Sembari menenteng kotak bottle sterilizer, Maudy menelusuri koridor rumah sakit. Langkahnya begitu panjang dan cepat. Wajahnya juga tampak berseri-seri, tidak sabar untuk melihat bayi sahabatnya yang baru saja lahir. Tentu saja, sebelum memutuskan datang, Maudy memastikan seseorang tidak akan ikut bertamu-Nizam.
Saat memeriksa ponsel di istirahat ke dua, Maudy dikejutkan dengan foto yang dikirim Ibnu. Pose andalan para kaum Adam, mengangkat jempol dan senyum seadanya pada kamera. Namun, ada bayi merah tepat di belakang Ibnu. Maudy langsung terpekik begitu ingat bahwa istri Ibnu sedang mengandung saat terakhir kali mereka bertemu.
Setelah mengucapkan salam, Maudy pun masuk ke ruang rawat istri Ibnu. Dia menyapa keluarga yang ada di sana, lalu duduk di samping brankar dan mengagumi ciptaan Allah yang begitu mungil.
"Masya Allah," gumam Maudy sembari terus menatap anaknya Ibnu.
"Anak gue cakep, kan?" celetuk lelaki itu sembari berdiri di samping Maudy. Garis bangga tercetak dengan jelas di wajah cerahnya.
"Cakep, mirip Asya."
Istri Ibnu-Asya-terkekeh mendengar jawaban Maudy. "Tuh, kan, aku bilang juga apa. Anak kita itu mirip aku, Mas. Dari semalem, ngeyel banget, bilang mirip kamu."
Saat itu juga, senyum Ibnu lenyap. Bibirnya berubah mengerucut. "Kali aja ada yang setuju sama pendapat aku, Sayang." Lalu, dia kembali menatap sang anak yang terlelap. "Namanya Muhammad Al Jauhary."
Kali ini, Maudy melirik Ibnu. Hanya sekilas, sebelum akhirnya kembali menatap bayi yang begitu menggemaskan. "Namanya bagus. Semoga Baby Al jadi orang yang luar biasa saat sudah besar nanti."
"Aamiin," sahut Ibnu dan Asya secara bersamaan.
Walaupun terkenal humoris, ternyata Ibnu punya perhitungan yang matang untuk nama putra pertamanya. Tentu, Maudy tahu siapa Al Jauhary. Seorang ahli matematika pada abad ke-9 Masehi. Ahli geometri yang bekerja di Bayt al Hikmah, suatu lembaga ilmu pengetahuan yang dibangun Khalifah Al Ma'mun dari dinasti Abbasiyah di Baghdad.
"Kak Maudy mau gendong, gak?" tawar Asya tiba-tiba.
"Emang boleh?"
"Boleh, lah. Mau?"
Maudy mengangguk penuh antusias. Ia segera membersihkan tangannya dengan hand sanitizer yang diberikan Ibnu. Setelah selesai, ia mendekat ke arah Asya dan menerima makhluk mungil itu dengan penuh hati-hati. Sudut bibirnya terangkat saat Baby Al menggeliat dalam pelukannya. Fokus Maudy hanya tertuju pada Baby Al. Dia tidak menghiraukan derit pintu yang dibuka, pertanda datangnya seseorang.
"Assalamualaikum."
Sontak saja Ibnu dan Asya menoleh. Setelah beberapa detik, mereka pun bertukar pandang. Keduanya saling melempar kode, sama-sama bingung dengan situasi tidak terduga ini. Ibnu segera melipir, menyambut sang tamu sebelum melangkah lebih jauh.
Setelah berbasa-basi sebentar dengan keluarga Ibnu, sang tamu melirik Ibnu. "Gimana anak lo?"
Lelaki itu memaksakan senyumnya. Sambil menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal, Ibnu menjawab, "Baik, alhamdulillah. Beratnya tiga kilogram, panjangnya lima puluh tiga sentimeter. Pokoknya, sehat, lah. Gue bersyukur banget."
"Alhamdulillah. Gue ikut bahagia, Nu." Orang itu celingak-celinguk. "Anak lo di mana sekarang? Gue pengin lihat, dong."
"Ada, kok." Ibnu merebut satu set tempat tidur bayi tanpa permisi, lalu menggandeng bahu sahabatnya. "Bukannya lo ada operasi, ya, jadi gak bisa datang hari ini? Kok, tiba-tiba nongol aja, sih?"
"Diundur. Gue udah bilang sama pasiennya buat jaga pola makan. Eh, malah makan sate kambing, bikin tekanan darahnya naik. Gue sampai marahin itu pasien, kesel banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Takdir
RomansaSetelah 7 tahun berpisah, Allah kembali mempertemukan Maudy dengan Nizam, dalam keadaan yang berbeda. Maudy menanggung luka karena batal menikah, sedangkan Nizam memelihara sakit karena ditinggal istrinya. Keinginan anak Nizam yang bernama Nitya pun...