9

570 101 12
                                    

Ponselnya berbunyi.

Jennie terkesiap. Dia berada tepat dihadapan pintu bus yang hendak dinaikinya saat Jisoo menelepon. Dia merogoh tasnya cepat-cepat, panik sekaligus bersemangat mendengar dering yang ditunggu-tunggu olehnya, lalu menjawab segera. "Ji-Jisoo?" Suaranya bergetar mewakili emosinya.

"Jennie." Jisoo memanggilnya lirih.

"Jisoo, kau ada dimana? Apa kau baik-baik saja? Aku meneleponmu berkali-kali, tapi kau--"

"Tidak. Kurasa, aku tidak baik-baik saja."

Semangat Jennie redup seketika. Jisoo terdengar.....tidak berdaya. Terluka dan putus asa. "Apa yang terjadi?" tanyannya.

Jisoo diam.

Jennie sudah tidak peduli dengan bus yang hendak dinaikinya. Saat ini, hanya ada Jisoo di kepalanya. "Apa yang terjadi?" Dia bertanya sekali lagi. "Jisoo?"

"Aku--" kata Jisoo di sambungan telepon, "--tidak tahu harus bagaimana." Dia menarik napas dengan berat.

"Orangtuaku akan bercerai, Jen. Mamaku mengepak barang kemarin. Kakak-kakakku membantu tanpa banyak tanya. Papaku tidak peduli. Aku satu-satunya yang emosi saat mengetahui rencana perceraian ini, satu-satunya yang--dengan naifnya--berharap keluarga kami masih bisa diselamatkan, satu-satunya yang.....bodoh."

"Ti-tidak, Jisoo, kau tidak bodoh."

"Aku tanya alasan orangtuaku. Kau mau tau apa yang mereka katakan?"

Jennie meninggalkan halte, lalu menjauh dari jalan raya, menghindari keramaian. Dia masuk ke pelataran bangunan apartemennya.

"Mamaku tidak tahan lagi tinggal dirumah kami. Tidak ada yang tersisa, katanya. Dan, papaku? Menurut dia, pernikahan mereka adalah kesalahan." Jisoo tertawa pilu diujung kalimatnya. "'Kesalahan'. Apa kau dengar, Jennie? Kalau pernikahan mereka adalah kesalahan, lalu aku apa? Anak dari kesalahan?"

"Jisoo, a-apa kau....apa kau mabuk?"

"Mabuk? Tidak, Gadis Latte. Semalam, ya, aku mabuk berat. Sekarang, aku cuma frustrasi." Jisoo tertawa lagi.
"Ah, sial. Kenapa kau tidak ada di apartemenmu? Aku ingin bertemu."

"Kau....ada di apartemenku?"

"Ya. Duduk menyedihkan di depan pintu."

"T-tunggu. Aku akan kesana." Sambil berkata begitu, Jennie berlari melintasi pelataran.

"Tidak, tidak perlu," kata Jisoo, "aku ingin bertemu, tapi sebenarnya tidak punya nyali berhadapan denganmu."

"Jangan kemana-mana. Tunggu aku. Ya? Aku tidak jauh."

"Sungguh, Jen. Aku bukan pemuda yang pantas kau beri perhatian. Aku...kacau. Pagi ini....aku terbangun disisi gadis yang tidak kukenal."

Sepasang kaki Jennie membeku di lobi, begitu juga tubuhnya. Jennie membelalak, terkejut mendengar pengakuan Jisoo.

"Gadis itu tidak pakai apa-apa. Aku sendiri hampir tidak pakai apa-apa. Bodohnya, aku tidak ingat kami bercinta atau tidak. Aku sangat mabuk semalam sampai tidak sadar menelanjangi perempuan dan membawanya ke tempat tidur. Benar-benar kacau, kan? Apa kau membenciku sekarang?"

Jennie menggeleng keras-keras meskipun dia tau Jisoo tidak melihatnya. Dia merasakan sudut-sudut matanya basah. Lalu, wajahnya pun basah. Dia menangis, tetapi bukan karna kecewa atau marah. Butir-butir pilu ini--

"Ck, tentu kau membenciku. Aku saja membenci diriku. Aku muak....dan lelah. Aku lelah hidup begini." Jisoo terdengar semakin tidak berdaya.

"Jennie," bisiknya, "aku harus bagaimana?"

Selalu Ada Jeda Untuk Bahagia (Jensoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang