnya.
"Oalah, kirain tujuh teman kita yang lain udah dipanggil."
"Dipanggil siapa?"
"Yang Mahakuasa," ucapku yang diikuti suara tawa teman-temanku.
"Ini pesen makanannya dulu ya, Jaya." Hans datang sambil membawa buku menu.
Aku membuka buku menu dan melihat daftarnya.
"Aku pesan jus mangga sama nasi hainam."
"Oke siap," ucap Hans.
"Lho kamu gak mau cobain lele goreng di sini, Han? Lele yang di sini uenak buanget lho," tanya Haryanto, temanku yang paling cerewet.
"Lho, enggak takut terbang nanti?" tanyaku.
"Terbang?" tanya Haryanto sambil mengerutkan dahi.
"Iya, kan bisa jadi lelelawar," ucapku. Kulihat Haryanto, Feris, dan Hans yang tertawa terbahak-bahak akibat ucapanku.
Untuk sesaat, aku berhenti bicara sebelum pemilik kafe mengusir kami apabila kami terus-terusan membuat kegaduhan. Aku melihat teman-temanku yang asyik dengan kegiatannya masing-masing. Kulihat ada yang asyik membicarakan dan mempromosikan bisnis, membicarakan urusan politik, berdebat soal harga saham, mengurusi urusan rumah tangga artis dan orang yang dikenal, membandingkan prestasi anak-anak, dan memamerkan foto cucu.
Yang paling menarik perhatianku adalah lima orang temanku yang sedang asyik berjoget di depan handphone, terutama Feris yang ikutan memerkan bokong kendor miliknya. Meskipun garis-garis di wajah sudah banyak, mereka tetap lincah bergerak mengikuti irama dan terkadang tertawa apabila ada yang salah gerakan.
Semua hal itu rasanya tidak lengkap akibat ketidakhadiran Chris. Dari tadi, aku menunggu kehadirannya.
Lalu, aku pun penasaran dan membuka suara.
"Hans, Yanto" panggilku.
"Iya," ucap mereka berdua secara bersamaan.
"Si Chris gak datang?" tanyaku.
"Iya, aku juga bingung, dia gak pernah ada kabar dan aku gak tahu nomor teleponnya. Di medos aja gak ada. Entah sudah sejak kapan aku gak dengar kabarnya dia." ucap Haryanto.
"Iya, Han. Aku juga gak pernah tahu kabarnya dia sejak dia ke Aussie," balas Hans.
"Oalah, sama. Aku yang sahabat baiknya juga gak tahu kabarnya dia," ucapku dengan kesedihan di dalam hati.
Kemudian, lima temanku yang lain akhirnya datang juga.
Para pelayan juga datang dengan makanan dan minuman yang kami pesan. Kami mulai menyantap makanan dan minuman.
Setelah sepuluh menit makan dan minum, sesi mengobrol dan mengenang masa lalu dimulai. Kami tertawa dan bercerita tentang pengalaman-pengalaman semasa SMA. Ternyata, salah satu temanku menyewa proyektor dan menampilkan foto-foto saat SMA.
Foto-foto itu membuat kami jadi ingat pada kejadian bolos berjamaah dan ketahuan oleh wali kelas, kakak kelas super galak selama masa orientasi siswa, guru killer yang suka memukul siswa dengan rotan, momen saat Feris menyatakan cintanya kepada Lastri di depan kelas, keseruan saat kami liburan ke Malioboro, dan kenangan-kenangan lainnya.
Namun, di dalam hatiku masih saja ada perasaan yang mengganjal. Selama berjam-jam lamanya, aku masih sesekali melihat ke arah tangga dengan harapan bahwa Chris akan menampakkan dirinya.
Apa dia sudah lupa sama aku ya?
Apa dia sudah ganti kewarganegaraan ya?
Apa dia memang gak pernah mau kembali ke Indonesia ya?
Padahal, aku rindu sekali dan ingin melihat wajahnya yang putih pasi itu tersenyum kepadaku.
Apa jangan-jangan dia udah pergi dul-ASYHHHHSHHH, gak mungkin lah ya, temen-temen aja masih sehat kok di sini.
Pikiranku berputar pada pertanyaan-pertanyaan tersebut. Aku semakin ragu. Perasaan marah dan sedih juga muncul karena diriku yang merasa dilupakan olehnya.
Saat acara reuni selesai, aku masih menunggunya sambil duduk di kursi yang ada di luar kafe. Selain diriku, Haryanto juga duduk di situ sambil mengisap rokok.
Dalam pikiranku, aku ingin sekali menjumpai Chris karena aku tidak tahu berapa lama lagi aku hidup di dunia ini.
Tiba-tiba, sebuah taksi berwarna biru tiba dan dua orang keluar dari taksi tersebut.
Ada sesuatu yang muncul di dalam benakku.
"Yanto, aku duluan ya," ucapku. Aku menepuk bahu Haryanto dan mengucapkan selamat tinggal.
"Iya, San. Hati-hati ya." Ia balas menepuk bahuku.
Aku segera berjalan menuju taksi biru tersebut. Aku membuka pintunya dan menaikinya.
"Pak, ke Jalan Hadisuryo nomor dua puluh ya," ucapku.
***
Taksi itu membawaku menelusuri jalanan malam. Aku melihat ada banyak mobil dan motor yang memenuhi jalan. Kurasa karena ini malam minggu, suasana jadi lebih ramai.
Setelah 45 menit, akhirnya aku sampai pada tujuanku. Aku memberikan ongkos kepada pak sopir dan keluar dari taksi itu.
Aku berdiri di depan sebuah rumah mewah, tempat tinggalnya Chris.
Kupandangi pagar berwarna putih dengan tanaman li kwan yu yang merambat. Bentuknya masih sama, kecuali catnya yang sedikit memudar.
Dari luar, dapat kudengar nada lagu "Karmila" ciptaan Farid Harja. Pasti Chris lagi asyik berdansa di kamarnya, batinku.
Dengan ekspektasi yang tinggi, kupencet bel rumah itu. Untuk beberapa saat, tidak ada orang yang datang keluar.
Kupencet bel itu sekali lagi dan
"Sanjaya..."
Aku melihatnya, lelaki tua dengan muka yang berkeriput dan rambut yang mulai beruban.
"Chris."
NEXT: Chapter 3
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Seungmin
FanfictionKumpulan cerita dengan tokoh utama Seungmin serta pairingnya member Stray Kids. Kebanyakan isinya cerita BXB dengan genre yang beragam. Selamat membaca <3 Twitter @maimeejun