Irene membuka pintu apartemennya dan tak ia sangka Dana ada di hadapannya. Dikiranya sang kekasih sedang ada di urusan keluar kota karena tadi Nia menghubunginya kalau Gana akan pergi ke Bandung. Namun, di depannya sudah berdiri sosok Dana yang memegang boba kesukaan Irene.
Dana menyodorkan boba itu yang langsung diterima Irene, "Kamu tahu aja aku lagi pengin minum boba." Irene tersenyum manis.
"Kebetulan aja aku lewat toko boba, ya udah aku beli," akunya, padahal ia memang ingin membelikan Irene boba. Dana sebenarnya ingin membawa bunga tapi itu seperti bukan gayanya.
"Ohh ... gitu. Ayo masuk Sayang. Kebetulan aku masak pepes salem kesukaan kamu," kata Irene dengan raut wajah sumringah. Ia menggandeng tangan Dana masuk ke apartemennya yang disambut hangat oleh lelaki itu.
"Tumben masak," jawab Dana heran. Setahunya Irene jarang sekali memasak, apalagi memasak pepes yang prosesnya lama.
"Iya, aku lagi belajar masak. Soalnya aku mau jadi istri yang baik untukmu."
"Ohhh ...." Hanya jawaban itu yang keluar dari bibir Dana karena sebenarnya ia ingin menjawab kalau saat itu masih lama. Ia belum tahu kapan dirinya akan menikahi Irene. Namun, ia tidak akan mengutarakannya lagi karena ia tidak mau bertengkar dengan Irene lagi seperti pertemuan terakhirnya dengan Irene sebelum ke Paris.
Irene bergegas menyiapkan nasi dan teh hangat untuk Dana, "Kamu mau aku suapin?" tanya Irene antusias.
"Enggak usah," balas Dana seraya mengambil sendok.
Dana makan satu suap. Ia tersenyum. Kemampuan memasak Irene berkembang dengan baik. Tidak ia sangka masakan buatan sang kekasih begitu lezat.
"Gimana rasanya?" Irene menopang dagunya dengan tangan kanan.
"Lumayan."
"Ehh ..., Sayang. Kapan undangan resepsi pernikahan kita selesai dibuat?"
Dana terdiam. Ia tidak paham dengan maksud Irene. Raut wajahnya terlihat sangat kebingungan.
"Undangan resepsi pernikahan?" Dana menatap Irene lekat, "maksudmu apa? Aku saja belum siap menikahimu tapi kamu membicarakan undangan." Dana pikir Irene hanya bercanda tapi melihat raut wajah Irene yang sama kebingungan seperti dirinya. Ia menjadi semakin tak mengerti. Hal apa yang sebenarnya terjadi selama ia pergi ke Paris.
"Sayang, kamu jangan bercanda. Aku tahu kamu itu lucu, tapi ini saat yang tidak tepat untuk bergurau."
"Irene, kapan aku bilang ingin menikahimu dalam waktu dekat? Kapan juga aku menentukan dan memesan undangan pernikahan?" tanya Dana bertubi-tubi. Jika tidak melihat raut wajah Irene, ia pasti mengira kalau Irene hanya bergurau dengannya.
"Kamu malah membuatku bingung. Kamu sengaja ya membuatku kesal," geram Irene dengan raut wajah kesal. Ia merasa dipermainkan oleh Dana, "padahal persiapan pernikahan kita sudah matang dibuat bersama bundamu juga, Gana."
Dana terdiam mencoba mencerna perkataan Irene. Ia jadi teringat ucapan bundanya kemarin kalau Gana akan segera menikah, makanya Adeline datang untuk memberikan contoh desain untuk gaun yang akan dipakai Nia. Lalu, Nia mengatakan kalau calon istri Gana bernama Irene. Dirinya pikir itu Irene yang lain, bukan Irene kekasihnya.
Dana mengacak rambutnya. Ia ingin marah dengan Irene jika benar wanita itu ingin menikahi saudara kembarnya karena ia tidak memberi kepastian.
"Sejak kapan namaku berubah menjadi Gana? Kamu bermain api dengan Gana selama aku di Paris atau sudah lama sebelum itu?" Dana menatap Irene dengan tatapan tajam. Ada rasa sakit di hatinya, seperti tertancap duri di hati.
Irene terdiam sejenak. Dirinya langsung mengerti kalau lelaki di hadapannya bukan Gana tapi Dana. Namun, yang membuatnya bingung sebenarnya siapa kekasihnya Dana atau Gana? Siapa yang harus ia percaya.
Bulir-bulir air meluruh dari mata Irene. Ia menatap sendu Dana. Pikiran dan hatinya berkecamuk.
"Aku bingung. Siapa kekasihku selama ini? Kamu atau Gana. Kenapa kalian membuat pusing," jujur Irene seraya mengusap air matanya.
"Irene, kenapa kamu bingung? Jelas-jelas aku kekasihmu, kita sudah berkencan selama dua tahun," jelas Dana dengan nada lembut. Ia tidak tega melihat Irene menangis. Meski kesal, ia berusaha untuk tetap sabar. Dirinya tidak mau memaki atau menyakiti hati Irene.
"Gana bilang, aku salah panggil nama dia dengan sebutan Dana. Dia bilang sangat mencintaiku dan mengatakan kalau dia ingin menikahiku. Aku kira selama ini aku berkencan dengannya," terang Irene tanpa menatap mata Dana. Ia takut sekali.
"Bohong. He is a liar." Dana mengambil sapu tangan di sakunya, lalu memberikannya ke Irene, "hapus air matamu. Aku tidak suka melihat orang menangis."
Irene malah semakin terisak, "Terus bagaimana ini Dana? Aku sudah menerima lamarannya."
Dana mengembuskan napas sejenak. Ia meminum tehnya untuk memberikan ketenangan sejenak untuknya.
"Kenapa kamu bisa mudah tertipu oleh Gana?" Dana mengusap punggung Irene berharap sang kekasih tenang. "Gana itu tidak menyukaiku, dia ingin merebut apa yang aku sukai. Tapi, aku tidak menyangka dia ingin merebutmu."
"Maaf, Dana. Aku kan tidak pintar membedakan kalian. Kalian identik, makanya aku tidak bisa membedakan. Lagi pula, sebelumnya aku tidak pernah berbicara banyak dengannya, hanya pernah bertemu dengannya dua kali," bela Irene yang takut Dana murka padanya. Ia benar-benar mencintai Dana meski pria itu tidak seromantis Gana. Namun, Dana selalu sabar dengan sikapnya.
Irene takut sekali sekarang kalau Dana tahu dirinya sudah berhubungan selayaknya suami istri dengan Gana. Dirinya yakin Dana pasti sangat kecewa padanya. Padahal lelaki itu menjaganya dengan baik selama ini. Apalagi, kalau kekasihnya tahu dirinya yang menjebak Gana.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Night
RomanceIrene yang tidak ingin diputuskan oleh Dana Hartanto, ia ingin menjebak kekasihnya itu agar segera dinikahi tapi naasnya dia malah salah sasaran. Ternyata seseorang yang bercumbu dengannya adalah saudara kembar dari Dana yaitu Gana yang sifatnya jau...