6

509 92 5
                                    

Hari ini Jisoo mendapat surat peringatan dari kampusnya. Surat itu terbungkus amplop putih berlogo Fakultas Hukum Seoul National University.

Persetan.

Jisoo meletakkan kembali surat tersebut di meja setelah membacanya. Sungguh, dia tidak peduli sama sekali jika dirinya dinyatakan putus kuliah oleh kampusnya. Bagus, malah. Dengan begitu, dia tidak perlu berdebat lagi dengan mamanya.

Kim Seunghyun menuruni anak tangga menuju meja makan dengan pakaian rapi, siap berangkat ke rumah sakit. Lelaki itu Papa Jisoo, mengambil tempat diujung meja, meminta secangkir kopi kepada ART. Dia tidak menatap anaknya, tidak pula menegur.

Jisoo berlaku sama, pura-pura Seunghyun tidak nyata. Dia meninggalkan ruang makan tanpa berkata apa-apa. Memang seperti itu hubungan anak dan ayah itu. Baik Jisoo maupun Seunghyun, keduanya tidak ingat kapan kali terakhir mereka berbicara satu sama lain.

Jisoo naik ke lantai kedua dan pergi ke kamarnya. Tepat saat dia membuka pintu, ponselnya berbunyi dan tertera nama Wendy.

"Jisoo! Astaga. Aku tidak menyangka kau akan menjawab teleponku sepagi ini." Wendy tertawa meledek. "Ini baru jam 8, apa kau sadar? Atau, jangan-jangan, jamku kehabisan baterai dan aku bangun kesiangan?"

"Haha. Lucu, Om." Jisoo membalas dengan tawa sinis. "Ada apa meneleponku? Oh, biar kutebak. Tampil solo di Nigel's Jumat malam ini."

"Tepat. Kau memang tau aku sekali."

"Maaf, aku sedang malas naik panggung."

"Ayolah, Ji. Empat kali aku meminta, empat kali juga kau menolak."

"Berhenti meminta kalau begitu. Gampang kan."

Wendy mendesah gemas. "Oke. Bagaimana kalau begini. Kau memainkan lima-tujuh lagu. Aku memberimu meja terbaik di Nigel's dan dua makan malam untuk kau dan–yah, siapapun gadis yang ingin kau ajak kencan."

Jisoo diam beberapa saat, berpikir. Tawaran Wendy cukup menggoda. Meja terbaik Nigel's memang selalu menjadi rebutan. Ini kesempatan emas, sayang jika dilewatkan, tetapi– "Aku benar-benar sedang malas naik panggung, Om. Lain kali saja kita bahas lagi, oke? Aku mau mandi, harus ke studio." Sebelum Wendy sempat mendebat, dia mematikan ponsel.

Studio sepi, sialnya. Dia meminta Irene datang, tetapi gadis itu tidak membalas pesannya. Pada akhirnya, dia bermain musik sendiri, seperti biasa. Setelah lelah, dia turun ke Arah Coffee.

Di kedai kopi itu, Jisoo bertemu Jennie.

Gerak-gerik Jennie berubah canggung begitu mata mereka bertemu. Jennie mendekap minumannya dan nyaris mematung di depan meja bar. Hanya bola matanya saja yang bergerak, berputar turun menghindari tatapan Jisoo.

Jisoo tersenyum geli, tetapi sebenarnya dia sendiri merasa gugup. Setelah pembicaraan ditaman kampus Jennie, ini kali pertama mereka bertemu lagi. Dua minggu telah berlalu sejak itu. Omong-omong, dia sedikit merindukan Jennie.

"Hei. Baru balik kuliah?" tanyanya.

"Y-ya," jawab Jennie. Ada jeda cukup lama, "Emm, sa-sampai ketemu lagi," lalu dia meninggalkan Arah Coffee.

Senyum Jisoo mengembang. Dia menyusul Jennie. Saat gadis itu menatap curiga kepadanya, dia buru-buru membela diri. "Aku mau ke apartemen Irene. Dia tinggal digedung yang sama denganmu, kalau-kalau kau lupa." guraunya.

Jennie balas tersenyum, tetapi hambar.

Mereka berjalan bersisian, tetapi Jennie menciptakan jarak dan Jisoo tidak berusaha mendekat.

"Apa kita baik-baik saja?" Jisoo bertanya.

"Ya."

"Masa?" Kali ini, Jennie diam sambil menunduk.

Selalu Ada Jeda Untuk Bahagia (Jensoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang