10. Pura-pura tidak tahu

2.8K 331 24
                                    

Kemarin, aku update dua part 8 dan 9 bisa dibaca, kan?

Mata Gana tidak berhenti teralihkan dari Irene. Perempuan itu tampak cantik dengan gaun pernikahan biru muda. Apalagi, wanita itu tengah tersenyum sekarang.

"Gaunnya cocok sekali dipakai kamu," kata Adeline seraya membenarkan gaun Irene.

"Iya, aku suka sekali dengan gaun ini,"  aku Irene, lalu melirik ke arah Gana yang terlihat tenang, lelaki itu mengubah ekspresinya dengan cepat, begitu sadar Irene menatap ke arahnya.

"Bagaimana Gana pendapatmu tentang gaun ini?" Adeline menoleh ke arah Gana, setelah ia selesai mengatur gaun yang dipakai Irene.

"Bagus, cocok dipakai Irene."

"Lalu, kamu mau ambil gaun ini?" Adeline bertanya ke Irene.

Irene mengangguk. Ia sudah berpikir lama tadi, dirinya tidak akan langsung membatalkan pernikahan. Ada banyak hal yang perlu ia pertimbangkan. Dana belum ada tanda menunjukkan keseriusan padanya, jika ia meninggalkan Gana belum tentu ada pria lain yang menerimanya karena mayoritas pria menginginkan gadis yang masih perawan.

"Oke, kalau gitu gaun ini bisa kamu ambil," Adeline tersenyum karena hanya tinggal satu gaun yang harus ia buat, "Gana, jangan lupa bayaranku ditransfer segera beserta bonusnya." Adeline mengingatkan kalau Gana akan memberikan cokelat dari Swiss.

"Siap, Bos. Terima kasih sudah membuatkan gaun dan jas yang untuk kami," sahut Gana dengan raut wajah sumringah.

"Oke, kalau gitu aku pamit pulang ya, Ren, Gan," pamitnya seraya mengemasi barang-barangnya ke dalam tas.

"Iya, kok kamu buru-buru?" tanya Irene seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Adeline.

"Ini aku masih mau ketemu dengan klien juga."

"Ohh ...," Irene langsung mengantarkan Adeline ke depan pintu masuk yang diikuti dengan Gana.

"Hati-hati, Line," kata Gana dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Adeline mengangguk, lalu pergi. Setelah itu, Irene dan Gana masuk kembali.

"Aku mau ganti baju dulu, ya. Kamu tunggu di sini."

"Oke."

Gana melihat-lihat lukisan yang ada di ruang tamu. Lukisan itu baru ia lihat, sepertinya Irene baru saja memesan lukisan itu. Ada satu lukisan yang membuatnya kesal. Lukisan Irene dan Dana sedang bergandengan tangan. Ia yakin gambar itu dilukis berdasarkan foto Irene dan Dana karena Gana pernah melihat wallpaper ponsel Dana adalah foto itu.

Dana tampak misterius di sana dengan wajah datar, sementara Irene tersenyum lebar. Sangat kontras berbeda.

Gana kembali duduk sambil memainkan permainan di ponselnya sebentar.

"Gana," panggil Irene seraya menaruh sepiring bolu buatannya ke hadapan Gana.

"Iya."

"Ini bolu buatanku. Kamu cicipi, ya," pintanya dengan suara lembut.

"Oke."

Gana mengambil sepotong bolu, lalu tersenyum. Ia suka sekali dengan masakan atau kue buatan Irene. Lezat, walau masih lezat masakan sang bunda.

"Gimana rasanya?"

"Manis tapi tidak terlalu. Enak, kamu jago masak juga, ya."

"Enggak juga."

"Rene, kamu kenapa nangis tadi? Ada masalah apa?" tanya Gana serius. Ia cemas sesuatu yang buruk terjadi. Entah kenapa meski baru mengenal Irene, tapi ia benar-benar menyayangi perempuan itu dan selalu khawatir dengan kondisi Irene.

"Enggak, aku tadi ketiduran, bangun-bangun aku mimpi kamu ninggalin aku. Aku takut itu menjadi kenyataan," bohongnya. Sebenarnya tadi ia ingin melakukan protes ke Gana kenapa menipunya selama ini. Namun, ia urungkan mengingat Gana selalu baik dan manis padanya dan terlihat serius ingin mempersunting dirinya menjadi istri. Lalu, ia berencana untuk pura-pura tidak tahu kalau Gana bukan kekasihnya untuk mengenal Gana lebih baik lagi, jika Dana meninggalkannya ia akan memilih Gana kalau lelaki itu memang memiliki karakter yang baik dan ingin mempersuntingnya.

"Ya ampun, mana mungkin aku meninggalkan Si Cantik ini," gumam Gana seraya mengelus surai Irene lembut.

"Kalau aku jelek kamu mau ninggalin aku, gitu?"

Buru-buru Gana menggeleng, "Aku enggak akan ninggalin kamu seperti apa pun fisikmu. Kalau setelah menikah dan punya anak, tubuh dan wajahmu berubah seperti apa pun itu aku tetap akan setia," janji Gana seraya mengenggam tangan Irene.

Gana mengambil kotak yang ia bawa, lalu ia berikan ke Irene, "Ini untukmu."

Irene membuka kotak itu dan ternyata sebuah kotak musik yang ada di dalamnya. Ia tak menyangka Gana akan memberikan kotak musik dari produk Lanavay yang dijual edisi terbatas untuknya. Menurutnya itu sangat romantis. Berbeda sekali dengan Dana yang jarang memberikan hadiah atau memanjakan dirinya.

"Terima kasih, Gana."

"Tidak usah mengucapkan terima kasih karena apa pun itu akan aku berikan dan lakukan untuk membahagiakanmu. Itu kewajibanku sebagai calon suamimu."

Irene benar-benar takjub dengan sosok Gana. Ia kira dulu Gana itu sombong dan kasar. Makanya, ia tidak mau berurusan dengan saudara kembar kekasihnya itu. Namun, nyatanya Gana itu hangat dan tidak perhitungan.

"Kamu janji tidak akan meninggalkanku?"

"Pasti."

"Kalau aku melukaimu bagaimana? Apakah kamu akan membenciku?"

"Enggak, mencintai risiko terbesarnya adalah terluka. Aku percaya kamu tidak akan melukaiku, kalau aku akhirnya terluka karenamu mungkin ini takdirku."

"Kalau misalnya aku membatalkan pernikahan denganmu, apakah kamu akan marah?"

"Enggak, santai. Aku bukan pemarah, kalau patah hati iya. Aku tidak bisa memaksa orang yang ingin pergi dariku untuk tetap bersama," jelas Gana tulus, meski ada semburat luka di wajahnya. Dari awal ia tahu kalau Irene bukan miliknya. Jika, wanita itu kembali ke kekasihnya yang sebenarnya, ia mau tidak mau harus merelakan.

Bersambung...
Serius, nanya apakah cerita romance harus adegan wik wiknya biar gak hambar?

Teman, kalian suka baca cerita fantasi enggak? Baca, dong ceritaku Unpredictable World hehe

Unpredictable NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang