2. Misi Penyelamatan

38 15 3
                                    

Dompet, ponsel, pengisi daya, Maudy mengabsen satu per satu barang pribadinya. Setelah yakin semua sudah pada tempat masing-masing, barulah perempuan itu menyambar tas hitamnya. Dia mengucapkan syukur, lalu beranjak dari kursi kerjanya. Maudy berpamitan singkat pada satu per satu guru yang ada di sana.

Baru saja Maudy berhasil keluar dari ruang guru, langkahnya langsung terhenti ketika kepala sekolah datang dari arah berlawanan. Ia kaget bukan tangannya tiba-tiba ditarik, lalu digenggam lumayan kencang.

"Bu Maudy jangan pulang dulu, ya?" ucap Kepala Sekolah, penuh kesungguhan.

"Kenapa, Bu?" sahut Maudy, terdengar lebih mirip cicitan.

"Ada yang mau saya bahas. Penting!"

Perlahan, Maudy menarik kepalanya, supaya tidak terlalu berhadapan dengan Kepala Sekolah. "Tentang pekerjaan, Bu?"

"Bukan." Kepala Sekolah menggeleng mantap. Matanya terbuka lebar-lebar. Senyum penuh arti tercetak diwajahnya yang penuh dengan kerutan. "Tentang jodoh!"

Mendengar jawaban itu, Maudy langsung membuang napas yang sejak tadi ia tahan. Sembari tersenyum hangat, Maudy pun berusaha melepaskan tangannya yang digenggam Kepala Sekolah. Setelah berhasil, ia menepuk bahu perempuan paruh baya itu dan berkata, "Makasih, Bu. Tapi kapan-kapan lagi aja kita bahasnya, ya?"

"Lebih cepat, lebih baik, Bu. Mendingan sekarang aja." Kepala Sekolah tampak tak mau kalah. Ia balik memegang bahu Maudy. Garis kesungguhan sama sekali tidak luntur dari wajahnya sejak tadi. "Ini anak Pak RW tempat saya tinggal. Namanya Rudi, usia 35 tahun. Dia ini TNI Angkatan Darat, tugas di Batalyon Kavaleri Tangerang. Jabatannya udah tinggi, lho. Udah mayor! Kalau Bu Maudy mau sama dia, nanti jadi ibu persit!"

"Enggak, Bu. Terima kasih," sahut Maudy sambil menggeleng kuat, tanpa memerlukan waktu untuk berpikir.

"Lho, kenapa? Nikah sama tentara, tuh, banyak keuntungannya, lho, Bu. Dapat fasilitas perumahan, jaminan kesehatan dan pendidikan, tunjangannya juga banyak. Kalau ditugaskan ke wilayah konflik, tunjangan yang didapat jauh lebih tinggi! Jaminan hari tua juga-"

"Maaf, Bu, saya harus pulang sekarang. Ada acara pengajian yang harus saya ikuti. Duluan, ya, Bu ...."

Dengan sangat terpaksa, Maudy harus memotong ucapan panjang lebar sang kepala sekolah. Bukan maksud bersikap lancang, dia juga tidak enak hati. Namun, jika tidak begitu, ia harus Maudy harus siap memasang telinga hingga azan isya.

Ini bukan kali pertama Maudy mendengarkan deskripsi lengkap mengenai pria berkualitas dari rekan pendidiknya, terutama dari Kepala Sekolah. Anak teman arisan, keponakan saudara jauh, sampai petugas kantor desa yang masih bujang pun ditawarkan secara cuma-cuma pada Maudy. Alih-alih kesal, Maudy justru terharu dengan kelakuan mereka. Itu adalah salah satu bentuk kasih sayang mereka pada Maudy. Mereka tidak ingin Maudy sedih terlalu lama setelah gagal menikah tahun lalu.

Saat melirik waktu mundur lampu rambu lalu lintas, pandangan Maudy tak sengaja menangkap kehadiran anak kecil yang menangis di pinggir jalan. Anak dengan baju merah muda dan rok gaya balon itu tampak menangis dan terus menengok ke kanan dan kiri, seperti mencari seseorang. Tak lama, datang seorang laki-laki berkacamata dan menarik pergelangan tangan sang anak. Anak itu meronta, tetapi terus berusaha diseret dari sana.

"Waduh ... gak bener, nih," gumam Maudy.

Begitu lampu rambu lalu lintas menunjukkan warna hijau, Maudy langsung menginjak pedal gas dan menepikan kendaraannya di tempat aman. Dia keluar dari mobil, lalu gegas berlari menghampiri anak itu.

Di Persimpangan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang