Kilat membelah langit, memecahkan kegelapan dalam satu detik yang singkat sebelum gemuruh dari guntur membuat Janette menggertakkan gigi. Gadis itu menengadahkan kepalanya. Melihat awan tebal yang menyelubungi bintang-bintang. Badai akan datang, pikirnya muram saat dia berusaha menarik simpul dari tali tambang yang mengikat pergelangan tangannya ke pagar besi Chateau. Itu tidak akan melonggarkan, hanya menggosok kulitnya hingga lecet. Janette sudah mulai merasakan pegal pada lengannya kerena ditarik ke atas, kakinya hampir tidak dapat menyentuh tanah dan sekarang dia harus berurusan dengan badai yang mengamuk. Jika dia bisa melewati malam ini hidup-hidup, dia sangat beruntung.
Butuh banyak usaha untuk memutar kepalanya, tapi Janette berhasil melihat melalui bahunya ke Chateau yang berada di belakang punggungnya. Bangunan itu terlihat gelap dan sunyi. Dia tidak mendengar apa-apa sejak warga desa menariknya dengan paksa dari rumah, menggiringnya melalui Carterhaugh dan menambatkannya pada pagar besi yang sekarang menahannya. Dia hanya bisa berharap semoga ayahnya bernasib lebih baik. Berharap ayahnya tidak mencoba melawan seluruh warga sehingga dia tidak akan dipukuli. Ingatan bagaimana warga desa mendorong ayahnya ke lantai rumah mereka saat warga menyeretnya, meremas hati Janette dengan menyakitkan.
Janette kembali menarik ikatannya, menyentakkan tangan dan tubuhnya sehingga pagar yang menahannya berguncang, menciptakan suara berdentang dari derit besi tua yang bergesekkan. Jika seseorang benar-benar tinggal di Chateau, dia harus mendengar semua keributan itu sekarang. Jika satu peri jahat benar-benar tinggal di sana, dia seharusnya sudah keluar untuk mendapatkan mangsanya yang tak berdaya.
"Halo Tuan Peri! Keluar dan dapatkan aku? Kamu lebih suka camilanmu kering dan hangat dari pada basah kuyup dan dingin, bukan?" teriak Janette, sejujurnya dia tidak percaya jika peri tinggal di sini. Di tidak berpikir gadis-gadis yang menghilang saat melintasi Carterhaugh telah diambil oleh peri jahat. Seekor serigala lebih mungkin, atau beruang? Pikiran itu membuat kulit di belakang lehernya merinding. Dia tidak ingin membayangkan apa yang akan terjadi jika seekor beruang menemukannya terikat di sini. Lebih baik tidak memikirkan itu.
"Jika aku bertahan hidup hingga pagi, maka mereka tidak punya pilihan selain membawaku kembali, bukan? Mereka tidak akan membiarkan aku mati terikat di sini, 'kan? Yang aku perlukan hanya bertahan hingga besok dan seseorang untuk melepaskan ikatan bodoh ini, benar?" ucap Janette pada udara tenang sebelum badai, tidak ada yang menjawabnya, dan sebagian dari dirinya takut warga desa akan meninggalkannya di sini sampai mati kelaparan. Tidak peduli apakah Peri ini menerima pengorbanan mereka atau tidak. "Ini benar-benar bodoh dan tidak berguna!"
Janette berteriak dengan kesal dan kilat membelah langit sekali lagi, menyinarinya dengan cahaya putih kemudian guntur yang membuat telinganya berdering. Satu tetesan besar air hujan jatuh ke pipinya saat dia mendongak, diikuti lebih banyak air jatuh mengguyurnya. Badai itu benar-benar di sini sekarang dan angin yang membawanya membuat Janette menggigil. Bagaimana ini bisa jadi lebih buruk? Janette mengedipkan matanya, mencoba menghindari air yang menetes di bulu matanya, tapi itu percuma. Hujan itu begitu lebat, membuatnya basah kuyup dan setiap tetes terasa seperti tamparan ke kulitnya. Dalam beberapa detik Janette benar-benar basah dan kedinginan. Dia mulai merasakan mati rasa pada jari-jarinya yang kaku, dan membuka matanya sekarang terasa perih karena air masuk ke matanya.
Badai bisa jadi sangat buruk di sekitar sini dan dari suara gemuruh angin dan guntur, malam ini akan menjadi salah satu yang paling buruk pada musim ini. Janette kembali melihat melalui bahunya, kali ini benar-benar berharap seseorang akan keluar dari Chateau untuk menyelamatkannya. Siapa saja, bahkan dia akan menyambut peri jahat jika itu berarti keluar dari badai dan masuk ke dalam tempat yang hangat. Dengan perapian yang menyala dan segelas ale yang hangat. Janette menyipitkan matanya, berusaha melihat melalui tirai deras hujan yang mengaburkan segalanya dalam radius beberapa meter. Sejauh yang dia tahu Chateau itu tetap gelap dan sunyi. Dia mengedipkan matanya beberapa kali, berusaha menghalau air hujan yang mengalir ke matanya, dan sesaat dia melihat siluet seseorang yang menuruni tangga Chateau. Apakah dia membayangkan itu?
Janette harus mengedipkan matanya lagi sebelum kembali membukanya, dan dia bersumpah siluet itu tidak menghilang, itu berjalan tepat ke arahnya. Bahkan dengan helaian rambutnya yang basah kuyup menghalangi pandangannya, dia cukup yakin dia tidak sedang berhalusinasi. Seseorang memang tinggal di sana. Seseorang itu sedang menuju ke tempatnya terikat tak berdaya, dan untuk sesaat detak jantungnya mengikat pada ritme yang berdebar-debar dengan panik. Dia tidak tahu siapa orang itu, untuk semua yang dia tahu, orang itu mungkin memiliki hal buruk di pikirannya. Namun saat kilat menyambar di kejauhan dan guntur lain menggerakkan malam yang berangin, Janette siap mengambil risiko dengan orang asing ini.
"Halo? Seseorang di sana? Bisakah kamu menolongku?" teriak Janette berusaha untuk membuat suaranya yang ditenggelamkan oleh derasnya hujan dapat didengar. Tidak ada jawaban yang datang tapi saat dia mengedipkan matanya orang itu semakin dekat dan sekarang Janette cukup yakin itu adalah seorang pria dari ukuran tubuhnya yang begitu besar. Sekarang rumor tentang peri yang tinggal di sini terdengar tidak terlalu bodoh, pikirnya.
Hanya beberapa meter lagi, dan Janette tidak memiliki keraguan bahwa pria itu memang menuju ke arahnya sekarang. Dari tempatnya terikat, dia bisa mengatakan sedikit tentang pria itu. Dia tinggi dan memiliki bahu lebar, dia lebih besar dari pria rata-rata. Dengan rambut gelap yang sekarang basah kuyup jatuh menempel di sekitar wajahnya. Cukup panjang hingga mencapai lebih dari bahunya. Dia mengenakan semacam mantel tua yang sekarang menyerap air dan membebani. Kakinya, anehnya telanjang di atas tanah basah yang berlumpur tapi itu sepertinya tidak banyak mengganggunya. Janette tidak bisa mengatakan banyak tentang wajahnya karena hampir tidak ada cahaya yang tersisa selain dari kilat yang sesekali memecahkan langit.
"Tuan? Bisakah kamu membantuku?" ucap Janette, meninggikan suaranya sekali lagi ketika akhirnya dia yakin pria itu berada pada jarak pendengaran. Sekali lagi dia tidak mendapatkan jawaban tapi sesaat kemudian pria itu mencapainya. Kepalanya tertunduk seolah dia melindunginya dari hujan atau mungkin melindunginya dari tatapannya, Janette tidak bisa memutuskan. Detak jantungnya kembali berdebar dengan panik saat pria itu mencabut pisau besar yang jahat dari ikat pinggangnya. Jika dia mati di sini, dia bersumpah akan menghantui tempat ini dan membuat warga desa berharap hanya peri jahat yang ada di sini dan bukan arwahnya yang pendendam. Hanya saja kemudian dia merasakan tali yang menahan pergelangan tangannya terpotong dan tanpa ikatan yang menahannya, tubuhnya yang tidak seimbang hampir jatuh begitu saja jika kedua lengan yang kuat tidak menahannya.
Dia ditarik melalui besi yang dingin, jika tidak ada pagar di antara dia dan pria ini, maka dia akan berada tepat di pelukannya. Mereka sangat dekat dan saat pria itu menunduk untuk berbisik di dekat telinganya, Janette menggigil. Suara pria itu begitu rendah dan serak seolah sudah terlalu lama tidak digunakan.
"Bisakah kamu berdiri? Aku akan membuka gerbang sehingga kamu bisa masuk."
Janette tidak yakin bisa mengatakan apa-apa melalui giginya yang gemetar tapi dia cukup yakin dia berhasil mengangguk karena pria itu melepaskan pelukannya. Menahannya sesaat untuk memastikan dia berhasil bertahan di kakinya sebelum membuka gerbang. Dia tidak tahu bagaimana pria itu mendapatkan kunci tapi dia memang memilikinya. Gerbang berderak saat pria itu menariknya terbuka dan sekarang dia harus memutuskan. Apakah aman untuk tinggal bersama dengan seorang pria asing atau lebih baik berada di tengah badai saat melintasi Carterhaugh? Sebelum Janette bisa membuat keputusan untuk dirinya, pria itu menyentuh bahunya.
***
Gadis itu gemetar dari ujung kepala hingga ujung kaki, tidak heran mengingat badai yang mengamuk di sekeliling mereka. Dia mendengar teriakkannya sepanjang hari tapi tidak ada yang bisa dia lakukan sampai matahari benar-benar tenggelam, bahkan setelah itu dia masih ragu untuk datang. Berharap seseorang yang waras akan memotong ikatannya dan menyelamatkannya, tapi hal seperti itu tidak terjadi dan ketika badai itu akhirnya datang, dia tidak bisa memaksa dirinya untuk mengabaikan gadis itu lagi. Jadi di sinilah dia.
"Kamu bisa masuk dan menghangatkan dirimu di dalam," ucapnya, berusaha membuat suaranya agar tetap rendah agar tidak menakut-nakuti gadis itu. Untuk sesaat gadis itu hanya diam seolah menimbang pilihan yang masuk akal untuk dibuat hingga akhirnya dia mengangguk.
"Terima kasih."
Dia mengangguk dan membuat isyarat agar gadis itu mengikutinya. Sebagian dari dirinya berharap gadis itu akan menolaknya dan berlari melalui badai tapi seperti setiap gadis lain yang telah ia temui, gadis itu mengikutinya. Hatinya meremas dengan menyakitkan, dia tidak ingin melewati ini lagi. Mengulangnya lagi dan merasakan sakit hati itu lagi tapi dia tidak bisa membiarkan gadis itu mati di tengah badai. Jadi dia hanya diam saat mereka menaiki tangga ke beranda dan masuk ke Chateau. Suara hujan diredam saat pintu di belakang mereka tertutup, menyegel nasib mereka bersama sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spellbreaker
Cerita PendekFantasy || Romance || Young Adult Pada suatu ketika, di saat peri itu nyata dan gadis-gadis menghilang di kedalaman Carterhaugh, di mana kisah ini akhirnya dimulai. Janette dan ayahnya tinggal di desa dekat dengan Carterhaugh. Warga desa percaya p...