10

576 98 14
                                    

"Temanku memberikan cokelat ini kemarin lusa. Dia baru kembali dari Swiss," kata Jessica sambil membuka sebuah toples dan aroma cokelat yang manis dan pahit melepaskan diri ke udara. "Ayo, Sayang. Ambil. Kau harus mencoba. Cokelat ini akan membuatmu ketagihan."

Jennie mengambil satu yang berbentuk bulat dan berlapis bubuk kacang. Dia memakan cokelatnya perlahan-lahan.

"Bagaimana? Aku benar, kan?"

"Y-ya."

"Kau bisa membawa stoples itu pulang nanti. Ada banyak dilemariku. Kau terlalu kurus, Sayang. Kau butuh cokelat dan cemilan manis lainnya agar tubuhmu terlihat lebih segar." Jessica tertawa kecil. "Ah, ya. Mau teh atau jus?"

"Ekm, teh. Terima kasih."

Jessica segera beranjak ke dapur untuk menyeduh teh. Sambil memasukkan gula ke cangkir, dia bertanya, "Apa ada hal yang menyenangkan yang terjadi belakangan ini? Kau terlihat berseri-seri."

"Be-berseri-seri?"

"Kau menyembunyikan sesuatu, ya? Ada yang tidak kau ceritakan kepadaku selama ini. Aku merasakan perubahan dalam dirimu sejak, yah, dua bulan lalu."

Jennie memasukkan semua sisa potongan cokelat di tangannya ke mulut, menghindari pertanyaan Jessica. Dia bukan tidak mau menjawab, melainkan tidak tau bagaimana harus menceritakan hal-hal yang dialaminya belakangan ini.

"Jadi———" Jessica kembali dengan dua cangkir teh hangat. "———Katakan, Jennie sayang. Apa yang terlewat olehku?" Perempuan itu daduk disofanya.

Cokelat di mulut Jennie habis. Tidak ada lagi alasan untuk lari, maka Jennie terpaksa bicara. "Ada......pemuda."

"Oke." Mata Jessica berbinar-binar.

"D-dia....bermain gitar. Apa kau ingat.....petikan gitar dalam rekaman suaraku?"

"Ya. Petikan gitar di kedai kopi."

"Dia yang memainkannya. Kami bertemu di atap gedung apartemenku. Aku mengenali dia dari petikan gitar itu."

"Kalian tinggal digedung yang sama?"

"T-tidak. Dia....selalu berlatih jazz dekat gedung apartemenku, di studio kecil diatas kedai kopi."

"Ah jazz. Pemuda pintar, pasti. Lalu——" Jessica saya dikit memicingkan mata, "———Biar aku tebak. Sesuatu yang menyenangkan berkembang diantara kalian?"

Jennie menunduk. Dia mengambil teh, lalu meniup-niup uap minuman itu. Didengarnya Jessica tertawa.

"Astaga, Sayang, wajahmu merah sekali. Maaf, maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu malu," kata Jessica. "Tapi, ini bagus. Sejauh mana hubungan kalian? Apa dia sudah mengatakan perasaannya?"

"Y-ya."

"Apa kau sudah menjawab?"

Jari-jari Jennie bergelak perlahan-lahan menelusuri bibir cangkir. Jennie menggeleng.

Suasana diruangan itu meredup, mengikuti perubahan suasana hati Jennie.

"Kau tidak menyukainya?" Berhati-hati Jessica menanyakan itu.

"Bu-bukan begitu," tukas Jennie.

"Lalu?"

"Aku....ta-takut. Bagaimana kalau kejadian yang sama terulang?" Bagaimana jika Jisoo melukainya? Kalau itu terjadi, Jennie tidak yakin bisa bertahan.

"Jennie, apa kau tidak percaya kepadanya?"

"Aku sangat menyukainya. Sungguh. Bersamanya, aku selalu merasa bahagia. Tapi——" Tetapi, ketakutannya lebih besar.

Selalu Ada Jeda Untuk Bahagia (Jensoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang