Susah menjadi rahasia umum. Dalam sebuah persahabatan yang terdiri dari tiga orang, pasti ada yang berperan sebagai tukang mencairkan suasana, sang pemegang kendali, dan idola semua orang. Begitu pula dengan persahabatan Ibnu, Maudy, dan ... Nizam.
Mulut Ibnu itu seperti ember. Kadang bisa berceceran ke mana-mana, kadang juga bisa menjadi penampung. Selalu ada saja celetukan yang membuat kebersamaan mereka tidak membosankan. Jika candaannya mulai lewat batas, barulah Maudy akan bertindak. Dia memang dikenal ramah oleh banyak orang, tetapi Ibnu yang paling tahu bisa semenyeramkan apa perempuan itu jika sedang marah. Ketusnya bisa membuat sakit ulu hati!
Sang idola semua orang-khususnya kaum hawa-Nizam Putra Dewangga. Wajah yang rupawan, otak yang cemerlang, tubuh tinggi tegap, ramah pula. Pokoknya, tidak membutuhkan waktu lama untuk mengidolakan sosok Nizam pada masa SMA. Apalagi di masa itu semua orang sedang tahap pubertas, begitu mudah untuk menjatuhkan hati pada seseorang meskipun tidak terlalu mengenalnya.
Namun, sayangnya, kali ini Ibnu tidak melakoni perannya sebagai pencair suasana. Bukannya membuat Maudy merasa lebih baik, perkataannya justru berbalik membebani. Perempuan itu sampai terduduk di bangku taman rumah sakit, merenungkan kembali apa yang sebenarnya terjadi.
"Yang selama ini nyakitin lo, itu beneran Nizam ... atau justru ekspektasi lo sendiri?"
Ekspektasi, artinya pengharapan.
Jadi, maksud Ibnu, bisa saja yang selama ini menyakiti Maudy adalah pengharapannya pada Nizam, bukan sosoknya langsung. Bisa saja, yang selama ini membuat Maudy terluka bukanlah Nizam, melainkan harapan-harapannya sendiri, yang tumbuh tanpa kendali. Bisa saja bukan Nizam yang bersalah, melainkan angan-angan yang tergambar dengan jelas di kepala Maudy.
Yang tidak pernah menjadi realita.
Hingga saat ini.
"Tante Maudy!"
Lagi, suara itu berhasil mengalihkan seluruh atensi Maudy. Ia menoleh ke arah kanan, tepatnya pada sosok gadis kecil yang mengenakan seragam sekolah. Senyum lebarnya berhasil membuat sudut bibir Maudy terangkat. Bukan karena berusaha menjaga image, tetapi karena senyum Nitya memang bisa menularkan kebahagiaan.
"Halo, Cantik."
Setelah mendapatkan balasan dari sapaannya yang cukup heboh, Nitya pun melanjutkan langkahnya. Ia duduk di samping Maudy tanpa permisi. "Tante kenapa gak masuk? Gak mau lihat Baby Al lagi, ya?"
"Enggak, bukan begitu," tepis Maudy dengan nada lembut. Tangannya terulur untuk merangkul bahu mungil Nitya. "Tante harus pulang, ada pekerjaan yang harus cepet-cepet diselesaikan."
"Tapi kenapa gak pamit dulu? Kan, aku nungguin Tante Maudy tadi. Ayah juga nungguin." Dengan wajah polosnya, Nitya menunjuk sang ayah yang berdiri tak jauh dari bangku.
Sontak saja, tanpa bisa ditahan, Maudy mengangkat kepalanya untuk menatap Nizam. Hanya sebentar, sebelum akhirnya dia membuang muka, lalu kembali menatap Nitya. "Maaf, ya, Tante terlalu buru-buru. Tante pamit sekarang aja, ya?" Maudy meraih tangan mungil Nitya, menggenggamnya penuh kehangatan. "Inget, kalau lagi di luar, Nitya harus selalu pegang tangan Ayah kayak gini. Terus, kalau mau beli sesuatu atau ke toilet, Nitya harus bilang dulu sama Ayah. Gak boleh asal pergi aja. Oke, Cantik?"
"Oke, Tante!" balas Nitya dengan nada riang.
Maudy pun bangkit dari duduknya. Dia melirik Nizam sekilas dan berkata dengan nada dingin, "Aku pulang duluan."
"Kamu pulang naik apa?" Sekoyong-koyong Nizam bertanya demikian.
"Aku bawa mobil," singkat Maudy.
"Kamu? Bawa mobil? Sendiri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Takdir
RomansaSetelah 7 tahun berpisah, Allah kembali mempertemukan Maudy dengan Nizam, dalam keadaan yang berbeda. Maudy menanggung luka karena batal menikah, sedangkan Nizam memelihara sakit karena ditinggal istrinya. Keinginan anak Nizam yang bernama Nitya pun...