11

551 102 16
                                    

'Jadi milikku, Jennie. Oke?'

Itu kali pertama seorang pemuda memintanya. Jisoo adalah yang pertama. Jennie tidak bisa menggambarkan betapa berartinya hal tersebut baginya, betapa bahagianya dia mendengar kata-kata Jisoo.

Dan, ciuman Jisoo lembut. Dia sempat merasakan itu dan terbuai selama beberapa detik, sebelum kesadarannya terlempar tanpa dia kehendaki ke masa lalu, ke momen mengerikan yang merusak hidupnya. Tiba-tiba, bibir Jisoo menjadi terlalu basah, terlalu rakus. Tahu-tahu saja, Jisoo menjelma pemuda dalam mimpi-mimpinya.

Keintiman mereka membuatnya takut. Maka, dia melarikan diri dari ciuman Jisoo.

Lalu, saat Jisoo meninggalkannya begitu saja di atap, dia tahu. Sikapnya telah melukai pemuda itu.

Namun, dia tidak bermaksud begitu. Dia semata-mata tidak sanggup melawan rasa takutnya. Seakan-akan, setiap sel dalam tubuhnya memberontak, melawan keinginan hatinya. Setiap sel yang merekam kenangan buruk.

Kini, dia terus-menerus memandangi nama Jisoo di layar ponselnya, ingin menghubungi, tetapi ragu.

"Hei, mau sampai kapan kau disini?"

Teguran itu menyentak lamunan Jennie hingga buyar. Jennie mengangkat kepala dan mendapati Irene berdiri dihadapannya. Kacamata hitam besar menutupi sebagian wajah gadis itu.

"Kuliah sudah selesai," kata Irene.

Jennie melihat ke seluruh penjuru kelas. Kosong. "Ah, Y-ya." Lekas dirapikannya barang-barang bawaannya. "Apa dosen memberi tahu sesuatu? T-tugas atau——"

"Bab ketujuh. Bahan kuis minggu depan," jawab Irene. "Emm, apa kau mau pulang bersamaku? Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu. Penting." Irene berbicara sambil menghindari tatapan Jennie.

"Ya." Jennie mengangguk. Dia mengikuti Irene keluar.

Setelah mereka berada dimobil, baru Irene mengutarakan apa yang ingin dibicarakannya.

"Aku minta maaf karena membentakmu tempo hari." Kali ini, Irene membiarkan mereka bertukar pandang. Gadis itu juga melepaskan kacamata hitam miliknya. "Situasi saat itu sangat rumit. Aku——" Dia berhenti begitu menyadari Jennie tidak menyimak perkataannya.

"Irene, matamu——"

"Oh, ini? Cuma memar. Tidak apa-apa." Irene tersenyum masam. "Aku sudah periksa ke dokter. Tidak ada luka serius. Jadi, jangan khawatir."

Jennie, bagaimanapun, tidak bisa setidak acuh itu. Dia membekap mulutnya. Dengan mudah, airmatanya keluar. "Apa yang terjadi?" tanyanya, "kenapa dia memukulmu?"

"Ck. Kenapa kau pakai menangis segala? Ini tidak seperti dugaanmu. Suho memang begitu. Dia gampang marah dan kadang-kadang lepas kendali, itu saja. Dia tidak bermaksud menyakitiku. Lagian, setelahnya, dia selalu menyesal dan meminta maaf. Dan, saat minta maaf, kau percaya atau tidak, dia pemuda paling lembut. Dia sempurna."

"Tapi, bagaimana kalau dia lepas kendali lagi? Apa kau tidak takut?"

Irene diam. Matanya gelisah. Dia takut, tentu saja, tetapi tidak mau mengakui itu.

Jennie menggenggam tangan Irene. "Irene.....jangan bersama dia lagi," pintanya.

Tangan Irene berkelit. "Memangnya, kau tahu apa? Kau pikir aku menyesali ini? Aku mencintai Suho. Dia yang seperti apapun. Bahkan, saat aku membuat kesalahan dengan Jisoo dulu, aku tidak pernah melupakan dia. Dia sama, mencintaiku." Dan lagi, Suho bagian dari Second Day Charm sekarang. Mereka membutuhkannya. Namun, Irene tidak mengatakan alasan yang satu itu.

"Dengar. Rahasiakan apa yang kau lihat tempo hari, oke? Aku mohon," pintanya.

Setengah hati, Jennie mengangguk.

Selalu Ada Jeda Untuk Bahagia (Jensoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang