Suara hiruk pikuk kendaraan yang menyambutnya, membuat Yessica tidak bisa lagi menahan senyum. Bibirnya tertarik begitu lepas ke atas, menampilkan giginya yang rapi bersih.
Di dalam pikirannya sudah banyak rencana yang tersusun, salah satunya adalah menyambut dan memeluk erat adiknya itu hingga kesulitan bernafas. Perasaannya sudah penuh bahagia bahkan hanya dengan membayangkannya saja.
.
.Meski yang terjadi sekarang gadis dewasa itu justru menggerutu pelan, tatkala awan keabuan mulai mendominasi langit. Jalanan pun masih padat dan ia tak yakin rencananya nanti untuk menyambut adiknya itu akan berhasil.
Hari bahkan sudah menggelap ketika gadis dengan rambut hitam legamnya itu sampai di depan rumah yang pernah menjadi tempatnya bernaung dulu.
Menginjakkan kaki jenjangnya yang dibalut sepatu putih di teras rumahnya, hal pertama yang menyambut Yessica adalah hembusan angin yang cukup kuat serta perasaan aneh sempat yang merayapinya. Tapi segera ia tepis, saat melihat lampu rumah yang tidak menyala yang ia yakini bahwa penghuni rumah tersebut sedang tidak ada di dalam.
Jadi segera ia mencari kunci yang mungkin sengaja diselipkan. Benar saja kunci tersebut berada dibalik pot batu yang cukup besar di dekat pintu utama. Tak ingin kedinginan karna hujan mulai turun, Yessica buru-buru mebuka pintunya.
Takjub, matanya jelalatan manatap isi rumahnya yang sama sekali tak ada perubahan setelah beberapa tahun berlalu. Rumahnya masih sama, menyimpan kehangatan di kala ia menjajalkan kakinya di sana.
Hanya saja, matanya menatap sedih pada foto keluarga yang dahulu terpampang besar, sudah tak ia temukan di tempatnya semula.
.
.Setelah membersihkan diri, Yessica mulai menyibukkan diri di dapur, perutnya lapar dan ia yakin adiknya juga pasti sama nantinya.
Namun kegiatannya berhenti ketika melihat isi kulkasnya yang kosong melompong, dan Yessica baru sadar jika lampu kulkas tersebut bahkan tidak menyala.
Tak ingin ambil pusing karna juga sudah kelaparan, Yessica akhirnya memutuskan untuk keluar dengan payung menemaninya. Membeli makanan instan untuk malam ini, besok baru ia akan belanja.
.
."Apa terjadi sesuatu?" Yessica menggumam pelan, matanya tak lepas menatap jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 8.20, dan adik yang sudah dirindukannya itu sama sekali belum menunjukkan batang hidungnya.
"Apa aku sebaiknya nyusul Christy ya?" Sedetik berikutnya ia menggerutu atas ucapannya barusan, Yessica lupa akan fakta bahwa dia tidak tau apa-apa sama sekali mengenai adiknya itu, mau mencari kemana ia?
Akhirnya ia hanya bisa berdiri gelisah, rasa khawatir yang teramat menghantuinya.
Tak tahan terus berdiam diri, Yessica dengan modal nekat, memutuskan akan mencari di dekat rumahnya terlebih duhulu. Ia pun sudah siap dengan jaket tebalnya untuk mengahalau dinginnya angin malam.
Belum sampai tangannya membuka pintu, pintu rumahnya tersebut lebih dahulu terbuka dari luar, membuat Yessica secara otomatis mundur beberapa langkah.
Mata kedua insan manusia yang hanya berjarak satu meter itu kini saling menatap. Terlebih Yessica yang menatap tak percaya pada sosok di depannya yang sedang berdiri di depannya tersebut.
"Christy?"
Dengan perasaan kalut dengan sedih yang mendominasi, Yessica melangkah mendekat, menghampiri sosok gadis kurus tinggi yang masih mematung dengan tubuh yang basah kuyup dan terdapat bercak darah pada baju kuning yang ia kenakan.
Tanpa menunggu jawaban, tangis Yessica pecah sembari merengkuh tubuh kurus adiknya. Meski tubuh adiknya tersebut terasa dingin namun hatinya sungguh menghangat sekarang.
Pasokan udara yang tadinya mulai menipis dikarnakan gundah, kini mulai terisi kembali.
Meski sesaat setelahnya ia sediki merasa kecewa ketika pelukannya tadi sama sekali tak berbalas.
.
."Kamu ngga mau ngomong apapun ke Kakak?"
Sebuah gelengan ia dapatkan sebagai balasan tanyanya.
Hembusan nafasnya terasa berat lagi, apakah adiknya tersebut sedang menghukumnya? Sejak tadi, tak sepatah katapun adiknya itu lontarkan padanya.
"Kamu sama sekali ngga rindu sama sama Kak Chika?" Tanya gadis berbola mata coklat itu menatap gadis berambut pendek itu dengan penuh sedih.
Keduanya kembali bersitatap, adiknya itu terlihat sangat tenang untuk ukuran seseorang yang akhirnya bertemu kembali setelah sekian lama.
Jauh di dalam lubuk hati Yessica, hatinya terasa tercubit melihat respon adiknya yang sanga jauh dari bayangannya.
Tak kunjung menjawab, Christy dengan tubuhnya yang masih basah kuyup tersebut justru beranjak meninggalkan Yessica yang kini mematung, menyisakan jejak air di kakinya yang tak beralas apapun.
Gadis bermata coklat itu pasrah, mencoba memahami perilaku adiknya tersebut, bisa saja adiknya itu merasa jika itu khayalannya dengan kehadirannya mendadak.
Dengan hembusan nafas yang lagi-lagi berat, gadis itu mencoba tenang, tak ingin menerka-nerka tentang sikap adiknya. Jadi sebisa mungkin ia coba melupakan sejenak hal yang barusan terjadi.
Lantas Yessica menunggu kembali adiknya yang ia yakini tengah membersihkan diri.
Merasa jika setengah jam adalah waktu yang cukup untuk Christy membersihkan badannya, makan dengan inisiatifnya ia pergi ke kamar adiknya itu dan mengajaknya untuk makan malam bersama.
"Dek, kamu udah selesai?" Yessica menguatkan suaranya dari balik pintu, tak ada jawaban membuat Yessica memilih untuk langsung membuka pintunya.
Pintu yang sama sekali tak terkunci itu memudahkan Yessica untuk masuk.
Walau pada akhirnya, Yessica hanya bisa lagi-lagi menghela nafas lelah, adiknya tersebut benar-benar seperti tak menganggap kehadirannya.
Gadis kurus itu bahkan sudah tertidur dengan rambutnya yang bahkan masih basah.
Perasaannya hancur, air matanya mulai menganak sungai di pipinya yang berisi.
Akhirnya ia menangis dalam diam, ditemankan rintik hujan yang masih belum berhenti.
.
.Tbc - yang ngga tau kapan-