14

593 108 4
                                    

Irene tidak sendiri. Gadis itu bersama Suho. Mereka gandengan tangan selagi menunggu lift di lobi

Jennie ikut menunggu di sebelah mereka, sengaja berdiri agak jauh dari pasangan itu. Suho mengerling sinis ke arahnya, jelas-jelas belum melupakan insiden empat bulan lalu kala Jennie memergoki perbuatan pemuda itu secara tidak sengaja, sementara Irene menyapanya dengan sedikit senyum di bibir.

"Lama kau tidak kelihatan di gedung ini. Mau balik ke apartemen?" tanya Irene.

"Tidak," jawab Jennie, "cuma ambil barang."

"Oh, oke."

Lalu, Irene tidak bertanya apa-apa lagi kepadanya.

Sudah lama Jennie dan Irene tidak pernah bertemu. Setelah tidak tinggal di apartemen dan berganti semester, mereka tidak pernah bertemu sama sekali. Berpapasan dikampus juga tidak. Tidak heran jika kini interaksi mereka begitu kaku.

Lift terbuka. Bertiga bersama Suho, mereka masuk. Suho menekan tombol empat dan mereka bergerak naik.

Suasana dalam lift itu canggung. Dengan gelisah, Jennie memandangi sepasang sepatunya yang menjejaki lantai granit saat Suho mulai menciumi leher Irene. "Su-Suho, ja-jangan di sini." Irene yang ringkuh bermesraan di hadapan Jennie berusaha menjauh dari Suho, tetapi pemuda itu memukulkan tangannya keras-keras ke dinding lift sehingga sang gadis terpaksa menurut.

Bukan hanya Irene yang tersentak. Jennie pun dibuat terkejut. Dia memberanikan diri mengangkat kepala. Suho memunggunginya. Irene menghadap ke arahnya, tetapi gadis itu tidak berani menatapnya, tidak pula terlihat menikmati apa yang tengah dilakukan oleh Suho.

Sungguh, Jennie menyesali hubungan Irene dan Suho masih bertahan. Selama ini, diam-diam, dia berharap Irene akan sadar dan meninggalkan pemuda yang suka memukul itu. Harapannya pupus sekarang. Tidak hanya Irene semakin terikat oleh Suho, gadis itu juga tidak sekuat dulu. Gadis itu kini lemah dan tidak berdaya.

Kilat berani dan rasa percaya diri telah meninggalkan Irene. Kini hanya ada rasa takut di mata Irene. Saat menatap Irene, Jennie merasa seolah-olah dia sedang bercermin.

Irene telah berubah menjadi dirinya.

Lift terbuka. Suho melepaskan Irene. Pasangan itu keluar. Jennie, sementara itu, melangkah gontai dibelakang mereka.

Matanya dan mata Irene bertemu sepersekian detik sebelum gadis itu dan Suho menghilang dibalik pintu 403. Barangkali, ini hanya pikirannya. Dalam momen singkat tersebut, mata Irene meneriakkan permintaan tolong yang tidak mampu disuarakan oleh mulut gadis itu.

Namun, Jennie sama lemahnya, sama tidak berdayanya. Dan, sekali lagi, barangkali itu hanya pikirannya. Tanpa berbuat apa-apa, dia masuk ke apartemennya.

Apartemennya sedikit berdebu. Ini kali pertama Jennie mengunjungi apartemennya dalam empat bulan terakhir. Dia lekas mencari barang-barang yang dibutuhkannya.

Beberapa barang yang tidak diambil oleh mamanya adalah benda-benda yang berarti baginya. Jurnal laut buatannya. Keping-keping suara hasil rekamannya. Dan, kalung bermata biru gelap pemberian Jisoo yang disembunyikannya di dasar laci meja rias, dikamar tidur.

Jari-jari Jennie mendekap kalung itu. Jennie tahu, seharusnya sia mengembalikan kalung itu kepada Jisoo. Hanya saja, meskipun pahit, dia ingin mengenang kebersamaan mereka--kebersamaan yang tidak bisa dia miliki pada masa mendatang.

Dia menyimpan kalung itu dan benda-benda lain yang ingin dibawanya di tas. Tidak ada alasan untuk berlama-lama di apartemennya setelah latte-nya habis, maka dia keluar sekitar sepuluh menit kemudian dan mengunci pintu.

Tasnya dia kepit disisi kanan. Dia menyusuri selasar. Keributan terdengar dari dalam 403, apartemen Irene. Jennie menghentikan langkahnya sebelum mencapai lift. Dia tidak bermaksud mencuri dengar, tetapi keributan itu teramat jelas.

Selalu Ada Jeda Untuk Bahagia (Jensoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang