3

603 95 9
                                    

Jennie dalam perjalanan pulang dari kampusnya. Dia melihat buku dietalase toko tua yang menyempil diantara buku-buku lainnya. Buku itu telah usang, warna sampulnya agak pudar, tetapi bagian dalamnya masih bagus. Kertas-kertasnya masih mulus dan licin meskipun tepiannya menguning dan berbintik-bintik cokelat. Buku itu berjudul The Little Mermaid.

Dahulu sekali, saat Jennie masih kecil, sebelum tidur, dia sering dibacakan buku itu oleh papanya. Buku itu dipenuhi sketsa cat air yang indah, dengan warna-warna yang lembut mewakili laut, ganggang, pasir, dan terumbu. Dia menyukai Putri Duyung Kecil yang bersuara merdu dan hidup di kerajaan bawah laut, tetapi dia benci akhir yang dituliskan oleh Hans Christian untuk tokoh itu.

Putri Dutung Kecil jatuh cinta pada manusia, seorang pangeran yang diselamatkannya ditengah badai. Dia menginginkan hidup menjadi manusia bersama sang Pangeran, dia menukarkan suara merdunya dengan sepasang kaki. Dan, setelah dia menjadi manusia, selamanya dia tidak akan bisa kembali ke laut.

Putri Duyung Kecil mendapatkan apa yang dia mau-sepasang kaki -dia kini bisa berjalan meskipun tidak lagi bisa berbicara dan bernyanyi. Dia menemui Pangeran didaratan, tetapi nahas, lelaki itu mencintai gadis lain. Putri Duyung Kecil patah hati, lalu terjun ke laut dan berubah menjadi buih.

Jennie tertarik pada The Little Mermaid karena itu.
Dia ingin terjun ke laut dan berubah menjadi buih. Dengan begitu, lukanya akan luruh bersama air dan dia bisa menghilang. Dia bisa lari dari dunia, dari masa lalunya, dari tatapan dan gunjingan yang menghakiminya, dari pertanyaan-pertanyaan Miss Jung yang tidak ada habis-habis, dari kekhawatiran mamanya yang membuatnya lelah, dari segalanya.

Lalu, saat pagi pertama datang, dia akan terlahir kembali sebagai ruh tanpa raga.
Dan, dia tidak perlu lagi menjadi Jennie, gadis malang yang kehilangan kehidupan.

-----------

Jisoo tengah berada dikamarnya yang penuh dengan kepulan asap rokok. Dia tidak mengerti mengapa melodi-melodi yang diciptakannya hari ini begitu buruk. Berjam-jam berdiam diri dikamar, tetapi tidak menghasilkan apa-apa.

"Ck. Benar-benar sial." gerutunya. Dia menyalakan rokok berikutnya dan menghisapnya. Dia tidak tau sejak kapan dia menjadi begitu tergantung pada rokok.

"Jisoo."

Pintu kamar diketuk tiga kali dari luar. Menyusul, suara serak yang lama tidak didengar Jisoo menyentak perhatiannya. "Kau didalam?"

Jisoo mengintip pintu itu. Seketika, hatinya dihinggapi perasaan gusar. "Masuk saja," katanya, "Tidak dikunci." Lalu dia melihat kaka perempuannya muncul dari balik pintu.

"Astaga. Kamar ini seperti ruang merokok di mal. Apa kau mau bunuh diri? Paling tidak, kau bisa buka jendela, kan." Yoona-kaka Jisoo-terbatuk-batuk saat memasuki kamar Jisoo.

"Papa tidak ada, kalau kau cari dia. Dia masih di rumah sakit."

Sama seperti sang ayah, Yoona juga sekolah kedokteran dan akan menjadi dokter ahli penyakit dalam.

"Aku tidak cari dia."

Yoona duduk ditepi tempat tidur, "Aku datang untukmu."

"Pasti Mama yang meminta."

"Ya. Dia meneleponku kemarin, marah-marah selama satu jam saat aku sedang jaga UGD. Katanya, kau tidak mau melanjutkan kuliah."

"Hem, ya." Jisoo bangkit untuk membuka jendela. "Aku bosan," katanya.

Yoona tertawa hambar. "Kau suka hukum, Jisoo. Tidak mungkin kau bosan."

"Kenyataannya begitu."

"Jangan main-main. Enam semester IP mu 4."

Selalu Ada Jeda Untuk Bahagia (Jensoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang