4. Makan Malam

3.9K 439 18
                                    

Gana tidak menyangka ibunya sudah kembali dari Singapura. Sudah tiga tahun ia tidak bertemu sang ibu. Hanya berbicara melalui video call. Semenjak ayahnya meninggal, ibunya harus mengurus bisnis keluarga mereka di Singapura, dan Gana mengurus bisnis Indonesia. Sementara Dana tidak mau mengurusi perusahaan keluarga, lelaki itu memilih menjadi fotografer dan pelukis.

"Kalian berdua selalu bersama, kenapa tidak menikah saja. Bunda sudah ingin sekali memiliki cucu," ujar Nia sambil melirik sang putra dan Adeline.

"Bun, kami hanya berteman. Lagian Gana sudah mempunyai calon istri," terang Gana dengan percaya diri.

"Iya, Tante Nia, Gana sudah memiliki calon istri."

"Bagus kalau begitu. Ajak dia bertemu Bunda secepatnya. Harapan Bunda satu-satunya cuma kamu. Adikmu sulit diatur dan pembangkang. Sekarang tidak jelas dia ada di mana," keluh Nia dengan raut wajah muram. Ia benar-benar merindukan putra bungsunya tapi jarang sekali Dana memberi kabar. Ia selalu berharap Dana bisa seperti kakaknya yang selalu patuh dengan orang tua.

"Dia ada di Paris, Tante," sahut Adeline yang mendapatkan informasi dari rekan modelnya yang terakhir di foto oleh Dana.

Gana mengernyit. Ia saja tidak tahu di mana adiknya. Walau ia menemukan ponsel adiknya di rumah orang tuanya tapi tidak ada informasi apa pun di ponsel saudara kembarnya itu.

"Dari mana kamu tahu Dana di Paris?" tanya Gana penasaran.

"Model kenalanku kan banyak. Ada yang bilang kalau Dana ada projek di Paris. Dia dikontrak brand besat untuk menjadi fotografer di sana. Hanya itu yang aku dengar."

"Ya sudah, kalau dia baik-baik saja. Bunda hanya berharap kalian bertiga selalu sehat dan bahagia," jelas Nia dengan raut wajah sendu, "Adeline, sudah tante anggap seperti anak kandung sendiri. Kamu jaga diri baik-baik, ya."

"Iya, Tante Nia. Semoga tante sehat selalu," balas Adeline dengan suara lembut.

"Bun, tapi masalahnya calon istri Gana itu selalu ngira Gana itu Dana. Padahal Gana udah ngomong kalau Gana itu bukan Dana."

"Apa? Kenapa bisa?"

"Jadi, gini Tante. Dia kan model lalu kenal dengan Dana tapi dia pikir yang ngelamar dia itu Dana karena enggak begitu akrab dengan Gana, dia enggak bisa bedain mana Dana, mana Gana," tutur Adeline semasuk akal mungkin. Ia sudah berjanji kepada Gana untuk membantu lelaki itu agar pernikahannya dengan Irene berjalan lancar.

***

Irene sangat antusias bertemu Nia. Selama ini, Dana selalu mengatakan kalau orang tuanya sibuk bekerja di Singapura, jadi tidak bisa memperkenalkannya dengan sang mama. Makanya, begitu Gana mengajak Irene makan malam dengan Nia, ia sangat senang.

Malam ini Irene menggunakan gaun selutut bewarna biru pastel. Ia tampak begitu cantik dengan rambut disanggul. Gana semakin terpesona pada calon istrinya.

Sementara Adeline menggunakan gaun hijau muda dengan rambut yang digerai. Gadis itu tampak begitu manis. Ia juga datang di acara makan malam ini karena sudah dianggap seperti anak kandung sendiri oleh Nia.

"Selamat malam Nona Irene," sambut Adeline yang melihat Irene baru saja memasuki ruang makan.

"Selamat malam juga Nona Adeline," balas Irene lembut. Ia sebenarnya masih heran dengan kedekatan Gana dan Adeline, pasalnya selama ini Dana tidak pernah mengenalkan Adeline sebagai sahabatnya. Namun, tadi Gana menerangkan bahwa di acara ini juga ada Adeline yang sudah dianggap seperti anak oleh ibunya. Namun, meski heran Irene tetap berpikir positif pada sang calon suami.

"Nak Irene, cantik sekali," puji Nia seraya diakhiri senyuman.

Irene tersipu malu, "Terima kasih, Tante."

Sebenarnya Irene gerogi, tapi Gana terus mengandengnya dan sesekali mengusap-usap punggung tangan wanitanya agar nyaman.

"Ini untuk Tante," kata Irene seraya menyodorkan tas yang berisi sapu tangan hasil sulamannya.

"Wah, terima kasih, ya." Nia pun mengambil kotak di dalam tas dan mengeluarkan hasil rajutan Irene.

"Cantik," ungkap Nia, ia menatap Irene dengan lekat. Namun, yang ditatap malah menjadi kikuk karena was-was.

"Iya, cantik itu," timpal Adeline yang memang menyukai rajutan, "kalau boleh, aku minta dibuatkan sapu tangan juga."

"Kamu kan desainer, bisa buat sendiri? Jangan manja," canda Gana yang mendapat balasan tatapan tajam dari Adeline yang duduk di depannya.

"Iya, nanti aku buatin." Irene masih tersenyum.

"Begini Nak Irene, saya mengundang kamu kemari untuk mendiskusikan pernikahanmu dengan anak saya. Apakah keluargamu setuju jika kamu menikahi putra saya?"

"Maaf, Tante. Orang tua saya sudah meninggal semua. Saya hanya hidup sendirian."

Nia terdiam sejenak. Gana dan Adeline juga ikut diam. Gana lupa memberi tahu ibunya bahwa orang tua Irene sudah meninggal.

"Maaf, ya. Semoga orang tuamu bahagia di sana," ujar Nia dengan kelembutan.

"Enggak papa, Tante. Tidak usah minta maaf."

"Kamu beneran serius kan ingin menikahi putra Tante?"

Irene mengangguk, "Iya, Tante."

"Tante harap kamu selalu mencintai Gana seperti Gana mencintai kamu."

Irene terdiam sejenak. Ia tidak salah mendengar bahwa Nia menyebut nama Gana, bukan Dana. Dirinya hanya mengangguk, mungkin ia salah dengar.

"Irene sangat mencintai Gana, Tante. Enggak mungkin Irene meninggalkan Gana," timpal Adeline yang membuat Irene membelalakkan matanya.

Bersambung....
Jeng ... jeng ...
Bagaimana menurut kalian?

Note:
Yang punya akun kubaca baca ceritaku yang udah tamat di sana, yuk.
Yang mau beli novel atau pdf hubungi wa 087825497438

Unpredictable NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang