17.59-Juni 1977
Tumpukkan buku-buku mengelilingi kami. Untuk pertama kalinya, keadaan menjadi sangat sunyi dan canggung.
Aku menatap bola mata Chris yang bergerak, pertanda kegelisahannya. Ia hari ini membawaku ke perpustakaan lagi. Sejak kami berjalan dari rumahku ke tempat ini, tidak ada sepatah kata yang terucap. Hanya gestur dan mimik wajah yang menjadi sarana komunikasi di antara kami.
Terutama pada saat ini, saat Chris membawaku untuk duduk di satu lorong kosong yang dilingkupi banyak buku-buku.
Aku bertanya kepadanya, apa tujuannya. Namun, ia masih membisu.
"Sanjaya Kiradana." Pertama kalinya Chris memanggilku dengan nama lengkapku.
"I-iya," ucapku dengan perasaan canggung dan tidak yakin.
Tidak ada jawaban setelah diriku membalas ucapnnya. Ia menatapku dan aku balas menatapnya.
Lalu, ia memberikan sebuah amplop kepadaku. Saat kubuka, hanya ada foto kami berdua yang dicetak olehnya dari roll kamera film miliknya. Aku tersenyum saat melihat foto itu. Akhirnya aku bisa memiliki satu kenangan bersamanya.
Kuperahatikan dirinya kembali. Kini, aku tak dapat mengartikan tatapannya yang kosong dan tampak matanya yang mulai berkaca-kaca. Satu sentuhan, air matanya akan turun.
"Ada saatnya, aku akan memikirkan dan menaruh namamu di dalam benakku. Ada saatnya aku ingin melihatmu lagi, bertemu denganmu lagi, dan bercengkerama denganmu lagi. Mungkin, sebentar lagi saat yang kumaksud tiba." Chris mengedipkan kedua matanya dan air mata turun membasahi pipinya dan bibirnya yang pucat.
Aku tak paham situasi ini. Bisakah Chris memperjelas saja situasi canggung dan sedih yang penuh keraguan ini.
"Chris, apa maksud dari semua ini?" tanyaku.
Ia tidak membalasku. Ia memelukku. Ia menangis di pundakku. Kuingat hari ini bahwa suara tangisan Chris sangat jelas di telingaku. Ia mengisi perpustakaan yang tak berpengunjung ini dengan suara tangisnya.
Entah mengapa, aku tak dapat menahannya dan air mata serta suara tangisku ikut beradu.
Aku memelukknya dengan erat seakan tak bisa melepaskannya.
Aku tak tahu mengapa hatiku begitu hancur saat diriku merasakan hangat dari pelukannya.
***
21.30-April 2022
"Eh, Kak Jaya. Masuk, Kak," ucap seorang wanita seusiaku yang menghampiriku dan tersenyum. Itu adalah Linda, adik Chris.
"Halo, Lin," sapaku. Aku masuk ke dalam rumah itu.
"Kak Jaya apa kabar?" tanyanya.
"Baik, Lin. Saya masih sehat."
"Syukurlah. Sini duduk, Kak." Linda mempersilakanku duduk di sofa.
Kupandangi ruang tamu rumah itu. Sudah banyak berubah ternyata. Semua perabotan hampir semuanya berdesain modern, kecuali bingkai foto yang terpajang pada dinding.
"Lin, Si Chris ada?" Tanpa basa-basi lagi, aku mulai menanyakan hal yang menjadi tujuan utamaku.
Linda terdiam sejenak. Ia menatapku dengan senyuman kecil,
"Kak Jaya mungkin akan terkejut, tetapi Kak Chris sudah beristirahat dengan tenang, Kak," ucapnya dengan senyum yang hangat.
Aku terkejut dengan ucapannya. Apa maksudnya? Chris sudah meninggal?
"Hah?! Jangan bercanda begitu dong, Lin. Si Chris ada kan di kamar? Tadi di luar aku denger lagu 'Karmila' yang sering dia putar." Aku bertanya dengan kegelisahan di dalam hati.
"Iya, Kak. Kak Chris sudah meninggal," jelasnya.
Rasanya, ada petir yang menyambar diriku. Aku ditampar oleh telapak tangan realitas. Aku tidak percaya bahwa Chris, sahabat terbaikku, sudah meninggal.
"Se-sejak kapan, Lin?" tanyaku dengan suara parau dan mata yang berkaca-kaca.
"Sudah lama sejak kami pindah ke Australia."
Setetes air mengalir dari pelupuk mataku.
"Ke-kenapa gak ada yang kabarin ke aku?"
"Kak Chris tidak mau kakak tahu soal penyakitnya dan ia juga tidak mau kakak bersedih," ucapnya dengan tenang dan tetap tersenyum. Linda memberikan selembar tisu kepadaku.
"Ya Tuhan. Chris!" Aku berseru dengan rasa sesak di dadaku.
Mengapa kabar itu baru kuketahui sekarang?
Dadaku makin sesak. Air mataku makin deras.
Tiba-tiba suara bel berbunyi dan ada orang yang memanggil-manggil diriku. Linda pergi ke luar untuk menghampiri orang tersebut.
"Astaga, Papa. Kan sudah Yoan bilang, jangan ke mana-mana. Yoan kan bakalan jemput Papa di kafe," ucap anakku. Ternyata itu Yoan. Ia datang untuk menjemputku.
"Yoan. Si Chris, Sahabat Papa meninggal, Yoan." Tangisanku makin deras.
"Iya, Pa. Besok kita datang lagi ya."
"Papa mau ke pemakamannya, Yoan. Ayo, antar Papa sekarang," paksaku.
"Besok ya, Pa. Kita besok ke kuburan Om Chris. Sekarang sudah malam," ucap Yoan sambil menggandeng lenganku dan mengajakku untuk pulang.
"Tidak bisa, Yoan. Papa mau lihat Chris." Aku tetap memaksanya.
"Besok saja ya, Kak. Besok Linda temani juga ya. Kalau sekarang sudah malam," bujuk Linda.
Untuk beberapa saat, aku tidak ingin pulang dan tetap memaksa Yoan untuk pergi ke pemakaman Chris. Namun, setelah beberapa lama, pikiranku lebih tenang dan akhirnya aku memutuskan untuk datang ke pemakaman Chris esok hari.
Aku pergi ke luar meninggalkan rumah Chris dengan perasaan hampa, nestapa, dan amarah pada diriku yang mendalam. Memori-memoriku bersama Chris berulang kembali muncul di dalam benakku dan membuatku makin merasakan kehampaan.
Aku akhirnya masuk ke dalam mobil. Lalu, kaca mobil kuturunkan. Pandanganku kosong melihat ke arah jalanan yang ada di depan.
Dalam suasana yang sunyi, aku dapat mendengar pembicaraan antara Yoan dengan Linda.
"Tante, maafin Yoan ya. Maaf ya, Tan, Si Papa ngerepotin lagi. Alzheimernya makin parah kayanya. Padahal kemaren udah gak separah ini. Maaf juga, sudah tiga kali kejadian begini. Yoan minta maaf banget ya, Tan. Yoan masih bingung kenapa penyakit papa bisa bikin papa kaya begini setiap reuni soalnya setiap reuni pasti papa datengnya ke sini ," ucap Yoan yang meminta maaf berkali-kali.
"Tidak apa-apa Yoan, namanya juga lansia. Kalau nggak pikun, ya encok terus kaya tante. Papa emang perlu perhatian khusus," ucap Linda tersenyum.
"Iya, Tan. Besok juga, Si Papa mau check up rutin." Yoan tersenyum kepada Linda.
"Iya, Yoan. Semoga Papamu dan kamu sekeluarga sehat selalu ya." Mereka berdua berpamitan dan Yoan pergi ke dalam mobil yang disaksikan Linda dari pagar rumah tersebut.
Sering kali ada saatnya kita memalsukan realitas yang ada dengan sebuah delusi bahwa kehidupan yang bahagia dan orang-orang yang kita cinta selalu ada selamanya dalam dunia yang fana...
-The End-
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Seungmin
FanfictionKumpulan cerita dengan tokoh utama Seungmin serta pairingnya member Stray Kids. Kebanyakan isinya cerita BXB dengan genre yang beragam. Selamat membaca <3 Twitter @maimeejun