4. ^Tersihir^

184 95 12
                                    

*

*

*

Absen dulu sebelum ngebaca. Kamu dapat urutan ke berapa?

^Happy Reading^

Rasanya aku ingin langsung memukul kepala Aksa agar kewarasannya dapat segera kembali pada tempatnya. Enak saja mengklaim orang lain sebagai calon pacarnya. Aku berusaha sekuat mungkin untuk mengendalikan emosi, agar tidak meledak di hadapan anak-anak dan ibu yang berwajah teduh ini. Lagi pula mana mungkin aku bertingkah seperti orang gila. Cukup Aksa saja yang gila, aku tidak boleh ikut-ikutan.

"Tidak! Itu tidak benar, Bu," kilahku tegas menyangkal pernyataan Aksa yang sama sekali tidak masuk akal. Lagi pula itulah kenyataanya. Kalau bukan karena buku puisiku yang berada di tangannya, mana mau aku mengikuti dia seharian ini.

Ibu paruh baya itu pun memerhatikan diriku yang jelas terlihat tampak tak nyaman sangat kontras dengan sikap Aksa yang tidak sedikit pun menggubris perkataanku. Terlihat sangat santai sekali. Seakan-akan tidak ada kejadiaan apa pun.

"Perkenalkan nama saya Embun, orang yang diseret Aksa untuk datang ke sini," ucapku lagi setenang mungkin menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.

Ibu itu malah tertawa menatapku. Tawa yang bisa membawa kedamaian di hati siapa saja yang melihatnya. Ibu itu mengelus pucuk kepalaku dengan lembut. Dan entah kenapa tiba-tiba hatiku berdesir, seakan-akan sudah lama sekali aku tidak pernah merasakan sentuhan itu. Sentuhan seorang ibu.

"Iya, ibu mengerti. Tapi sesuatu yang kita bantah dengan keras, biasanya akan berputar arah menuju kenyataan," ujar ibu itu lembut sembari tersenyum menggoda diriku. Aksa juga ikutan senyum tidak jelas.

Duh, apanya yang mengerti. Kalau raut wajah ibu itu dan kalimat yang diucapkannya tersirat seolah-olah aku malu mengakui hubunganku dengan Aksa. Namun, aku tidak peduli. Saat ini ada hal yang lebih mengambil alih pikiranku. Iya, aku sangat ingin memeluk perempuan yang memiliki sifat keibuan ini.

"Bu, bolehkah Embun memeluk Ibu?" kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku. Senyuman ibu dan Aksa memudar, berganti oleh wajah terkejut mendengar permintaanku yang mendadak ini. Sungguh, aku juga terkejut dengan diriku sendiri karena meminta hal itu dengan orang yang baru kukenal.

"Tentu boleh. Sini biar ibu peluk Embun," ucapnya sambil merentangkan kedua tangannya di hadapanku.

Aku langsung berlari ke dalam pelukan ibu itu, mendekapnya erat. Kedua mataku terpejam seolah-olah ingin merekam dalam ingatan, bagaimana rasanya dipeluk oleh seorang ibu. Tanpa terasa kristal bening jatuh dari mataku, membasahi bahunya.

Ibu itu melepaskan pelukannya lalu menatapku. "Kapan pun Embun bisa datang ke sini buat meluk ibu," ucapnya sambil menghapus air mataku.

"Aku cemburu," celutuk Aksa. Aku dan ibu pun menoleh ke arah Aksa yang masih berdiri di dekat kami.

"Kenapa? Aksa juga pingin dipeluk sama ibu?" tanya ibu mengejek.

"Bukan, Bu. Sebenarnya ibu pakai sihir apa sih? Sampai ibu bisa memeluk Embun segitunya. Bahkan, dipertemuan pertama lagi. Nah, aku yang udah dari kemarin ketemu dengannya, jangankan dapat pelukan, dapat senyumannya saja nggak."

"Kamu nggak pantas disenyumin, apalagi dipeluk," sahutku ketus.

Memang iya, bagaimana bisa aku tersenyum kalau dia saja adalah makhluk yang paling menyebalkan di atas permukaan bumi ini.

"Lo, lantas apa yang bisa memantaskan hamba untuk mendapatkan semua itu, Tuan Putri?"

Ini orang apa-apaan sih, memang dikirain ini panggung sandiwara yang sedang memerankan karakter tuan putri dengan bawahannya.

Peta Kata [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang