pain

72 25 0
                                    

Sudah lebih dari satu bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Tamlin, dan mereka masih belum menemukan satu titik terang untuk memecahkan kutukan. Pertama tidak ada cukup petunjuk. Ke dua, itu tidak seperti Tamlin adalah pria jahat yang pantas untuk dikutuk, jika itu masalahnya, mereka pasti bisa memulai dari memperbaiki sifat buruk itu.

"Kamu begitu diam malam ini, sesuatu mengganggumu?" ucap  Tamlin saat mereka membersihkan ruangan di ujung timur Chateau. Itulah yang mereka lakukan setiap malam, memoles seluruh tempat ini agar terlihat seperti baru. Itu bukan pekerjaan yang benar-benar sulit saat Tamlin memiliki sihir di ujung jarinya.

"Sudah berhari-hari sekarang, dan kita tidak ke mana-mana. Kita tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Musim dingin tidak lama lagi. Jika salju turun kita tidak bisa mempertahankan pengaturan kita. Itu aku terjebak di desa atau aku terjebak di sini. Mustahil untuk pergi melalui Carterhaugh saat salju bisa menjadi setinggi lutut. Aku bertanya-tanya, bagaimana jika aku mencobanya besok?"

"Kita tidak akan melakukannya."

"Jadi bagaimana kita akan tahu? Bagaimana kamu tahu itu adalah waktu yang tepat? Kapan akhirnya kamu membiarkan mereka melihatmu?"

Tamlin menggosok wajahnya dengan kasar, seolah pembicaraan singkat mereka telah menguras seluruh energinya. Dia bersandar pada jendela yang baru saja ia perbaiki dengan sihirnya. Menatap Janette dalam keheningan yang mengingatkannya pada hari pertama mereka bertemu. Janette tidak menyukai tampilan itu sama sekali. Setelah ciuman pertama yang mereka bagi bersama, mereka hampir tidak pernah terlibat satu sama lain. Mereka bicara, membiarkan satu sama lain melihat ketakutan tergelap diri mereka, tapi tidak pernah membicarakan ciuman itu lagi. Akhirnya ketika Tamlin memutuskan tatapan di antara mereka,dia bicara,"Aku tidak ingin kamu mencoba sama sekali."

"Aku pikir kamu mempercayaiku."

"Aku lakukan. Aku hanya tidak percaya pada kutukan ini. Aku tidak berpikir itu bisa dipatahkan. Itu sama sekali bukan tentang kamu Janette, dan kamu harus tahu itu sekarang. Kamu adalah satu-satunya orang di dunia yang aku percaya. Satu-satunya yang aku miliki."

"Tapi itu masih tidak cukup. Kamu masih tidak percaya bahwa aku cukup peduli padamu untuk tidak pernah melepaskan kamu apa pun yang terjadi. Aku akan melewati setiap perubahan, aku bersumpah Tamlin. Kamu hanya harus percaya," ucap Janette, semakin putus asa saat Tamlin hanya menggelengkan kepalanya sebagai tanggapan.

"Aku tidak ingin mengambil risiko seperti itu, akan terlalu menyakitkan untuk melihat kamu ... pergi."

Janette meringis, sangat menyadari saat Tamlin menghindari kata mati untuknya.

"Lalu apa yang kamu ingin aku lakukan? Aku pikir aku di sini untuk membantu, tapi kamu tidak akan membiarkan aku untuk melakukan itu. Aku tidak mengerti Tamlin, mungkin aku seharusnya tidak datang lagi."

"Mungkin memang begitu," jawab Tamlin pelan, sakit hati mustahil untuk disangkal dari suaranya tapi itu masih membuat Janette kesal.

"Kamu benar-benar menyebalkan. Kamu seharusnya memberitahuku bahwa fakta aku berada di sini penting untukmu. Apakah semua laki-laki begitu buta?" bentak Janette. "Aku ingin menjadi penting untukmu."

"Kamu penting untukku," ucapnya.

"Aku melihat tapi datang."

"Tapi—"

"Aku tahu itu!" potong Janette sebelum Tamlin dapat menyelesaikan kalimatnya.

Tamlin mendesah, datang untuk berdiri di depannya dan mengambil kedua tangannya ke dalam genggamannya yang besar. Mencium punggung tangannya dengan lembut dan memaksa pandangan mereka bertemu sekali lagi, kali ini cukup dekat hingga mereka bisa merasakan napas mereka bersama.

"Tapi itulah yang membuatku tidak bisa membiarkan kamu mencoba. Kamu terlalu penting untukku hingga mustahil untuk membiarkan kamu mencoba ini. Kamu mungkin mati. Aku bisa saja kehilangan kamu. Itu bukan sesuatu yang ingin aku ambil risiko."

Berdiri di sana Janette tidak memiliki kata-kata yang tepat untuk dikatakan. Dia benar-benar mengerti keengganan Tamlin, tapi dia juga memiliki pilihannya sendiri. Namun alih-alih berdebat lebih jauh, Janette memilih mengangguk dengan kalah.

"Aku mengerti," ucap Janette, membalik tangan mereka dan balas mencium punggung tangan Tamlin.

"Kenapa aku memiliki perasaan ini? Perasaan bahwa kamu sama sekali tidak mengerti."

"Aku tidak ingin membicarakannya lagi, bagaimana jika kita membicarakan sesuatu yang lain?" Janette tersenyum, untuk saat ini mendorong semua kekhawatiran yang muncul ke bagian belakang kepalanya.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Tamlin.

Janette mengedikkan bahu, berjalan untuk pergi ke ruang depan, tempat perapian menyala dengan api yang hangat. Tamlin mengikutinya seperti ngengat yang tertarik pada api. "Apa yang ingin kamu lakukan di malam Samhain? Warga di desa merayakannya dengan tarian dan pesta, semua makanan berlimpah di tumpuk di alun-alun. Anak-ank berlarian. Musik dan kegembiraan seolah malam itu tidak akan berakhir."

"Aku tidak yakin dengan apa yang ingin aku lakukan," ucap Tamlin, matanya terlihat tidak fokus, seolah dia tidak lagi bisa mengingat kapan terakhir kali dia merayakan sesuatu. Seolah perayaan tidak akan pernah lagi berada dalam jangkauannya.

"Kamu tidak bisa meninggalkan tempat ini?" Janette bertanya, membalik tubuhnya sehingga dia bisa melihat pria yang sekarang terdiam di belakangnya. "Sama sekali?"

"Aku terikat di sini."

"Benar-benar? Apakah kamu pernah mencoba?" tanya Janette menekan lebih jauh. Masih sulit baginya untuk percaya sihir benar-benar nyata. Bahkan ketika dia sudah melihatnya begitu sering. Sekarang Chateau itu telah berubah menjadi keindahan kuno yang mempesona. Tidak ada debu yang tersisa, ruangan itu berkilauan seolah tidak pernah ditinggalkan sama sekali.

"Sekali. Aku mencoba melangkah keluar dari gerbang. Satu langkah, dan rasa sakitnya mustahil untuk ditanggung. Satu menit pertama seolah seseorang menenggelamkan pisau menembus tulang rusukku, langsung ke jantungku." Dia menekan dadanya seolah mengingat rasa sakit hantu yang gagal untuk dilupakan. "Menit kedua aku mulai merasa seseorang mengulitiku hidup-huidup. Seolah seluruh tulangku di patahkan, dihancurkan menjadi serpihan. Aku berharap aku akan mati. Aku berharap itu akan berakhir ketika akhirnya rasa sakit membunuhku. Ketika aku berpikir, mustahil seseorang tetap hidup dengan rasa sakit seperti itu. Tiga menit dan aku masih bernapas, tidak mungkin untuk menanggung rasa sakit seperti itu. Aku terhuyung saat memasuki halaman Chateau, melalui gerbang, dan rasa sakit itu berhenti, seolah tidak pernah terjadi."

"Aku minta maaf," ucap Janette, karena apa lagi yang bisa dia katakan? Bukannya dia bisa memutus kutukan begitu saja. Mereka sama sekali tidak menemukan cara untuk mengakhirinya, bahkan Tamlin menolak untuk mencoba sama sekali.

"Tidak masalah. Aku tidak ingin pesta atau menari di sekitar perayaan. Bukan musik atau lagu yang membuat sesuatu menjadi istimewa. Itu adalah siapa yang kita habiskan waktu bersama."

"Ketika kamu mengatakan hal-hal seperti itu," Janette tersenyum kecil, "aku mulai berpikir kamu sama sekali bukan pria yang sederhana sebelum kutukan ini dimulai."

"Mungkin kamu benar," jawab Tamlin, tapi dia tidak mengatakan apa pun lagi.

***

Satu malam lagi, dan dia hanya ingin lebih banyak waktu, hanya itu yang Tamlin inginkan saat menyaksikan Janette keluar melalui gerbang. Dia mengatakan rasa sakitnya tak tertahankan saat dia meninggalkan Chateau, tapi dia tidak yakin telah mengatakan itu dengan jujur. Karena setiap kali dia melihat gadis itu pergi, rasanya sama menyakitkannya. Seolah jiwanya ditarik keluar, hanya untuk dibakar menjadi abu. Lagi. Dan lagi. Hingga matahari tenggelam besok dia melihat sosoknya melalui gerbang yang sama. Mungkin selama ini dia adalah monster. Mungkin itu benar.

SpellbreakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang