dua

980 114 4
                                    

Christy melipat tangannya di dada, cara terbaik yang bisa dia lakukan untuk mengahalau rasa dingin selain menggosok-gosokkan kedua tangannya.

Kepulan asap sesekali keluar dari mulutnya tatkala Christy menghembuskan nafasnya. Kepalanya sesekali mengadah ke arah langit yang gelap, tak ada bintang membuat ia sedikit kecewa.

"Mungkin mati kedinginan sama baiknya." Gumamnya yang tak lagi mengahalau rasa dingin yang mencoba mencabik tubuhnya.

Sayangnya hal itu tak berkangsung lama, karna perempuan yang ikuti bernama Chika tadi kini berdiri di depannya dengan tatapan yang masih sama, dingin.

"Kamu sudah selesai kan? Jadi kamu udah siap untuk ngebunuh aku dong?" Christy bertanya dengan intonasi yang sangat biasa.

Chika yang berdiri di depannya hanya mengangguk menanggapi pertanyaan perempuan jenjang yang ia perkirakan masih di bawah umurnya itu.

"Hm, tapi aku ngga bakal kamu bunuh di sini. Ikut aku dulu masuk ke dalam."

Tanpa menunggu jawaban Christy, Chika berbalik masuk kembali ke dalam rumahnya.

Christy mengamati seisi rumah itu, bersih, rapi namun tak ia menemukan hawa kehidupan di dalamnya. Rasa penasaran yang mencoba merayapnya tiba-tiba, ia halau dengan kuat.

Gadis berperawakan kurus tinggi ity terus mengikuti langkah kaki Chika, keduanya berhenti di sebuah kamar yang memiliki stiker anak ayam yang menempel di pintunya.

Kemudia ia melihat Chika membuka pintunya dengan lebar, membuat Christy dapat melihat keadaan kamar itu yang begitu rapi. Bahkan harum ruangannya dapat Christy rasakan dari tempat ia berdiri sekarang.

"Mau berapa lama lagi berdiri di situ?" Suara Chika yang berat membuat Christy segera memasuki kamar tersebut. Berhenti tepat di belakang Chika yang berdiri di samping ranjang.

"Jadi kamu bakal bunuh aku di tempat sebagus ini? Ngga sayang apa sama tempatnya bersih gini." Chika berbalik mengahadap Christy, mata coklatnya langsung bertubrukan dengan bola mata hitam milik Christy.

"Tentu aja enggak." Jawaban yang singkat dan jelas itu membuat sedikit perubahan air muka di wajah Christy.

Keduanya masih bergeming pada tempatnya yang hanya berjarak beberapa centimeter.

"Terus kenapa kamu ngajak aku kesini?"

Chika menghela nafasnya lelah, "Pertama, aku benar-benar lagi capek dan aku butuh istirahat sekarang. Kedua, aku ngga sudi ngebunuh kamu di kamar ini karna aku ga bakal ngebuat kamar ini ternoda. Ketiga, turuti aja perintahku kalau kamu masih mau kubunuh dan keempat tidur, jangan banyak tanya."

Christy yang dengan sabar mendengar pernyataan Chika ikut menghela nafasnya sekeluarnya Chika dari kamar ini tanpa memberinya kesempatan untuk menyanggah.

Membuat rasa sepi kembali menyergapnya. Gadis itu terduduk di sisi ranjang, meremas kuat selimut yang terliat rapi di bawahnya.

Yang Christy tau sekarang, kalau ia ingin cepat mati, maka harus  menuruti perintah Chika tanpa bantahan sedikitpun.

.
.

Chika terbangun dari tidurnya, matahari di luar sudah cukup terik, membuat Chika segera bangkit dan membersihkannya dirinya karna semalam ia benar-benar lelah dan langsung tertidur begitu saja.

Setelah selesai dan keluar dari kamarnya, pandangannya langsung menatap pintu yang masih tertutup rapat. Tentu saja ia tak lupa kejadian malam itu, di mana tiba-tiba seorang gadis yang mengaku bernama Christy datang menghampirinya dan meminta untuk ia bunuh.

Chika membuka pintunya, mendapati Christy yang masih tertidur pulas dengan meringkuk tanpa selimut. Bahkan ansk itu sama sekali tak menggunakan bantal sebagai penyangga kepalanya.

Gadis yang lebih tua itu mendekat dan memberi dua kali tamparan kecil pada pipi Christy agar segera bangun. Berhasil, mata yang baru saja terbuka itu masih terlihat merah menandakan jika Christy tertidur masih sebentar.

"Ah maaf, kamu pasti nunggu aku ya buat ngabulin permintaanku." Christy terduduk begitu melihat Chika yang menatapnya secara tajan.

Chika menetralkan tenggorakannnya yang tiba-tiba terasa kering, "Nggak, kalau gitu tidur lagi aja. Aku mau nyiapin makanan. Aku malas ngebunuh orang yang terlihat menyedihkan dihari terakhirnya."

Tanpa menunggu jawaban Christy, lagi, Chika pergi meninggalkan Christy dengan tatapan tak mengerti, namun tetap saja ia mengikuti perintah Chika, karna ia pun merasa masih sangat mengantuk saat ini.

"Kakak, tunggu Christy di atas sana, nggak lama lagi aku akan menyusul Kakak." Dalam tidurnya Christy tersenyum.

.

.

Sudah seminggu berlalu.

Chika tak mengerti dengan dirinya saat ini, biasanya sedikit saja ada seseroang yang mengusiknya ia tak akan berfikir panjang untuk menghabisi nyawa seseorang itu. Namun entak kenapa ketika Christy mengusiknya dengan memohon untuk mengahbisinya juga.

Chika sama sekali tak bisa.

Sesuatu di dalam dirinya terus berteriak untuk tidak membunuh gadis berambut sebahu itu.

"Jadi, sebenarnya kapan aku bakalan dibunuh?" Entah sudah berapa puluh kali Christy menayakan hal yang sama pada Chika sejak dihari pertama mereka bertemu.

"Aku bakal bunuh kamu, tapi nggak sekarang! Kamu pikir membunuh seseorang bisa segampang itu untuk ngeberesinnya hah?" Kilatan marah nampak jelas di mata Chika ketika Christy masih terus medesaknya setiap saat .

Hebatnya, Christy sama sekali tidak gentar ataupun merasa takut pada tatapan yang dilayangkan oleh Chika.

"Tapi malam itu kamu gampang banget ngebunuh om-om gendut yang mabuk itu. Kamu juga lansgung pergi aja, ngga ada tuh kamu beresin apa-apa, sampai sekarang kamu aman-aman aja tuh."

Jawaban panjang milik Christya, membuat emosi Chika terpancing, dengan kuat ia mencengkram bahu Christy, tak terpikir olehnya kalau Christy akan berkata seperti itu. "Dengar, kalau kamu terus-terusan merengek, nggak dengerin yang aku bilang buat nunggu. Lebih baik sekarang kamu cari orang lain saja yang bersedia buat bunuh kami."

Chika meninggalkan Christy  yang terpaku di tempatnya. Meski akhirnya membuat Chrisy tertawa getir di tempatnya berpijak.

"Yang bisa dilakukan semua orang itu cuma berbohong." Ujarnya berbisik, menatap lantai kayu dengan harapan yang semakin kecil.

"Hhhah. Ayo Christy mari temui orang lain yang mau suka rela menjemput nyawamu."

.
.

Chika menyusuri rumahnya dengan panik, membuka setiap pintu yang ada di rumahnya. Nihil, ia tak menemui orang yang sedang dicarinya.

"Bodoh, nggak seharusnya aku bilang gitu ke Christy." Chika terduduk lemas di kamar yang menjadi tempat istirahat Christy kemarin.

Chika meremas kuat jaket yang ia kenakan. Air matanya turun tanpa dipinta

"Ashel ... Kamu tau, aku ngerasa kehadirannya seperti merasakan kehadiran kamu lagi. Jiwaku kayak ditarik dan hidup lagi sekarang. Sialnya, kehadiran dia seminggu ini seolah ngasih aku kehangatan padahal selama ini kerjaannya cuma merengek minta dibunuh, dan tatapannya, tatapannya yang mati.. buat aku mau ngehidupan kembali cahaya hidupnya, Cel."

"Itu artinya aku nggak boleh biarin dia mati kan?" Chika segera bangkit, melangkah dengan cepat meninggalkan rumahnya.

.
.

Nafas Chika terus berlomba untuk berhembus, bahkan kakinya sudah kelelahan, namun ia tetap mencari keberadaan Christy.

Chika akhirnya bisa bernafas sedikit setelah sekian lama mencari, ia menemukan gadis bertubuh tinggi tersebut.

Meski dengan radius yang cukup jauh Chika mampu mengenalinya, dengan harapan penuh, Chika berharap ia tak terlambat ketika matanya dengan jelas menangkap beberapa pria kini tengah mengelilingi Christy seorang dirim.

Matanya kembali berubah, menampakkan kilatan marah,
"Nggak! Nggak ada yang boleh bunuh dia selain aku."

.
.

Tbc

The InfiniteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang