Bab 5

49 11 0
                                    

Cerita ini bisa kalian baca di Karyakarsa sudah TAMAT disana dengan harga yang terjamin murah. Link ada di bio 😁

Terimakasih atas dukungannya.

Selamat Membaca

Alunan lagu menjadi sebuah pertanda bahwa Angsana akan bernyanyi. Lagu yang dibawakan cukup populer dengan tema Hari Ibu.

Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda

Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku

Kata mereka diriku selalu dimanja
Kata mereka diriku selalu ditimang
Nada-nada yang indah
Selalu terurai darinya

Tangisan nakal dari bibirku
Takkan jadi deritanya...

Suara gadis kecilnya?
Tanpa sadar Eva menitihkan air mata, ia terharu dengan apa yang dipersembahkan putrinya itu.

Hal sama juga dirasakan Elang, meskipun ia belum pernah mengikuti tumbuh kembang putrinya, nyatanya ia merasa haru yang membuncah. Rasa bangga akan sebuah pengorbanan.

Alunan lagu itu berhenti, Angsana menatap tepat ke arah Ibunya.

"Terima kasih Bunda, sudah mau melahirkan dan mendidik Angsana sampai di titik ini. Tidak ada kata yang bisa mencerminkan bahwa Angsana beruntung memiliki Bunda." Pungkas Angsana haru, dalam hidupnya Angsana hanya memiliki Ibu, meskipun terkadang ia ingin tahu Ayahnya. Tapi ia menekan ego itu, karena ia yakin hubungan ibunya dan Ayahnya tidaklah baik-baik saja.

Sorakan dan tepuk tangan mengisi aula pertemuan. Banyak dari mereka yang cukup kagum dengan apa yang ditampilkan Angsana.

Setelah selesai, Angsana berjalan kembali ke tempat duduknya, menyambut pelukan hangat Eva. "Terima kasih sayang." Eva berbisik saat mereka berpelukan.

***

Acara selesai tepat jam makan siang, Eva menawarkan untuk makan di luar, dan itu disetujui Angsana. "Makan dimana?"

"SS aja Bun. Kayaknya enak makan disana ditambah sambalnya."

"Oke kita kesana." Ajak Eva dengan berjalan bersisian dengan Angsana. Saat mereka sampai di tempat parkir, sekilas Eva manatap ke belakang tubuhnya, rasanya ada yang mengawasi.

"Ah, biarkan saja." Putus Eva, mengabaikan sosok Elang yang mungkin saja mencuri pandang.

"Ayo Bun." Ajak Angsana yang sudah tidak sabar. Eva mengangguk, ia mengenakan helm sebelum menjalankan sepeda motornya menuju restoran.

"Bagaimana aku harus muncul dihadapan putriku? Dan mengatakan jika aku Ayahnya." Pikiran yang buntu ditambah pemandangan di depannya membuat Elang termangu tanpa bisa mendekati interaksi kedua perempuan yang ia rindukan.

"Eh Pak Elang, belum pulang Pak." Sapa ramah guru mata pelajaran olahraga, pria yang mengenakan setelan casual itu tanpa sengaja bertemu dengan Elang yang sedang termangu.

Sedikit gelagapan Elang menjawab, "Ah... maaf Pak tadi saya banyak pikiran. Oh ini mau balik. Duluan ya Pak." Guru itu mengangguk, dan menatap tubuh Elang yang hilang masuk ke dalam mobil.

Menghela napas panjang, Elang mencengkeram erat setir mobil. Tidak ada hal yang lebih penting dari kedua sosok perempuan tadi, maka ia harus berjuang. Jalan satu-satunya adalah membatalkan pertunangan ini. Meskipun akan melukai hati Shela, tapi itu jauh lebih baik, dibandingkan ia terus membohongi hatinya.

"Ya, aku harus menyelesaikan satu per satu. Dan berusaha mendekatkan diri ke Angsana."

Menyalakan mobil Elang mengemudi menuju sebuah rumah berlantai dua dengan aksen khas rumah di perumahan elit. Rumah yang sudah lama tidak ia tempati, rumah yang menjadi saksi bisu tumbuh kembangnya.

Tin... Tin.

Suara klakson membuat satpam rumah itu membukakan pintu pagar, pria paruh baya menyambut kedatangan Elang dengan senyuman. "Eh Tuan, mau ketemu Nyonya?"

"Iya Pak, ada di rumah?"

"Ada Tuan. Tadi habis keluar sama Nona Shela." Kepala Elang mengangguk dan menjalankan mobilnya menuju car port. Setelah memarkirkan mobil, Elang berjalan masuk.

"Dimana Mama, Bik?" Sapa Elang saat mendapati asisten rumah tangganya sedang menata makanan di meja makan. "Ada di dalam Tuan. Apa saya panggilkan?"

Mengibaskan tangan Elang menolak.

"Biar saya sendiri." Elang masuk ke dalam, tujuan utamanya adalah ruang keluarga, dimana sang Mama ada.

"Ma."

Wanita paruh baya itu menoleh, pandangan mata mereka bertemu. Kernyitan terbentuk di dahi wanita paruh baya itu, "Tumben kamu pulang. Biasanya juga tidak pernah." Ada nada sarkas disana, tapi Elang mengabaikan hal itu.

Tubuhnya melangkah mendekat, "Ada hal yang ingin Elang bicarakan?" Ungkap Elang to the point.

"Mengenai pernikahan?"

Kepala Elang menggeleng.

"Bukan, Elang tidak akan menikah."

"Apa maksud kamu!" Teriak Mama tidak terima. Kalau Elang tidak menikah, maka ia tidak akan memiliki cucu, dan itu memutus keturunan. Hal yang tidak diinginkan dirinya.

Wajah Elang menunduk, ia mencoba mengumpulkan keberaniannya, sebelum mengeluarkan perkataan yang mungkin akan membuat marah Mamanya.

"Ma, dengerin Elang. Elang ingin membatalkan pertunangan ini. Elang tidak cinta sama Shela."

"Nggak! Mama tidak izinkan!"

"Ma... apa Mama tidak kasihan dengan Elang?" Ucapnya sedikit mengiba, diusianya ini ia merasakan gejolak rasa dimana rasa itu dinamakan penyesalan. Rasa yang semakin hari semakin membuatnya sesak.

"Kasihan kenapa? Jabatan kamu tinggi, kaya, semua perempuan pasti akan memperebutkanmu. Dan Shela Mama pilih sebagai pendamping kamu."

Air mata yang sudah Elang tahan keluar sendirinya. Bayangan akan wajah Eva dan Angsana silih berganti menyeruak tanpa ia pinta.

"Cukup Ma."

"Elang ingin bertanggungjawab atas tindakan Elang dulu!" Teriaknya frustrasi.

Wajah Mama semakin memerah menahan amarah, ia sudah berusaha menjauhkan putranya dengan perempuan murahan itu. Tetapi sekarang, putranya kembali saja mengungkit hal itu. "Dia sudah pergi!"

"Elang tahu. Dan itu akibat Mama."

Dua orang beda generasi itu saling bersitatap dengan gurat kamarahan.

"Sekarang Eva sudah kutemukan... Putriku juga sudah tumbuh sehat ditangannya, bahkan ia cantik dan cerdas." Elang mengambil udara sebanyak mungkin. "Dan Elang akan berjuang meminta maaf kepada Eva. Elang ingin menebus semua kesalahan Elang, dan berusaha menjadi Ayah yang baik buat putri Elang. Terserah Mama setuju atau tidak."

Tanpa mengindahkan raut wajah Mamanya, Elang berdiri dan melangkah pergi, mengabaikan ancaman-ancaman yang keluar dari bibir wanita paruh baya itu.

Tekadnya sudah bulat.

Ibarat kata hidupnya sudah hancur.
Berjuang atau tidak, semuanya akan sama. Dan Elang memilih untuk berjuang kembali, meskipun ia yakin akan ada penolakan disana.

Tbc

Bidadari Dunia ✔ (KBM & KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang