Aska-10

44 1 0
                                    

"Hahaha, harusnya gue masih pikir sekolah bukan mikir nikah. Apalagi sama lo, Curut!"
.

.

.

.


.

.

.

Dengan langkah gontai, Tata memegang kuat sup yang ia bawa dari rumah. Garis bawahi ia terpaksa karena takut dengan ancaman sang Ayah akan menikahkanya dengan Aska besok. Sebenarnya Tata ingin putar balik kali ini juga saat sampai di pekarangan rumah Aska, ia menghela napas panjang sangat panjang. Menyiapkan mental bertemu dengan laki-laki yang akan menjadi calon suaminya, Tata berdoa di dalam hati semoga Aska tidak sedang berada di rumah saat ini.

Semoga doanya terkabul.

Semoga saja.

Dengan langkah pelan, Tata memberanikan diri berjalan menuju pintu utama rumah Aska. Tampak sepi seperti biasanya tapi di dalam tidak sepi, tangan Tata masih melayang di udara antara mengetuk pintu rumah itu atau tidak.

Ia ragu, Tata ingin berlari saat ini juga!

Setelah beberapa menit merenung, Tata mengetuk pintu itu dengan pelan. Pintu terbuka lebar menampilkan wanita parubaya yang tersenyum kepadanya. "Tata calon mantu Bunda!"

Tata yang mendengar teriakan langsung ingin menghilang begitu saja. "Ayo masuk-masuk, Ta. Jangan canggung sebentar lagi juga kamu bakal tinggal di sini bareng Aska."

Tata tersenyum canggung, ia mengikuti langkah kaki di depannya. "Tante, ini ada sup dari Bunda."

"Panggilnya Bunda Asya saja jangan Tante, ya. Pelan-pelan belajar."

"I-iya, Bund."

Dengan langkah berat ia terpaksa mengikuti langkah kaki Ibunya Aska dari belakang. Ia ingin pulang namun Asya menolak, memintanya untuk berada di sini sebentar. "Duduk, Ta. Santai kayak biasa."

Tata mengangguk, matanya melihat ke setiap penjuru rumah dari kanan ke kiri. Ia menghela napas, ternyata sosok Aska tidak ada. "Kamu cari Aska?"

Tata menggelengkan kepalanya.

"Aska lagi tidur." Tata ingin pergi saat ini juga, ia mengigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ia takut Tante Asya akan berteriak memanggil s Curut Aska.

"Ke atas aja bangunin, Ta."

"Engga, Tan. Makasih." Asya langsung tertawa pelan. "Bunda, Ta. Bukan Tante."

"Iya, Bu."

"Tata pulang dulu, ya, Bun." Dengan cepat Tata mengecup pundak tangan Asya lalu berlari secepat kilat. Asya yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya. "Dasar anak muda jaman sekarang kelakuannya."

"Siapa, Bun?" tanya Aska yang baru saja turun dengan muka bantal yang masih melekat di wajahnya. Sebelum turun, Aska mendengar Bundanya berbicara dengan seseorang tapi saat ia turun hanya ada Bundanya seorang diri.

"Tata." Tangan yang sedang menggaruk kepalanya pun berhenti seketika, matanya langsung terbuka sempurna.

"Tata, Bun?" tanya Aska untuk memastikan kembali jika telinganya masih berfungsi dengan baik, apalagi ia baru saja bangun tidur. "Iya, baru aja pulang. Abang sih telat turunnya, Bunda suruh Tata ke atas tapi Tatanya engga mau."

"Ngapain sih dia ke sini? apa jangan-jangan dia nagih janji buat batalin perjodohan?" Aska berbicara di dalam hatinya.

Asya berteriak memanggil putra tidak ada sautan, anak itu malah melamun di ujung tangga. "Bang!"

Asta tersentak. "Iya, Bun."

Asya menggelengkan kepalanya. "Tadi Tata bawa sup, itu ada di meja." Asya pergi menaiki tangga  setelah Bundanya menghilang dari pandangannya. Aska berlari menuju dapur, langkah kakinya berhenti tepat di depan meja makan. Netra ya menatap sup yang masih utuh di dalam mangkuk berukuran besar.

Sup itu sangat membuat air liurnya menetes.

Dengan cepat Aska mengambil  sendok lalu mencobanya sedikit. "Ini Fiks, buatan Tante Lala. Mana bisa Tata buat sup seenak ini." Aska tidak puas hanya mengambil satu sendok kini mengambil piring lalu menuangkan  sup itu kemudian menyantapnya dengan nasi panas.

Aska bersendawa saat nasi yang  di piring habis tak tersisa. "Enak banget, sup di restoran mana pun kalah." Asya yang melihat putranya berbicara hanya menggelengkan kepalanya, ia melanjutkan berjalan menuju kulkas lalu membukanya. "Mau apel, Bang?" tanya Asya.

"Boleh, Bun." Asya mengambil dua apel lalu mencucinya.

"Nih." Apel yang utuh itu Aska gigit besar-besar. "Nanti balikin mangkuk itu, ya, Bang." Apel yang ada di mulutnya terjatuh begitu saja.

"Kok Abang?"

"Siapa lagi, Bunda?" Asya menggelengkan kepalanya. "Bunda mau nyuci."

Aska menghela napas panjang, matilah dia!

_

Tata terkejut setelah membuka pintu, ternyata ada mahkluk asal yang datang sontak Tata langsung berseru. "Ngapain lo ke sini?"

Aska mengangkat  tinggi-tinggi mangkuk itu supaya Tata bisa melihat dan mengenali barang miliknya. "Di cuci belum?" tanya Tata.

Aska mendengus sebel, ia memperlihatkan mangkuk yang ada di tangannya. "Udah, ya. Lo bisa lihat sendiri engga ada noda sedikitpun kalau mata lo engga minus."

Tata langsung merampas mangkuk itu dengan kasar. "Sadar Napa, kalau jatuh gimana? Gue yang harus ganti."

"Bodo." Pintu itu tertutup dengan kasar, Aska yang ada di tempat sontak mengelus dadanya. Bertapa terkejutnya ketika pintu itu di tutup tepat di depannya bahkan suara itu terdengar di telinga Lala.

"Astaga, tutup pintu itu pelan-pelan." Lala sangat ingin menarik telinga putrinya itu, semakin di nasihat bukannya mengerti malah semakin parah.

"Tadi Tata kaget, Bun. Soalnya ada hantu di luar."

"Mana ada hantu di siang bolong gini, otak kamu ini gimana sih. Ya Allah." Tata hanya tertawa terbahak-bahak sembari membawa mangkuk yang ada di tangannya menuju dapur.

"Bunda, nikahin kamu beneran ini mah."

"Eh, jangan-jangan." Tata menggelengkan kepalanya sembari menatap sang Bunda dengan tatapan memelas. Ia belum siap untuk menikah, nanti suaminya di kasih makan apa. Tata belum bisa memasak, memasak telur saja ia gosong.

Dan juga Aska, laki-laki itu belum bisa menafkahinya. Masih sekolah darimana uang itu berasal jika tidak bekerja. Apa ia mencari jalan pintas, dengan jaga lilin sedangkan Aska yang menjadi    babinya.

"Nanti makan apa Bun kalau Tata nikah?" tanya Tata.

"Kamu itu tinggal makan aja susah, buat apa ada Bunda sama mertua kamu. Ikut makan engga bakal bikin Tante Asya bangkrut apalagi kamu istrinya Aska."

Tata yang mendengar itu langsung meringis. Mana bisa sudah menikah tapi masih minta makan di orang tua, tidak Wajid di contoh itu tidak baik sama sekali.

"Ih, engga mau banget Tata begitu Bun."

Lala menjitak kening putrinya. "Ya, nanti kalian usaha lah. Kalau engga mau gitu kalian mandiri sana."

"Uang dari mana?"

"Usaha."

Aska, my Husband!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang