Yang mau baca silakan mampir di Kk link ada di bio. Cerita ini akan tamat di bab 25 yuhuu
Selamat Membaca
Tidak ada hal yang terjadi kecuali dari kehendak Tuhan, baik buruknya peristiwa itu, pasti ada hikmah yang bisa kita ambil. Menikmati status menjadi single mother tidaklah seburuk anggapan orang. Yang terpenting fokus memperbaiki diri dan bertanggung jawab akan hal yang sudah terjadi. Masalah orang menilai dengan miring, itu urusannya.
"Bun, nanti ada donatur yang datang. Kata teman-teman donaturnya masih single. Ganteng lagi." Ucap Angsana sunguh-sungguh saat mereka akan memasuki aula pertemuan.
"Hust, kamu itu. Bicaranya kaya gitu terus."
"Hahaha, nggak papa Bun." Mereka memasuki gedung setelah absensi terlebih dahulu. Acara memang belum dimulai, bahkan banyak panitia yang masih mempersiapkan banyak hal.
"Nanti Angsana mau menyanyi, ini lagu untuk Bunda." Bisik gadis itu sesaat setelah acara di mulai. Wajah Eva sontak merasa heran, karena Angsana sangat jarang bernyanyi di rumah. "Kamu yakin?"
"Iya, Angsana sudah latihan."
Membelai tangan putrinya Eva tersenyum, "Semoga sukses." Hanya dukungan yang bisa dilakukan Eva, hingga acara sambutan demi sambutan selesai. Menyisakan satu sambutan dari pria yang menjadi donatur tetap di sekolah ini.
Pria itu menaiki pangung dan berdiri di sebuah mimbar, tatapan lembut ia perlihatkan. Tampil di hadapan banyak siswa membuatnya mengubah penampilan, "Selama Pagi semuanya."
Deg!
Suara itu?
Dalam benak Eva mengenyahkan pikiran yang langsung tertuju pada kenangan pahit itu. Kenangan yang sudah di kuburnya dalam-dalam. Tatapan Eva sontak tertuju ke sebuah mimbar dimana pria itu ada, jarak yang tidak terlalu jauh membuat Eva nampak jelas mengamati wajah itu.
"Ya Tuhan apa yang terjadi."
"Kenapa sekarang dia ada disini?"
Rasanya Eva seperti melihat setan, deguban jantung tiba-tiba bertalu begitu hebat, membuat lambungnya seolah bergejolak. Rasa mual dan mulas terasa, ingin rasanya ia keluar dari ruangan ini.
"Bunda kenapa?" Tanya panik Angsana saat melihat wajah pucat Eva.
"Bunda ... Bunda ingin keluar sebentar."
"Ayo Angsana antar." Ajak Angsana dengan raut yang begitu khawatir. Saat tubuh Eva dan Angsana berdiri, sepasang mata itu mengamati. Tidak jelas, karena ia tak menggunakan kaca mata.
Setelah Eva sudah berada di luar aula, rasa sesak yang tadi ia rasakan sedikit mengendur. Ia mengikuti langkah Angsana yang mengantarkannya ke toilet. "Bunda masuk. Angsana di luar."
"Iya."
Tanpa banyak waktu Eva masuk dan menatap tampilan wajahnya di cermin. Tampilan yang begitu buruk jika Angsana tahu apa yang ia rasakan. Bayangan masa lalu itu ada disini, dia ada di tempat yang sama.
"Eva kamu bisa. Jangan buat putri kamu khawatir."
"Aku nggak tahu ini takdir atau apa, tapi aku rasa aku harus berani menatap masa depan." Ucapnya bersungguh-sungguh. Setelah merasa tenang, Eva menatap kembali tampilannya sebentar memastikan semuanya masih baik.
Dia berjalan keluar dengan kondisi yang jauh berbeda. Saat netranya mencari sosok putrinya, sepasang mata itu menatap dari jauh interaksi putrinya dengan pria itu.
Senyuman Angsana nampak terlihat, bahkan dari jauh Eva mengamati kedekatan itu. Tidak ada batasan, bahkan orang lain yang melihat mungkin akan menilai bahwa mereka Ayah dan anak.
Angsana menoleh, ia melihat ibunya yang sudah selesai. "Maaf Om, Angsana harus kesana. Bunda sudah selesai." Pamitnya ramah. Netra itu menatap arah yang tadi dipandang Angsana, dari jarak itu ia mampu melihat wajah yang begitu ia rindukan. Tapi ia tidak mau gegabah.
"Boleh Om usap puncak kepala kamu?" Pinta Elang sesaat sebelum mengizinkan Angsana pergi. "Boleh."
Tangan yang biasa menandatangi sebuah dokumen itu mendarat di puncak kepala Angsana, surai yang begitu lembut menyambutnya. Ada getaran hebat yang tersalurkan akibat tindakan itu. Elang tahu, bahwa putri yang di depannya adalah putrinya, dan perempuan yang dipanggil Bunda adalah wanita masa lalunya.
"Terima kasih. Om berharap kita bisa ketemu kembali." Ada harapan disana, dan itu semoga terwujud. Kepala Angsana mengangguk, ia melambaikan tangan ke arah Elang. Tubuhnya pergi menjauh, mendekati seorang yang sangat ia rindukan.
"Ayo Bun. Kita kembali. Sebentar lagi Angsana bernyanyi." Ajak Angsana saat tubuhnya ada di depan Eva, kepala Eva mengangguk. Mereka berjalan memasuki aula, dengan pikiran masing-masing.
"Tadi itu Om yang pernah datang ke rumah makan Bunda. Ternyata dia juga yang jadi donatur disini." Bisik Angsana jujur, "Kapan? Bunda nggak pernah lihat." Eva berusaha menanggapi ucapan itu dengan senormal mungkin. Ia tidak mau membuat putrinya curiga.
"Tempo hari Bun. Angsana yang kasih tahu Om itu letak toilet."
Kenapa ia tak tahu?
Dari omongan ini, Eva harus berhati-hati kedepannya. Ia tidak mau membuat kesalahan yang akan berakibat ke diri Angsana. Apalagi ini akan berhubungan dengan keluarga Elang.
"Bun, Angsana ke depan dulu ya." Pamit Angsana, saat ia akan mempersiapkan diri. Kepala Eva mengangguk, "Semoga sukses." Bisiknya saat memeluk tubuh putrinya sesaat.
Interaksi itu tanpa luput diperhatikan oleh sosok berkaca mata yang duduk di belakang Ibu dan anak itu, sosok yang tak lain Elang.
"Kamu sukses membesarkan putri kita, Eva."
"Bahkan saat aku tak ada, kamu sudah menjadi orangtua yang hebat."
Hatinya bekecamuk, antara keinginan untuk mendekati atau tetap hanya mengamati. Sisi hatinya terdalam ingin merengkuh tubuh itu, dan membisikan maaf. Tapi sisi logikanya mengatakan bahwa sekarang semuanya sudah berbeda baik statusnya, yang menjadi tunangan orang, maupun kedudukannya.
Apakah ia akan mempertaruhkan kedudukan yang sekarang ia dapatkan? Atau melepaskan semuanya dan berjuang mendapatkan maaf mereka? Semuanya nampak abu-abu.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Dunia ✔ (KBM & KARYAKARSA)
Short StoryCerita ini sudah tayang di Karyakarsa dan KBM. Langsung Prolog