Aska-3

35 4 0
                                    

Tata melihat cara menghilangkan tulisan di keningnya di media sosial, Ibunya memarahinya dan berbicara begitu panjang lebar.  Saat ini, ia mencari jalan keluar supaya keningnya kembali seperti semula dan tidak ada coretan hasil karya Aska.

Cara yang pertama, dengan alkohol. Tata menggelengkan kepalanya, cara ini tidak cocok dengannya. Karena kulit sangat sensitif jika berurusan dengan alkohol, ia mencari cara yang lain. 

Cara kedua dengan, penghapus make up, cara satu ini akan ia coba sekarang. Tata mengambil sebotol micellar water dan kapas. Ia melihat replika wajahnya di cermin, membasahi kapas terlebih dahulu dengan micellar water lalu mencoba menggosok keningnya sedikit keras.

Tulisan di keningnya lumayan memudar walaupun tidak begitu banyak, ia mencobanya lagi hingga benar-benar bersih.

Di tempat lain, Aska mendengus kesal kala mendengar suara tertawa yang keluar dari mulut sang adik yaitu Tasya. Adiknya tertawa begitu heboh saat membaca tulisan yang ada di keningnya saat ia masuk ke dalam rumah beberapa menit yang lalu.

"Diem lo." Tawa Tasya masih menggema, ia mengangkat tangannya, memberinya jempol. "Bagus, Bang."

"Bantuin hapus ini, nanti gue kasih lo kuota deh."

"Beneran?"

Aska mengangguk, Tasya langsung bersorak riang. Ia berlari membawa beberapa benda yang bisa di pakai untuk menghapus tulisan di kening sang kakak.

"Tasya tadi liat Kak Tata keningnya sama ada tulisannya. Apa jangan-jangan Abang sama Kak Tata berantem lagi?"

Aska langsung menggelengkan kepalanya. Sebenarnya, rumah Aska dan juga Tata bisa di hitung dengan langkah kaki. Mereka berdua terkenal musuh bebuyutannya, kedua orangtuanya mereka bahkan untuk tidak ada cara untuk menyatukan mereka berdua seperti waktu masih kecil.

"Abang buat masalah lagi, ya?"

"Hm."

Tasya mendengus, ia menekan bekas  luka akibat bertengkar dengan Tata. Bekasnya begitu jelas, berada di dahi bagian kanan.   "Engga inget ini, Bang?"

Aska menggaruk kepalanya tidak gatal, sebenarnya ia tidak pernah bosan ganggu Tata. Tata adalah pelampiasannya ketika ia jenuh, apalagi gadis itu bisa di ajak bertengkar hebat. Tidak seperti Tasya yang dikit-dikit berteriak memanggil Bunda.

"Gue inget. Tenang, dahi juga masih bagus walaupun ada bekas luka."

"Ishh, narsis banget sih, Bang. Nah tuh dah bersih, mana kuotanya." Tasya menghentikan aktivitasnya, saat kening laki-laki itu sudah bersih kembali.  bekas kapas pada tangan Aska, laki-laki itu mengambil uang di sakunya. Memberi Tasya seratus ribu untuk kuota, Adiknya tersenyum sebelum berlari keluar rumah.

"Makasih, Bang," teriak Tasya sebelum tubuhnya menghilang pintu masuk.

"Hm."

Aska hanya menghela napas, mengusap keningnya. Ia mencoba mengingat kejadian itu, sangat memalukan. Laki-laki itu bangkit dari duduknya, berjalan menuju kamarnya untuk mengambil baju dan merebahkan tubuhnya yang kaku akibat terlalu banyak berlari tadi.

_

"Eh, Kak Tata mau kemana?" tanya Tasya ketika melihat Tata berjalan melewati rumahnya. Gadis itu menghentikan langkahnya, melihat ke kanan. "Supermarket, Tas."

Tasya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bareng aja, kak. Tasya mau beli kuota."

"Oke."

Mereka berjalan beriringan, di tengah jalan Tasya tiba-tiba bertanya tentang Abangnya—Aska. Ia sangat penasaran bagaimana  Aska di mata Tata, apa semenyebalkan itu?

"Kak, menurut kak Tata Bang Aska itu orangnya kayak gimana sih?" tanya Tasya.

Tata menggaruk kepalanya tidak gatal, ia tidak bisa mendefinisikan makhluk astral itu sama sekali.

Ia menjawab asal. "Orangnya lumayan gila."

Tasya sontak tertawa terbahak-bahak, Aska memang begitu. Ia sebagai adik juga sangat jengkel apalagi jika Aska sedang menyebalkan dan banyak tingkah.

"Terus?"

Tata mengangkat bahunya acuh, Tasya mengangguk. Mungkin gadis di depannya tidak begitu memperhatikan bagaimana sifat asli Aska.

Setelah sampai, mereka berpisah. Tata ke supermarket sedangkan Tasya menuju konter membeli kuota hasil uang dari Aska. Tasya yang sudah selesai, menunggu Tata keluar dari supermarket. Mereka memutuskan untuk pulang bersama, beberapa menit kemudian Tata keluar dengan membawa kantong plastik berlogo supermarket.

Tata menyodorkan es krim pada Tasya. "Nih." Gadis itu menerimanya dengan senang hati.

"Makasih, kak." Tata mengangguk, membawa es krim miliknya.

_

Aska mengirimkan sesuatu pesan untuk Tata, sebuah pesan agar gadis itu mengganti bajunya yang sobek karena ulahnya tadi. Seragam putih miliknya yang terakhir kini sudah tidak bisa di gunakan lagi. Aska tidak mungkin meminta untuk dibelikan lagi oleh sang Bunda,  karena baru seminggu ia di belikan baju tersebut.

Entah berapa kali ia membeli baju seragam, selalu saja berakhir dengan tragedi seperti baju seragamnya kotor dengan darah saat keningnya di pukul Tata atau bajunya sobek karena ulah gadis itu.

Aska yang asik rebahan di ranjang akhirnya merubah posisinya, saat mendengar suara dering pesan yang keluar dari ponsel pintar miliknya.

Tata membalas.

|Y, ukuran?"|

Aska membacanya dengan malas, ia berharap Tata akan meminta maaf sembari menangis di hadapannya itu sangat mustahil. Gadis itu sama sekali tidak meminta maaf karena kesalahannya sama sepertinya. Kalau diibaratkan ia dan Tata adalah kucing dan anjing.

Aska mengetikkan pesan dengan singkat.

|XL, awas  lo salah beli.|

Ia menyingkirkan kembali ponsel miliknya. Di tempat lain, Tata tampak menghela napas di sepanjang jalan bersama Tasya.

Gadis itu melihatnya dengan aneh.
"Kenapa, Kak?" tanya Tasya.

Tata menyerahkan ponsel miliknya, memperlihatkan chatnya dengan Aska. Sontak Tasya tertawa karena ia tau, baju seragamnya baru seminggu di beli kini sudah robek oleh Tata.

Tata mengacak-acak rambutnya. "Argh ... beli di mana itu baju."

"Tasya tau."

Tata menoleh ke samping. "Anterin, Tas. Kak Tata engga mau  s Curut buat masalah lagi." Tasya mengangguk.

Setengah jam kemudian, Tasya mengetuk pintu kamar Aska dengan keras sembari memanggil nama Abangnya tersebut. "Bang, bukain."

Pintu itu terbuka, Tasya langsung menyerahkan plastik di tangannya kepada laki-laki itu dan berkata. "Dari Kak Tata." Gadis itu langsung pergi menuju kamarnya.

Aska melempar plastik itu ke ranjang sebelum ia buka baju tersebut. Laki-laki itu tersenyum puas, Tata begitu mudah mengalah pada dirinya.

Aska mengambil plastik tersebut dan membukanya. Napas laki-laki itu memburu saat melihat isi di dalam plastik tersebut, bukannya sebuah seragam sekolah melainkan sebuah kain putih. Terdapat pula kertas berukuran kecil terselip di sela-sela.

'Lo mau seragam? Ambil tuh sendiri di atas pohon. Udah gue gantungin di sana.'

Aska melihat di balik jendela kamarnya ternyata benar, seragam yang Tata beli tergantung di atas pohon paling tinggi di depan rumahnya.

"Sialan, s Curut."

Aska, my Husband!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang