2

622 114 13
                                    

"Apa kau akan pulang ke rumah akhir pekan ini?" suara mamanya terdengar dari sambungan telepon. Jennie sedang berbicara dengan Mamanya lewat telepon.

"Aku belum selesai merapikan barang-barangku."

"Kau mau Mama datang kesana membantu?"

"Tidak, Ma. Aku bisa sendiri."

"Benar? Pulang dari kantor, Mama bisa mampir kesana. Kalau perlu, Mama menginap ditempatmu."

"Mama tau aku senang melakukan hal semacam ini sendiri." Jennie kembali menampik. Dia tidak menyukai ide itu.

"Ya, Mama tau. Mama cuma ingin—" Mamanya mengambil jeda sejenak. "—Melihatmu."

Kini Jennie yang mengambil jeda. Dia tersenyum masam. Mamanya khawatir kepadanya, dia tahu. Dan sesungguhnya, itu yang Jennie hindari dengan memilih tinggal sendiri di apartemen ini. Kadang kala, kekhawatiran mamanya membuat Jennie lelah.

"Aku baik-baik saja, Ma. Sedikit takut dan gugup, tapi baik-baik saja." suaranya berusaha tenang dan tegar.

"Hubungi Mama kalau kau berubah pikiran. Ya?

"Ya." lalu pembicaraan berakhir.

Jennie beranjak dari duduknya dan mulai merapikan barang-barangnya. Dia mulai dengan kardus kecil berisi kaset dan kepingan suara hasil rekamannya. Setelah benda-benda itu beres, dia membuka kardus yang lebih besar, lalu memindahkan isinya satu persatu ke rak buku disudut ruangan.

Sebuah buku terjatuh. Jennie membungkuk untuk memungutnya.

Buku seukuran majalah dan bersampul kain linen biru polos. Terdapat sulaman yang dibuatnya bertuliskan "laut".

Jennie membuka buku itu. Disetiap lembar ada artikel, hasil sketsanya, dan gambar laut yang dia kumpulkan dari berbagai sumber selama satu tahun belakangan ini. Ada juga beberapa karakter yang dia buat sebagai sosok 'laut'.

Aphrodite. Hali. Lamar. Marianne. Bay. Coral. Gara. Jisoo.

Pikirannya terhenti dinama itu. Jemarinya bergerak pelan dipermukaan kertas untuk meraba huruf-huruf tipis yang membentuk "Jisoo". Mendadak dia teringat kepada pemuda yang dilihatnya diatap tempo hari. Pemuda bermata rusa dengan gitar dipangkuannya.

Pemuda itu dipanggil Jisoo.

Laut.

—————–————

"Kali ini, jangan pakai gula." Jisoo berteriak kepada barista meminta kopi baru. Beberapa kali dia menyisir rambutnya ke belakang dengan jari.

"Ck. Demi Tuhan, Jisoo. Potong rambutmu." Irene yang duduk didepannya merasa risih.

"Gadis-gadis menyukai rambut berantakan ini." Jisoo menjawab dengan santai. "Mereka tergila-gila, entah kenapa."

"Mereka tolol, ingat?"

"Aku suka gadis tolol."

Irene tertawa sinis. Tidak percaya dengan jawaban Jisoo. "Lalu, kenapa kau tidak pernah tahan berhubungan dengan mereka lebih dari dua minggu?"

"Karena, Irene, mereka bukan sesuatu yang harus dianggap serius." Jisoo menyulut rokoknya. "Mana Seulgi? Aku mulai bosan duduk disini."

"Dalam perjalanan."

"Dia sering sekali telat."

"Wajar, Jisoo. Sekarang dia adalah akuntan dengan karier menjanjikan."

"Ck." hanya itu tanggapan Jisoo.

Jisoo pergi sebentar untuk menjemput kopi pesanannya yang sudah selesai.

"Barusan Seulgi kirim pesan. Sebentar lagi dia sampai." kata Irene.

Selalu Ada Jeda Untuk Bahagia (Jensoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang