Gina's POV
"Woi!" Aku menarik lepas headphone yang digunakan oleh Kiara, mendapat ekspresi tidak senang darinya. "Udah kerjain tugasnya belom?"
"Males. Minta sama anak laen aja. Dikumpulinnya masih besok kok."
"Justru itu!" Seruanku tidak digubris oleh Kiara. Dia justru menggunakan kembali headphone-nya dan membaringkan kepala di atas meja.
Sikapnya yang seperti ini sudh berlangsung semenjak awal masuk sekolah. Dia selalu menghindari konfrontasi. Stephanie yang tidak pernah bersama kami lagi—lebih jarang dari biasanya—berhasil membuat Kiara merasa tidak tenang. Mungkin sebagian dari dirinya merasa kalau kematian Rena adalah salahnya. Dia juga selalu bertanya kepadaku apa mungkin aku juga merasa bersalah atas apa yang menimpa gadis tersebut.
Aku hanya memiliki satu jawaban untuk itu. Ini semua bukan salahku. Kematian Rena bukan karena salahku atau perbuatanku. Mungkin mereka akan melihatku sebagai pem-bully, tapi aku tau mereka juga berpikir sama. Mereka adalah orang-orang yang juga membuat Rena merasa depresi. Aku juga tau batasan, aku tidak akan membuat orang lain sampai ingin bunuh diri. Dengan begitu, orangtuaku yang justru akan bermasalah.
"Dav, kantin yuk!" Mendengar nama anak baru disebut membuatku menatap ke arahnya. Dia adalah pindahan saat awal semester, dari data yang kudapat ayahnya memiliki cabang baru di daerah sini sehingga satu keluarga pindah untuk mengurus usaha tersebut.
"Duluan aja. Masih ada kerjaan." Anehnya, aku tidak bisa menemukan apa-apa lagi tentangnya, seperti jejaknya tidak pernah terekam. "Kenapa ngeliatin gua? Kalo ada masalah bilang, gak usah sok jadi pengecut!"
Butuh beberapa waktu bagiku untuk sadar kalau Davienna—nama anak itu—sedang berbicara kepadaku. Aku langsung mendengus sebagai respons dan berucap, "Gua punya mata, gua punya hak buat ngeliatin apa pun yang gua suka."
"Beneran? Tapi kayaknya lu ada masalah tuh sama gua. Kalo iri, bilang aja. Losers."
Davienna langsung menutup bukunya dengan suara bantingan keras, beberapa anak sampai terkejut ketika mendengarnya. Dia langsung pergi meninggalkanku tanpa menatap ke arahku untuk terakhir kalinya. Sikapnya yang arogan meski anak baru sungguh menyebalkan dan memuakkan. Pastinya dia berpikir kalau dia bisa mengambil alih sekolah ini atau semacamnya, menjadi pusat perhatian semua orang. Sayang untuknya, Raquel dan Stephanie sudah menempatinya.
Mungkin aku memang tidak menyukai sikapnya yang seperti itu, namun aku merasa kalau dia akan cocok jika bergabung denganku. Dan dengannya, dia juga bisa mendapatkan spotlight yang selama ini dia dambakan. Di dalam kelas tanpa ada Rachelle atau Raquel, pastinya akan lebih mudah bagi kami. Dia tidak harus takut menjadi bahan bully, menjadi sasaran empuk anak-anak kelas lain.
Karena tau aku tidak memiliki pekerjaan lain, ditambah aku tidak memiliki nafsu makan, kuputskan untuk berdiam diri di kelas. Tak lama, aku melihat Cindy yang masuk ke dalam kelas kami. Dia yang terus menangis ketika pemakaman Rena kini sudah tersenyum dengan lebar. Ekspresi yang dia berikan sekarang sama sekali tidak menunjukkan adanya penyesalan. Jika dia tidak menyesal, mengapa aku harus?
"Eh, ada yang liatin lu tuh." Atas ucapan tersebut, Cindy mendongakkan kepalanya dan menatap sekitar sebelum bertatapan denganku.
"Kenapa? Nggak seneng gua liatin?" sahutku tanpa pikir panjang. Cindy terkenal karena tidak peduli ada pem-bully-an, namun bukan berarti dia sasaran yang mudah dijebak seperti Rena. "Kalo nggak seneng tinggal bilang, nggak usah sok jadi korban," kekehku sebelum berjalan keluar kelas.
Dalam perjalananku keluar, aku tidak lupa untuk menabrak pundak Cindy keras-keras untuk membuatnya sadar. Dia yang merasakan dorongan dariku terdengar mendengus. Meski begitu, dia masih tidak melakukan apa-apa dan hanya berdiam diri. Tau dia tidak mungkin melakukan hal aneh, aku langsung lanjut berjalan keluar kelas untuk melihat Davienna yang mengobrol di depan kelas sebelah, tersenyum begitu lebar besama Rachelle.
KAMU SEDANG MEMBACA
STYB 2: Survivors
Teen FictionRahasia tanpa akhir membuat semua menjadi buta. Mereka yang berusaha untuk terlihat baik-baik saja menjadi seorang pejuang. Kematian Laurena Llyod bukan menjadi akhir untuk mereka semua bertanding menjadi yang paling sempurna. Dunia yang keras hany...