Yang mau baca silakan mampir di Karyakarsa link ada di bio. Buka lewat web untuk harga yang sama seperti yang dulu tanpa pajak.
Jangan lupa vote dan komen, kalau rame update lagi.
😀Selamat Membaca
Eva memandang langit sore, tidak ada hal yang bisa ia lakukan. Karena baik Angsana, Ibu, dan Mbok Ina sedang pergi jalan-jalan, sedangkan ia memilih untuk tetap di rumah.
Mengenai pembicaraan tadi, Eva sangat paham akan keinginan sang Ibu. Tapi ia hanyalah perempuan biasa, dimana rasa kurang percaya dirinya yang sangat dominan.
Apa ada laki-laki di dunia ini yang akan menerimanya? Disaat statusnya saja sangat membingungkan. Lajang tapi memiliki anak.
Rasa itulah yang membuatnya berpikir berkali-kali saat sang Ibu menawarkan perjodohan. Apalagi ada hati yang harus ia jaga sekarang, dan ia tidak boleh egois. Cukup dulu ia egois, tidak sekarang.
***
"Kamu keterlalun Elang!" Tamparan hinggap di pipi kiri Elang saat pagi ini ia mendapati sosok Mamanya ada di unit apartemen.
Elang mengusap pipinya, "Mama yang mengajukan pertunangan, maka Mama-lah yang bisa memutuskan." Sungut Mamanya tidak kalah dengan Elang. Apa kemarin sang Mama tidak mendengar ucapannya?
"Elang sudah bicara sama Mama kemarin." Ingatnya kembali.
"Tapi kamu keterlaluan. Mau diletakkan dimana muka Mama, hah!"
"Elang melakukan ini demi masa depan Elang Ma. Elang ingin berjuang memperbaiki masalah yang Elang perbuat." Tapi nyatanya niat baik Elang tidak diterima oleh sang Mama. Bahkan sejak tadi malam, setelah Mamanya mendengarkan cerita Shela rasa hatinya kian memanas. Rasa benci dan tidak suka dengan sosok perempuan masa lalu putranya.
"Tidak akan. Mama pastikan itu... Dan satu lagi, lamaran ke keluarga Shela sudah Mama rancang satu minggu ke depan, jadi kamu tidak bisa berbuat apa-apa!" Tekannya sebelum melangkah keluar dari apartemen putranya.
Selepas melihat tubuh sang Mama yang menghilang dari balik pintu, tubuh Elang tertunduk di sofa. Rasanya kepala ini ingin pecah. Kenapa jalannya untuk meraih Eva dan Angsana sangatlah susah?
"Kenapa susah sekali Tuhan."
Dalam lamunan itu, ia melihat senyuman Angsana yang menenangkan bahkan dibingkai dengan wajah cantiknya.
"Ayah tidak akan menyerah nak. Tunggu Ayah."
Meskipun seisi dunia tidak menyetujui hubungannya tak mengapa, ia akan tetap berusaha.
Pandangan Elang tertuju ke arah sekolah menengah pertama, ia menunggu sang putri keluar. Dari pandangannya ia belum melihat sosok Eva, jadi ia merasa aman.
Tak berselang lama, bunyi bel berbunyi. Rombongan anak-anak remaja keluar dengan menenteng tas punggungnya, senyuman hinggap di wajah mereka. Layaknya mereka terbebas dari kurungan.
Dari posisi Elang, ia mencoba mencari sosok Angsana. Dimana gadis itu berjalan agak dibelakang, dengan sebuah tempat makan yang ia tenteng. Senyuman terbit di bibir Elang.
"Putriku." Tubuhnya yang bersandar di body mobil berjalan mendekat. "Angsana." Ucapnya dengan begitu lembut.
Angsana yang mendengar namanya dipanggil, sontak menoleh. "Eh ... Om ada disini?"
Om?
Menghela napasnya ia harus berlapang dada untuk saat ini. Panggilan Om tidaklah salah, meskipun sisi hatinya terdalam ingin dipanggil Ayah.
"Iya, tadi jalan-jalan disekitar sini. Em... sudah ada yang jemput?"
Kepala Angsana menggeleng. "Bunda nggak jemput, karena hari ini ada Uti. Jadi Angsana balik naik angkot."
Tanpa menunggu lama, Elang menawarkan sebuah tawaran. "Boleh Om antar?"
Netra Angsana menatap ke arah Elang. Ia tahu bahwa sosok di depannya ini bukanlah orang jahat, tapi ia tidak mungkin mengiyakan ucapannya. "Angsana nggak boleh main sama orang asing."
Deg!
Orang asing?
Seakan dunia mengejeknya, tapi ia bisa apa. Memang sekarang putrinya hanya menganggapnya begitu. Toh Angsana tidak bersalah, yang harus disalahkan adalah dirinya.
"Om, kan donatur bukan orang asing." Lanjut Elang mencoba peruntungan.
"Om tidak akan jahat ke Angsana. Cuma antar saja."Apa ia harus mengiyakan ucapan Om Elang?
Toh Om Elang tidak akan berbuat jahat, pikir Angsana pendek. Akhirnya Angsana mengangguk, Elang dengan senang hati mempersilakan tubuh mungil gadis itu masuk ke dalam mobil.
"Mau mampir dulu?" Tanya Elang saat mobilnya membelah ramainya jalanan. Pandangan Angsana yang semula menatap ke depan, sontak menoleh. "Enggak ah Om, nanti dicariin Bunda."
"Baiklah, ngomong-ngomong suara kamu kemarin merdu." Puji Elang tulus.
"Terima kasih Om. Jujur itu kali pertama Angsana tampil." Gadis itu tersipu malu, nampak dari ekor mata Elang seperti Eva. Meskipun secara keseluruhan gen-nyalah yang mendominasi.
"Kalau diasah sedikit lagi mungkin banyak produser musik yang nawarin job."
"Besok kalau sudah dewasa Angsana akan bernyanyi. Kalau untuk sekarang, Angsana fokus ke sekolah Om."
"Kenapa?"
Gadis cantik itu menatap sekilas ke arah Elang sebelum mengeluarkan isi hatinya. "Angsana nggak mau jadi beban Bunda. Jadi Angsana akan selesaikan dulu sekolah baru fokus ke bidang lain. Kan Om tahu sendiri sekarang biaya pendidikan mahal."
Benar juga, tapi apa tidak sayang jika bakat itu tidak diasah.
"Bagaimana kalau Om bantu?"
"Bantu apa Om?"
"Les, kamu akan Om masukan ke les vokal. Setidaknya kamu paham dulu dunia musik, masalah kamu akan terjun ke dunia itu terserah. Om hanya mendukung."
Kepala Angsana mengangguk, "Nanti Angsana pikirkan dulu deh Om. Kan Angsana juga butuh pertimbangan Bunda. Apalagi di dunia ini Angsana hanya punya Bunda." Tidak ada nada sedih disana, dan Elang hanya bisa mengangguk.
Akhirnya mobil Elang sampai di pelataran rumah makan Angsana. Elang memindai dari luar, nampak ramai.
"Angsana masuk dulu ya Om." Pamit Angsana yang akan membuka pintu mobil. Tapi dengan sigap Elang berucap, "Angsana. Ini ada kartu nama Om, kalau kamu sudah setuju dengan tawaran Om."
Tangan mungil itu menerima kartu nama itu, dan membacanya sekilas. "Terima kasih ya Om. Mungkin jawabannya akan Angsana diskusikan dulu."
Kepala Elang mengangguk, ia menatap tubuh putrinya yang berjalan menjauhi. Dadanya sesak akan rasa rindu, tapi sedikit lebih lega.
"Ayah akan berjuang untukmu, nak."
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Dunia ✔ (KBM & KARYAKARSA)
Short StoryCerita ini sudah tayang di Karyakarsa dan KBM. Langsung Prolog