Sepuluh

48.2K 4.9K 56
                                    

Sepanjang perjalanan pulang mereka berdua diam seribu bahasa. Lamiya bukanlah gadis yang suka berbicara jika berkenalan dengan orang baru, sama seperti Habrin dia juga bukan tipe orang yang pandai mencari topik. Posisi duduk mereka juga canggung, Lamiya tidak memegangi pundak, pinggang, atau bahu pemuda itu, ia memegangi ujung Motor, berdoa berkali-kali semoga saja ia tidak jatuh.

Mereka hanya berbicara di awal saja, ketika Habrin bertanya dimana rumahnya.

Motor berhenti tepat di depan Rumah Lamiya.

"Ini Rumah lo?" celetuk Habrin, agak kaget karena rumah ini lebih besar dari rumahnya.

"Bukan, Rumah Papa Mama." jawab Lamiya.

Habrin berdecak kesal. "Bukan itu maksudnya."

Lamiya tertawa geli. "Terus?"

"Rumah lo gede."

Lamiya mengangguk. "Iya gue juga kaget waktu pertama lihat."

"Hah?"

Ups, dia keceplosan lagi.

Disaat genting itu deringan telpon menyelamatkan Lamiya dari mulut bocornya, buru-buru Lamiya mengangkatnya.

Kak Edgar lo pahlawan gue!

"Kak Edgar!" Sapa Lamiya dengan semangat.

"Iya, kok senang banget suaranya. Ada apa nih?"

Lamiya memberi isyarat untuk Habrin, agar ia bisa mengobrol lebih lama.

Habrin mengangguk, ia menunggu dengan sabar.

"Engga ada, btw kenapa nelpon kak?"

"Alfred di Rumah Sakit."

"Loh kok bisa? Perasan tadi pagi sehat-sehat aja!" Bahkan ia sempat dimarahi karena makan terlalu banyak.

"Hm, yah ini kan udah siang."

Raut wajah Lamiya berubah datar. "Serius kak, di Rumah Sakit mana?"

"Di tempat biasa, engga usah buru-buru kesini, kamu baru pulang Sekolah makan dulu."

"Mana bisa aku makan dengar kabar gini!"

"Alfred baik-baik aja kok, dia kan tahan banting."

"Aku otw kesana." Lamiya segera memutuskan sambungan Telpon.

"Habrin, lo sibuk gak?" tanya Lamiya.

Habrin menggelengkan kepalanya. "Mau gue antarin ke Rumah Sakit?"

Lamiya nyengir. "Lo tahu aja! Nguping yah? Gak apa-apa sih jadi engga perlu nanyak lagi." Ia kembali naik Motor. "Ayo, ke Rumah Sakit dekat Kota." Ia meletakkan tangannya di sekitar pinggang pemuda itu. "Lo harus ngebut! Gue udah pegangan nih biar engga jatuh." Ia sangat takut terjadi sesuatu pada Alfred.

Noah sialan.

Sudut bibir Habrin tertarik, ia sangat menyukai sifat Lamiya yang terlalu jujur. "Iya, pegangan yang erat." Mendapatkan sentuhan yang membuat berdebar tentunya Habrin harus berterima kasih dan mengikuti kemanapun gadis ini ingin membawanya pergi.

Sesampainya di Rumah Sakit Lamiya melompat dari atas Motor tanpa menunggu Habrin ia berlari melewati Koridor Rumah Sakit mencari ruangan UGD. Di depan UGD ia melihat Edgar sedang berbicara dengan seseorang yang selalu saja membuatnya khawatir di setiap helaan nafas.

"Kak Al!" Lamiya mencengkram bahu Alfred, ia melihat wajah pemuda itu dengan teliti.

Mata kanannya bengkak, sudut bibirnya berdarah, ada beberapa lebam disekitar dahi dan pipi lalu yang lebih parah adalah tangan kanan pemuda itu, tergantung kaku dengan Gips Rumah Sakit.

After Ending (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang