1. Remedial

76 17 3
                                    

"Tadi, Mama ketemu sama maminya Andre."

Detik itu juga, Maudy berhenti mengunyah. Tanpa sadar, dia mengembuskan napas panjang. Baru saja dia keluar dari kamar setelah berjam-jam memeriksa lembar ulangan para siswa. Begitu keluar, mamanya malah menyebutkan nama seseorang yang paling Maudy hindari. Setelah sekian lama tertunduk, hanya menatap bakwan jagung yang tersedia di atas meja makan, akhirnya Maudy mengangkat kepalanya.

Dia memberanikan diri untuk menatap sang mama dan bertanya, "Ketemu di mana?"

"Di supermarket, waktu Mama belanja bulanan," jawab Ajeng-mama Maudy. "Gak tahu keceplosan atau memang berniat kasih tahu, katanya Andre udah punya pacar baru."

Maudy mengangguk singkat, lalu kembali menyuap nasi ke dalam mulutnya. "Oh. Syukur kalau begitu."

"Kok, syukur, Mau?" Ajeng langsung menarik kursi di samping sang putri. Wajahnya terlihat begitu serius. "Harusnya kamu curiga, dong. Ini baru setahun, lho, tapi Andre udah punya pacar lagi. Jangan-jangan, dia sama perempuan itu memang udah menjalin hubungan saat masih sama kamu."

Hanya sebuah gelengan singkat yang Maudy berikan. Dia belum bisa menjawab karena masih sibuk mengunyah makanan. Perkara perut jauh lebih genting saat ini.

"Coba kamu pikir ulang, kamu sama Andre pacaran lebih dari lima tahun. Udah tunangan, udah mempersiapkan pernikahan. Masa semudah itu untuk dia cari yang baru?"

"Gak boleh suudzon begitu, Ma," balas Maudy setelah berhasil menelan makanan lezat buatan mamanya. Tidak ada garis ketegangan di wajahnya. Ia menyahuti dengan begitu santai.

Terdengar decakan keras dari bibir Ajeng. "Mama bukannya suudzon Tapi, gak ada salahnya juga buat kita mempertimbangkan ini dan itu. Harus bisa dinilai dari segala sisi."

"Dalam setahun itu ada dua belas bulan. Dalam dua belas bulan, ada 365 hari. Dalam 365 hari itu, ada banyak banget kesempatan buat dia ketemu sama orang yang baru. Jadi, wajar kalau sekarang dia udah punya pacar lagi."

Kali ini, Ajeng menghela napas panjang. Dia membuang muka, tidak mau lagi menatap wajah putrinya yang kepalang santai. Maudy fokus menikmati nasi liwet hangat buatannya, sama sekali tidak terusik dengan berita yang diberikan Ajeng.

Sejujurnya, Ajeng juga tidak mau menyebut nama Andre lagi di hadapan anak bungsunya itu. Meskipun sudah 365 hari berlalu, masih ada setitik tidak ikhlas dalam hati Ajeng atas apa yang menimpa Maudy. Seharusnya putri kesayangannya itu telah memiliki keluarga sendiri dengan lelaki pilihannya. Seharusnya Maudy dan Andre telah mengarungi bahtera rumah tangga yang penuh kebahagiaan. Namun, sayang seribu sayang, angan itu musnah hanya sebulan sebelum ijab kabul dilakukan.

"Jujur sama Mama," cetus Ajeng lagi, setelah sekian lama diam. "Apa alasan kamu membatalkan pernikahan kalian?"

"Kan, aku udah bilang, Ma. Aku ngerasa gak cocok sama Andre," balas Maudy dengan begitu santai.

"Setelah lima tahun kalian bersama-sama, tiba-tiba kamu merasa gak cocok? Kamu kira Mama akan percaya gitu aja?"

Sembari mengangkat piring yang sudah bersih, Maudy pun beranjak dari meja makan. "Kalau Allah sudah berkehendak begitu, kita bisa apa? Kalau emang bukan jodohnya, mau gimana lagi?"

"Kamu ngomongnya begitu mulu!"

Maudy tidak menghiraukan ocehan mamanya. Dia lebih memilih pergi ke dapur, cuci tangan, lalu masuk kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Lalu, perempuan dengan baju tidur kuning dan hijab senada itu membanting tubuh ke atas kasur dan menatap langit-langit.

"Kalau Allah sudah berkehendak begitu, kita bisa apa?"

Entah sesering apa Maudy berkata demikian selama setahun terakhir ini. Setelah kandasnya impian untuk membangun rumah tangga bersama Andre, kata-kata itu seperti menjadi motto hidup Maudy.

Di Persimpangan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang