Sudah TAMAT di Karyakarsa.
Link ada di bio
Selamat Membaca
"Jangan kaya gini, Sayang." Ucapan Shela di sela isakan tangisnya. Ya, sekarang Shela dan Elang sedang berbicara mengenai pembatalan pertunangannya. Jelas, Shela tidak mau. Apalagi kalau dirunut dari belakang, ialah yang sangat mencintai Elang.
"Saya nggak bisa, Shel."
"Nggak. Aku nggak mau." Bagaimanapun perjuangan Shela untuk mengikat Elang sangatlah besar. Bujukan ia lakukan kepada kedua orangtuanya agar mau mengiyakan keinginannya. Gayung bersambut, ucapan yang awalnya hanya candaan ditanggapi Mama Elang dengan serius. Dan menghasilkan sebuah jalinan hubungan yang sekarang sangat menguntungkan semua pihak.
Memijat pelipisnya yang berdenyut, Elang menatap wajah sembab Shela. Hati kecilnya tersentil, tetapi ia harus melakukan hal ini. Ia tahu bahwa Shela sosok perempuan yang baik.
"Shel, maaf. Tapi saya tidak bisa lanjut. Ada hal yang harus saya lakukan."
Wajah Shela mendongak, ia menatap tepat ke arah Elang. "Kamu enggak selingkuh, kan?"
Apa semua perempuan akan berpikir seperti ini ketika pasangannya menginginkan perpisahan? Elang tahu ia cuek, bahkan cenderung dingin terhadap Shela. Tapi ia tidak akan melukai hati Shela dengan cara berkhianat.
Kapala Elang menggeleng. "Tidak ada perempuan lain. Ini murni kesalahan saya."
"Lantas apa? Aku ingin tahu penjelasannya?"
Menghela napas panjang, Elang berdiri, ia berjalan keluar meninggalkan Shela dengan cincin yang ia letakkan di atas meja. Ia tidak mau melukai hati Shela kembali dengan menjelaskan masalah ini. Cukup ia dicap sebagai lelaki berengs*k.
Karena menjelaskanpun, ia yakin Shela tidak akan menerima masa lalunya.
Elang berjalan menuju mobil, hati dan pikirannya sedikit lega akan apa yang dilakukannya hari ini. Meskipun ini menyakitkan tetapi ia yakin semua akan kembali sedia kala.
Hanya butuh waktu.
Sekarang yang ia butuhkan hanya berpikir untuk mendekati Angsana, putrinya.
***
Seorang wanita paruh baya memasuki rumah makan Angsana dengan meneteng kardus berisikan oleh-oleh dari kampung. Wanita yang tak lain Ibu dari Eva.
"Loh Ibu, kenapa enggak bilang kalau mau kemari." Eva terkaget saat pandangannya melihat wanita yang ia sayangi. Kesibukan yang membuatnya tidak sering berkunjung.
"Sudah. Ayo temani Ibu masuk." Eva mengangguk, melepaskan celemek ia berjalan di belakang tubuh Ibunya.
"Ibu istirahat dulu. Angsana lagi keluar." Wanita paruh baya itu mengangguk, ia merebahkan tubuhnya di ranjang milik putrinya itu.
Selesai mengantar Ibunya, Eva kembali berkutat di dapur. Pesanan tempo hari harus segera ia selesaikan dibantu Mbok Ina.
"Selesai." Ia menatap tumpukan box yang berisikan nasi dengan pelengkapnya. Ada rasa bangga saat pesanannya selesai sebelum waktunya. "Mbok istirahat saja, biar ini Eva handle."
"Loh, ya nggak bisa nak. Kan Mbok yang jadi pekerjanya."
Tersenyum Eva menggeleng.
"Kan tinggal nunggu orangnya, sama selesaikan pembayaran jadi nggak repot. Sudah Mbok temani Ibu saja." Perintah Eva. Dengan sedikit keberatan Mbok Ina mengiyakan ucapan majikannya.
Eva meluruskan kakinya yang terasa pegal, mengurutnya sedikit demi sedikit. Pandangannya menatap jendela, yang memberikan tampilan ramai khas jalan raya.
"Bun!"
"Ini anak gadis, datang-datang nggak salam. Teriak-teriak saja." Ucap Eva menerima ciuman di punggung tangannya. Cengiran khas Angsana layangkan, "Maaf Bun, Angsana lupa."
"Ya jangan dibiasakan."
"Iya.
"Yasudah sana masuk. Ada Uti di dalam."
Wajah terkejut Angsana perlihatkan. "Loh Uti kesini?" Kepala Eva mengangguk. "Iya lagi istirahat makanya jangan teriak-teriak."
"Oke Bun." Dengan wajah yang bahagia Angsana melangkah ke dalam, ia sangat rindu dengan Utinya itu.
Sedangkan Eva hanya geleng-geleng kepala. Tak berselang lama sosok pria yang ditunjuk pelanggannya datang. "Benar ini rumah makan Angsana?"
Eva berdiri dan menyambutnya. "Benar, silakan Mas."
"Oh mengenai pembayaran akan saya lunasi sekarang." Imbuhnya dengan mengeluarkan uang yang tadi diberikan sang Kakak. "Kurangnya satu juta, kan?"
"Iya."
"Ini, dihitung dulu." Transaksi selesai, pelanggan tadi memasukan nasi box ke dalam mobil dibantu Eva.
"Terima kasih atas bantuannya."
"Saya yang harus berterima kasih." Kepala pria itu mengangguk, ia berputar menuju kursi kemudi sebelum menjalankan mobilnya.
Eva melangkah masuk, karena hari ini libur ia akan melakukan quality time dengan anak dan Ibunya.
"Nak, kamu tidak ada pikiran untuk menikah?" Tanya Ibu saat mendapati Eva duduk di sofa, berhadapan dengannya.
"Kenapa Ibu bicara kaya gitu. Kan Eva sudah jelaskan." Sering Ibunya mendesak dirinya untuk menikah, tetapi Eva selalu menolak. Bukan karena tak mau, tapi ia masih takut. Bagaimanapun memiliki anak tanpa ikatan pernikahan adalah hal tabu di negara ini.
Menghela napas panjang Ibu menatap prihatin ke arah putrinya itu. "Setiap orang punya masa lalu, Nak. Dan sekarang kamu sudah berubah, jadi tidak ada alasan untuk menutup diri dari lingkungan."
Netra Eva bersitatap dengan netra ibunya.
"Yang Ibu inginkan sekarang, kamu bahagia nak." Tidak ada orangtua di dunia ini yang tidak menginginkan kebahagiaan anaknya, dan itu juga berlaku di diri Eva.
"Eva bahagia, Bu. Terlepas Eva belum mempunyai pasangan." Tersenyum tipis Eva mengatakan hal itu. Ia hanya ingin menjalani sisa hidupnya dengan sang putri. Terlepas esok hari di masa depan, sang putri akan mencari kebahagiaan sendiri. Eva tak masalah.
"Tapi Ibu tidak sepemikiran denganmu. Ada kalanya Ibu ingin menjodohkanmu dengan kenalan Ibu, tapi Ibu tidak boleh egois."
"Niat Ibu baik, tapi Eva tidak mau." Memaksapun percuma.
"Baiklah, Ibu akan mendukung. Tapi ingat saat waktunya tiba kamu tidak boleh menolak ucapan Ibu, ini demi kebahagiaanmu. Karena tidak semua pria akan berpikiran sama sepertimu."
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Dunia ✔ (KBM & KARYAKARSA)
Short StoryCerita ini sudah tayang di Karyakarsa dan KBM. Langsung Prolog