23. ^Bersamamu Tanpamu^

31 7 0
                                    




Teruntuk kamu yang masih menunggu kelanjutan cerita ini. Terima kasih sudah menjadi temanku dan menjadi orang yang paling sabar menemaniku menuliskan cerita ini. 

Semoga cerita ini  bisa menjadi teman yang menyenangkan bagimu.

^-^




Bagiku Aksa adalah orang yang lebih keras kepala daripada aku. Bagaimana tidak? Berulang kali aku memintanya menjauh, berulang kali juga dia mendekat. Tetapi karena keras kepala itulah dia mampu memasuki duniaku yang terlampau tenang, penuh dengan keheningan yang redup. Dia serupa secercah cahaya yang menerobos celah jendela kamarku.

Apa kalian berpikir aku menghindarinya karena takut kalau aku pada akhirnya akan jatuh hati padanya? Tidak, kalian tentu salah besar. Hatiku telah sepenuhnya terisi Gibran dan tidak ada tempat bagi siapa pun. Aku tak mau memberikan harapan kosong kepada orang lain terlebih untuk pria sebaik Aksa. Dia pantas bertemu dengan perempuan baik.

Andai saja Aksa datang menawarkan pertemanan mungkin –kemungkinan besar aku lebih bisa menerima dirinya.

Lalu entah bagaimana bisa aku berada di sini bersama Gibran dan Seren –berada di tempat pertama kali aku bertemu dengannya. Bedanya aku tidak lagi sedang dikejar-kejar oleh pria asing. Lihatlah, seharusnya aku tidak ikut. Aku seperti di luar lingkaran dunia Gibran dan Seren.

Tahu kan kalau Seren itu kalau sedang nonton konser pasti tidak bisa diam. Dan aku juga tidak tahu bila ternyata Gibran juga sama saja. Astaga, ini semua gara-gara Seren yang suka memaksa agar aku sekali-kali bersosialisasi. Tapi kan bersosialisasi tidak juga harus di tempat yang sebising ini?

Seberes urusanku di rumah sakit, Seren datang menculikku padahal aku berencana menemani Gibran terapi.

"Gak usah dipikirin. Gibran udah ada yang urus. Ayolah kapan lagi kita bisa bareng-bareng. Kan sebentar lagi kamu mau pergi ke Meksiko."

"Iya, sih. Tapi kan gak harus dadakan kayak gini juga. Aku udah duluan janjian sama Gibran."

"Tenang, aku sudah bilang sama Gibran kalau hari ini kamu bakalan bersamaku seharian. Jadi masalah udah selesai kan?"

*****

Bu Soyem menelepon Aksa memberitahu kalau Pelita –anak Rumah Cahaya sakit selama seminggu. Sudah dibawa berobat, tapi kondisinya belum juga berkurang. Demamnya naik turun. Kalau siang hari sudah tampak lumayan sehat. Tibanya malam kembali demam. Dan hari ini muncul gejela muntah-muntah.

Aku dan Aksa memutuskan segera meninggalkan konser meski acara konsernya belum usai. Beruntung kali ini Seren tidak dalam keadaan egois seperti tadi siang, ia cukup mengerti kalau aku juga harus ikut bersama Aksa. Setidaknya aku bisa melakukan pertolongan pertama sebagai dokter muda.

Pelita itu salah satu anak berusia lima tahun yang paling bersemangat saat aku membacakan puisi yang kutulis di depan anak-anak lainnya. Anak yang cukup ceria dan punya rasa penasaran yang besar dan anak yang dapat membuatku merasa nyaman berada di tengah-tengah tempat yang baru pertama kali kudatangi.

Namun wajah nan ceria itu sudah terganti dengan wajah yang pucat. Pelita hanya terbaring lemas di atas tempat tidur, saat aku dan Aksa tiba di Rumah Cahaya. Aku segera menginfusnya. Iya, sebelum ke sini, tadi kami singgah ke apotek.

"Kalau keadaannya semakin parah, kita harus membawanya ke rumah sakit, Ak. Aku khawatir Pelita mengalami dehidrasi yang parah."

"Ini air hangatnya, Bun." Aksa meletakan sebaskom kecil air hangat dan handuk di atas nakas. "Aku ngikut aja apa yang disarankan dokternya karena itu pasti yang terbaik."

Peta Kata [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang