7. Dana Kembali

3.2K 355 26
                                    

Dana memasuki rumah orang tuanya. Langsung berpapasan dengan Gana yang tengah menelpon. Sontak lelaki itu tersenyum sekilas melihat adik kembarnya dan memutuskan panggilan telepon.

"Hai, Jaguar," panggil Gana kepada adiknya. Ia memiliki panggilan khusus untuk Dana karena lelaki itu suka sekali dengan Jaguar. Seperti saat ini ia menggunakan kaos yang memperlihatkan binatang buas itu.

"Hemmm ...," sahut Dana seraya berhenti sejenak.

"Dari mana saja baru kelihatan?" tanya Gana seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

"Paris."

Nia yang mendengar suara kedua anaknya langsung menuju ruang tamu. Ia yakin Dana sudah kembali. Makanya ia bergegas ingin menemui anak bungsunya.

Begitu melihat Dana membawa koper. Ia langsung menyungginkan senyum karena itu pertanda Dana mau tinggal di rumah Nia daripada di apartemen sendirian. Ia berharap bisa berkumpul terus dengan kedua anaknya.

"Dana, kamu sudah pulang, Nak?" tanya Nia seraya memegang lengan Dana.

"Iya, Bun," jawab Dana dengan nada lembut, lalu ia peluk ibunya, "Bunda kapan kembali ke Indonesia?" 

"Seminggu yang lalu," jawab Nia dengan diakhiri senyuman.

"Selamat siang semuanya," sapa Adeline yang memasuki ruang tamu. Perempuan itu membawa beberapa contoh desain untuk gaun yang akan dipakai Nia untuk acara pernikahan Gana dan Irene.

"Siang, Adeline," balas Nia seraya melihat ke arah Adeline.

Adeline berjalan mendekati mereka. Ia langsung menyalami tangan Nia yang disambut hangat oleh wanita itu.

"Hai, Dana," ujar Adeline menatap Dana yang menggunakan kaos bergambar Jaguar. Ia yakin itu Dana. Ia tahu kalau Gana sering memanggil adik kembarnya dengan sebutan Jaguar karena adiknya sangat menyukai binatang buas itu.

"Hai Miss Adeline, apa kabar?" katanya basa-basi.

"Selalu baik," kata Adeline tanpa bertanya kabar lelaki itu. Sebenarnya ia juga malas menyapa Dana. Apalagi berurusan dengan Dana.

"Del, baru aku mau nelpon kamu udah muncul duluan," sahut Gana dengan nada datar.

"Soalnya kalau besok aku ada acara. Jadi, aku ke sini mendadak. Maaf, ya enggak ngabarin dulu."

"Emhh ... Bun, Dana capek sekali. Dana mohon izin dulu mau istirahat," pamitnya seraya menatap ke arah ibunya, lalu ke Gana dan Adeline.

"Iya, nanti Bunda masakin masakan kesukaan kamu setelah kamu bangun tidur."

Dana mengangguk, lalu pergi dengan menarik kopernya lagi.

"Adel, duduk dulu. Tante mau ambil puding dan cup cake buatan Tante. Kamu cicipin, ya. Soalnya nanti mau Tante kasih ke Irene."

"Iya, Tante."

Nia pun meninggalkan ruangan. Menyisakan Gana dan Adeline. Mereka pun duduk di sofa, lalu berbincang-bincang.

"Dana, kok udah balik sih?" Adeline bekata dengan halus, nyaris tidak terdengar.

"Mana aku tahu. Dia pergi juga tidak pamit kepada keluarganya. Kamu tahu sendiri kan Dana seperti apa."

"Terus ini gimana, kalau pernikahanmu dan Irene gagal."

"Nasib," Gana menjawab dengan santai. Ia tidak takut pernikahannya gagal atau pun Dana murka padanya karena dari awal ia sudah tahu kalau ingin menikahi Irene penuh dengan risiko.

"Kamu sudah pesan baju di aku, udah booking gedung, dan lain-lain. Apa enggak rugi itu?"

"Kalau enggak nikah dengan Irene, aku akan menikahi orang lain."

"Memang gampang cari istri dalam waktu singkat?" Adeline menatap Gana heran, ia tidak tahu kenapa sahabatnya menjadi seperti itu, "pernikahan bukan main-main, Gan."

"Iya, aku tahu. Makanya kalau aku gagal nikahin Irene, ya aku akan nikahin kamu. Ide yang bagus bu--" Belum sempat ucapan Gana selesai, bantal ruang tamu sudah mendarat ke wajahnya. Adeline melempar bantal sekuat tenaga.

"Nikah aja sama kebo sana," saran Adeline dengan raut wajah kesal.

"Kenapa sih kamu enggak suka denganku? Padahal, banyak perempuan tergila-gila padaku."

"Selera orang beda tahu. Kamu bukan tipeku."

Gana hendak membalas ucapannya tetapi ibunya telah datang dengan membawa baki berisi minuman, cup cake, dan puding.

"Ini buat Adeline," ujar Nia seraya menaruh minuman dan makanan ke hadapan Adeline.

"Terima kasih, Tante. Maaf jadi ngerepotin."

"Enggak ngerepotin yang ada Tante sekeluarga yang sering ngerepotin kamu, minta dibikin pakaian."

"Itu memang pekerjaan Adeline. Wajar kalau kita ngerepotin Adeline, Bun."

"Iya, bener kata Gana, Tante."

"Ngomong-ngomong kamu ke sini bawa desain yang mau kamu kasih lihat ke Tante?"

"Iya, Tan. Ada beberapa desain dan satu contoh gaun untuk Tante," terang Adeline seraya membuka tas dan paper bag-nya. Ia langsung menyodorkan buku desainnya dan gaun ke Nia.

"Ya ampun, ini cantik sekali gaunnya," puji Nia melihat gaun yang diberikan Adeline.

"Baju karya Adeline memang tidak diragukan lagi kualitasnya, Bun. Kita beruntung ya bisa selalu menggunakan jasa Adeline," timpal Gana seraya membuka halaman per halaman buku desain milik Adeline.

"Terima kasih Tante dan Gana atas pujiannya." Adeline tersipu malu.

"Sekalian buatin untuk Dana, ya." Nia memegang tangan Adeline, menepuknya pelan.

"Baik, Tan."

"Itu kuenya dimakan enak enggak," Nia mengingatkan.

Adeline tersenyum. Ia memakan kuenya, lalu matanya membelalak. Lezat sekali, pikirnya. Dirinya sudah lama merindukan kue buatan Nia.

"Tante senang banget kalau Adeline bisa menjadi menantu Tante. Kalau enggak bisa sama Gana, kamu nikah dengan Dana juga enggak pa-pa."

Adeline langsung terbatuk, ia tersedak karena ucapan Nia yang membuatnya kaget. Sontak Gana menyodorkan air mineral beserta sedotan di hadapannya ke Adeline.

"Aduh, Del. Kamu kalau makan pelan-pelan aja." Gana mengingatkannya.

"Kuenya enggak enak, ya?" Nia menatap Adeline dengan raut wajah terkejut.

"Enggak, Tan. Ini lezat, saking enaknya Adel makannya terburu-buru."

Bersambung...

Dari tahun 2015-sekarang nulis di wattpad, saya enggak ada progress apa pun. Lihat author lain udah benaran jadi author, abdi teh masih mbuh-mbuhan. Enggak pinter nulis, cuma bisa bayangin, enggak bisa jabarin, padahal mimpinya pengin jadi author profesional.

Maaf, ya kalau ceritaku aneh kayak orangnya.

Unpredictable NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang