Yang mau baca silakan mampir di Karyakarsa. Sudah Tamat ya
Link ada di bio.
Selamat Membaca
Di dunia ini ada kalanya kita di bawah, dan ada kalanya kita di atas. Begitu pula rasa sedih yang akan silih berganti dengan rasa bahagia. Eva tahu bahwa masa suramnya dulu sudah berlalu, bahkan ia tak yakin sampai detik ini, karena ternyata Tuhan menganugerahkan Eva kekuatan yang tak banyak orang mampu.
Hamil di luar nikah mungkin sudah biasa orang dengar, bahkan banyak dari mereka yang memilih membunuh atau menggugurkannya. Tapi bagi Eva, setelah melakukan kesalahan maka ia harus memperbaiki bukan menjadi pembunuh.
Cukup sudah kesalahannya di masa lalu, tapi tidak dengan putrinya. "Kenapa Bunda bengong." Sapa Angsana saat ia baru saja pulang dari les di bimbel.
Eva yang tengah bersantai di ruang tengah sontak gelagapan, "Sudah pulang, nak?"
Kepala Angsana mengangguk.
"Bunda sejak Angsana datang sudah melamun, nggak baik lo. Apalagi ini habis magrib." Dengan senyuman lembut Eva merespon lontaran kata Angsana, tangannya menepuk sebelah sofa yang kosong, menginterupsikan untuk duduk disana.
"Bunda hanya teringat sesuatu saja. Tidak ada masalah." Jawabnya jujur, Angsana menoleh, ia memperhatikan wajah Eva.
"Ingat apa, Bun?"
Eva menimang-nimang, apakah ia akan mengatakan sekarang. Rahasia yang sudah ditutup rapat olehnya. Tapi menurut Eva, Angsana harus tahu akan sosok Ayahnya meskipun hanya sekadar orangnya saja. Ia tidak menuntut pertanggungjawaban, ia hanya ingin berdamai dengan keadaan.
"Bunda ingin tanya sama Angsana, Em... Angsana ingin tahu Ayah Angsana?" Tanyanya kelu, jujur Eva sangat takut. Karena ia teringat akan kejadian saat ia dan Angsana bertengkar dulu.
Wajah teduh Angsana menjadi jawaban akan pertanyaannya. "Angsana enggak mau menuntut Bunda buat cerita, kalau Bunda mau cerita ya silakan. Kalau belum siap juga nggak papa. Angsana sudah bersyukur kok dibesarkan seorang Bunda yang kuat."
Ungkapan yang begitu sederhana itu menyentil hati Eva, gadisnya yang kecil ternyata sudah bisa menerima keadaan yang ada. Air mata Eva luruh, ia menangis, menangisi kebodohannya dulu.
"Stttt, Bunda nggak boleh nangis." Sapuan hangat hinggap di pipi Eva, ibu jari Angsana mencoba menghapuskan air matanya. "Bunda hanya ingin tahu, apakah rasa yang dulu kamu ungkapkan masih sama."
Rasa seorang anak akan sosok Ayahnya.
"Em, awalnya Angsana penasaran. Tapi semakin kesini Angsana sadar bahwa mungkin ini yang terbaik untuk Angsana."
"Kamu tidak marah dengan Bunda?"
"Enggak, Angsana ingat kata Uti di kampung, bahwa Angsana harus bahagiain Bunda."
Kedua orang beda usia itu mengahamburkan tubuhnya, mereka berpelukan hangat.
***
Elang berjalan menelusuri lorong apartemen dengan tubuh letihnya, ingatan akan anak perempuan tadi membuat dirinya penasaran. Entahlah, ia merasakan sebuah kedekatan tanpa harus mendekat.
Elang memasuki unit apartemen dengan harapan agar lekas istirahat, pikirannya yang semrawut membuat tubuhnya lelah. Tapi sayang, tubuhnya dan keadaan tak sejalan.
Di dalam unitnya sudah ada seorang perempuan paruh baya yang duduk di sofa dengan secangkir teh sebagai temannya.
"Kenapa Mama disini?" Bukan sapaan hangat yang Elang layangkan, tapi sebuah tatapan yang sarat akan ketidaksukaan.
"Mama masih Mama kamu Elang. Ingat."
Berdebat dengan wanita yang telah melahirkannya tidak akan mudah. "Mama mau apa?" Ucap Elang sesaat setelah ia mengambil botol air mineral di almari pendingin.
"Bagaimana hubungan kalian?"
"Baik, seperti yang Mama inginkan."
"Kapan kalian akan menikah, Mama tidak sabar akan hal itu." Ungkap Mama Elang dengan penuh harap, bayangan akan sebuah pernikahan yang megah dan seorang menantu yang cantik sudah lama hinggap di dalam benaknya. Apalagi tak lama dari pernikahan itu, akan ada cucu yang lahir, yang mampu melengkapi semua ini.
"Elang tidak tahu." Tidak ada di benak Elang untuk menikah. Tetapi desakan dari sang Mama untuk menjodohkannya dengan anak temannya semakin menjadi. Dan sebuah pertunangan adalah jawabannya.
"Kamu sudah matang Elang, bahkan Mama dan Papa kamu semakin hari semakin menua, jadi pikirkan hal itu."
"Yang menikah itu Elang Ma, jadi ini urusan Elang." Tetapi wanita yang duduk berhadapan dengan Elang tak mau kalah, "Tidak, Mama akan bicara akan hal ini dengan Shela. Dan secepatnya kalian menikah." Pungkas Mama Elang berdiri meninggalkan apartemen putranya. Harapan akan sebuah pernikahan membuatnya harus bertindak seperti ini, memaksa.
Setelah kepergian Mamanya, Elang mengurut pelipisnya yang terasa pening. Rasanya ia ingin pergi saja dari semua hal ini."Dimana kamu Eva? Apa kabar dengan anak kita?" Lirih Elang mengatakannya, sambil menyandarkan tubuhnya di sofa menatap langit-langit ruang tamu.
Keesokan harinya baik Eva dan Angsana sedang bersiap, mereka mengenakan baju yang sekilas seragam, meskipun beda model. Ibu beranak satu itu merias wajahnya dengan make up natural.
"Bunda cantik banget." Puji Angsana. Di pagi ini Angsana melihat aura Eva yang memukau, "Masa sih? Padahal Bunda sudah kepala tiga."
"Ih, masih muda Bun. Lagian kalau Bunda nikah, Angsana juga bahagia." Lontaran kata yang membuat hati Eva sedikit tersentil, apa masih ada pria yang mau dengannya? Eva pikir tidak akan ada, kalau pria itu mampu menerimanya, belum tentu keluarga besarnya. Jadi Eva yakin untuk membesarkan putrinya itu saja, masalah pasangan ia tak pernah memikirkan.
"Bunda tidak akan menikah. Bunda akan ada disamping Angsana saja."
Mengerucutkan bibir Angsana tidak setuju akan jalan pikiran Bundanya, "Ih, Bunda. Kalau ada pria yang dekatin Bunda. Angsana enggak larang, kok. Bahkan kalau bisa Angsana akan dekatinya, cari tahu bibit, bebet, bobotnya, kalau cocok Angsana restui."
"Hust, sudah makan dulu. Jangan banyak bicara. Kita nanti telat." Potong Eva saat putrinya itu mencerocos soal pasangan hidupnya. Bagi Eva setelah kesalahan masa lalunya, hanya ada Angsana di hidupnya. Bahkan mungkin selamanya.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Dunia ✔ (KBM & KARYAKARSA)
Historia CortaCerita ini sudah tayang di Karyakarsa dan KBM. Langsung Prolog